Hari Toleransi Internasional: Krisis Lingkungan dan Urgensi Penanaman Nilai-nilai Ekoteologi
Rabu, 17 November 2021 - 16:57 WIB
Sebagai contoh dari dampak pemanfaatan yang berlebihan terhadap alam adalah meningkatnya polusi, pemanasan global, hujan asam, radiasi nuklir, ledakan sampah dan lain sebagainya. Kejadian alam semacam itu tentu perlu mendapatkan perhatian dan evaluasi dari masyarakat umum.
Perhatian dan evaluasi tersebut harus difokuskan pada level kosmik. Mengevaluasinya pada level kosmik berarti membawanya melampaui batas dari kepentingan kemanusiaan itu sendiri. Mempertautkannya dengan dinamika bumi, langit, lingkungan, dan semesta luas.
Sehingga, hasil akhir dari evaluasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan dasar atau pijakan dalam menilai dan melihat dampak dari tindakan manusia terhadap alam di sekitarnya. Sayangnya, perhatian terhadap lingkungan semacama ini kurang dikaji dan mendapat perhatian yang cukup serius.
Anna M. Gade menyebut bahwa, kejadian seperti di atas, diakibatkan oleh kurang memadainya landasan antropologis dari umat beragama secara khusus sdan seluruh manusia pada umumnya, untuk memandang alam, satwa liar, dan lain sebagainya sebagai satu kesatuan utuh dengan manusia itu sendiri (Gade, 2019).
Padahal dalam kajian ilmu interdisipliner, antara alam, satwa liar dan manusia sendiri adalah bagian terpisah dan memiliki aspek kajian tersindiri. Mudahnya, Anna hendak menawarkan dan memberitahu bahwa, manusia tidak harus memposisikan diri sebagai subjek yang berhak untuk memanfaatkan alam secara berlebihan yang berakibat pada penyalahgunaan alam untuk kepentingan pribadinya.
Sejalan dengan Anna M. Gade, Seyyed Hosein Nasr turut menawarkan rumusuan gagasannya perihal masalah evaluasi kosmik. Konsepsi kosmik Nasr mengarah pada pola yang dalam studi agama disebut dengan pendekatan teologis (Bahri, 2011).
Ia bertolak pada upaya mewujudkan relasi-konstruktif antara Tuhan, manusia, dan alam. Seperti yang disampaikan Nasr, krisis ekologi yang masif terjadi merupakan akibat langsung dari ambisiusnya manusia modern dalam memperlakukan dan mengeksploitasi alam.
Atau dalam kata lain, penyebab utama perubahan iklim ini adalah akibat dari gaya hidup saintisme manusia yang tidak menganggap ilmu modern sebagai salah satu cara untuk mengenal alam, melainkan dipandang sebagai filsafat yang secara keseluruhan mengurangi semua realitas ke dalam bagian fisik dan tidak menerima adanya pandangan-pandangan dunia yang non-saintis.(Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, 1968).
Sejalan dengan pemikiran Nasr, Bruno Latour melihat bahwa cara pandang manusia modern tidak bisa diungkapkan sebagai suatu periode antar waktu untuk mendeskripsikan realitas, melainkan merujuk pada cara berfikir. Dalam bukunya We Have Never Been Modern, Latour membagi empat jaminan yang gagal dipenuhi oleh konstitusi modern.
Pertama, membuat jaminan perbedaan transendensi antara alam dan struktur masyarakat. Kedua, menjamin dimensi imanen kemasyarakatan dengan membuat warga negara sepenuhnya bebas untuk membangun kembali kebebasannya secara artificial.
Perhatian dan evaluasi tersebut harus difokuskan pada level kosmik. Mengevaluasinya pada level kosmik berarti membawanya melampaui batas dari kepentingan kemanusiaan itu sendiri. Mempertautkannya dengan dinamika bumi, langit, lingkungan, dan semesta luas.
Sehingga, hasil akhir dari evaluasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan dasar atau pijakan dalam menilai dan melihat dampak dari tindakan manusia terhadap alam di sekitarnya. Sayangnya, perhatian terhadap lingkungan semacama ini kurang dikaji dan mendapat perhatian yang cukup serius.
Anna M. Gade menyebut bahwa, kejadian seperti di atas, diakibatkan oleh kurang memadainya landasan antropologis dari umat beragama secara khusus sdan seluruh manusia pada umumnya, untuk memandang alam, satwa liar, dan lain sebagainya sebagai satu kesatuan utuh dengan manusia itu sendiri (Gade, 2019).
Padahal dalam kajian ilmu interdisipliner, antara alam, satwa liar dan manusia sendiri adalah bagian terpisah dan memiliki aspek kajian tersindiri. Mudahnya, Anna hendak menawarkan dan memberitahu bahwa, manusia tidak harus memposisikan diri sebagai subjek yang berhak untuk memanfaatkan alam secara berlebihan yang berakibat pada penyalahgunaan alam untuk kepentingan pribadinya.
Sejalan dengan Anna M. Gade, Seyyed Hosein Nasr turut menawarkan rumusuan gagasannya perihal masalah evaluasi kosmik. Konsepsi kosmik Nasr mengarah pada pola yang dalam studi agama disebut dengan pendekatan teologis (Bahri, 2011).
Ia bertolak pada upaya mewujudkan relasi-konstruktif antara Tuhan, manusia, dan alam. Seperti yang disampaikan Nasr, krisis ekologi yang masif terjadi merupakan akibat langsung dari ambisiusnya manusia modern dalam memperlakukan dan mengeksploitasi alam.
Atau dalam kata lain, penyebab utama perubahan iklim ini adalah akibat dari gaya hidup saintisme manusia yang tidak menganggap ilmu modern sebagai salah satu cara untuk mengenal alam, melainkan dipandang sebagai filsafat yang secara keseluruhan mengurangi semua realitas ke dalam bagian fisik dan tidak menerima adanya pandangan-pandangan dunia yang non-saintis.(Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, 1968).
Sejalan dengan pemikiran Nasr, Bruno Latour melihat bahwa cara pandang manusia modern tidak bisa diungkapkan sebagai suatu periode antar waktu untuk mendeskripsikan realitas, melainkan merujuk pada cara berfikir. Dalam bukunya We Have Never Been Modern, Latour membagi empat jaminan yang gagal dipenuhi oleh konstitusi modern.
Pertama, membuat jaminan perbedaan transendensi antara alam dan struktur masyarakat. Kedua, menjamin dimensi imanen kemasyarakatan dengan membuat warga negara sepenuhnya bebas untuk membangun kembali kebebasannya secara artificial.
tulis komentar anda