Bisa Picu Masalah, Perpres TNI Tangani Terorisme Diminta Ditarik
Rabu, 03 Juni 2020 - 18:14 WIB
Dengan kalimat lain, kata dia, draf Perpres tersebut akhirnya seperti buah simalakama. Maunya ikut melakukan penegakan hukum, namun jadi masalah karena bingkainya ada operasi militer.
”Pasal-pasal tersebut tumpang tindih. Karena itu, pernah saya bilang, pasal itu jangan dipakai. Tapi ini kan dipaksakan, sehingga akibatnya TNI yang serba salah,” lanjutnya.
Dia mengkhawatirkan persoalan lain jika Perpres sampai disahkan, yakni ketentuan itu akan berlaku untuk seterusnya. Operasi militer itu menjadi permanen. ”Padahal itu bertabrakan dengan UU 34/2004 Pasal 7 ayat 3, yang menyebut bahwa pelibatan TNI untuk mengatasi terorisme sifatnya insidentil, tidak terus menerus,” tuturnya.
Menurut dia, perpres itu akan berbahaya jika dilanjutkan. Selain merusak sistem hukum (criminal justice system), pelaksanaannya juga akan membawa kita kembali ke otoriter. Pasalnya yang dilakukan adalah operasi militer.
Belum lagi, bakal muncul perdebatan antara mana urusan yang merupakan kewenangan polisi, dan mana yang TNI. ”Itu akan ramai terus dan masyarakat yang jadi korban, karena yang namanya operasi militer itu tidak menindak pelaku teror ke sidang pengadilan,” ujarnya.
Soleman menegaskan, perpres ini sebenarnya tidak mengatur hal urgen saat ini. Tanpa adanya Perpres, TNI pun bisa dilibatkan dalam menangani terorisme, sejauh merupakan kebijakan dan keputusan politik. Karena tidak urgen, menurut Soleman, tidak dibuat pun tidak apa-apa.
"Apalagi di tengah pandemi Covid-19, untuk apa bikin barang begituan? Tidak ada manfaatnya," ujarnya.
Selain itu, ibarat pameo: sesama bis kota tidak boleh saling mendahului, ketentuan UU No. 34/2004 tidak bisa mengatur UU No. 5/2018. "Belum lagi, Perpres tersebut juga memangkas kewenangan DPR untuk melakukan kontrol, karena penerbitan Perpres tidak memerlukan pembahasan dengan DPR. Rusak semua jadinya,” tuturnya.
”Pasal-pasal tersebut tumpang tindih. Karena itu, pernah saya bilang, pasal itu jangan dipakai. Tapi ini kan dipaksakan, sehingga akibatnya TNI yang serba salah,” lanjutnya.
Dia mengkhawatirkan persoalan lain jika Perpres sampai disahkan, yakni ketentuan itu akan berlaku untuk seterusnya. Operasi militer itu menjadi permanen. ”Padahal itu bertabrakan dengan UU 34/2004 Pasal 7 ayat 3, yang menyebut bahwa pelibatan TNI untuk mengatasi terorisme sifatnya insidentil, tidak terus menerus,” tuturnya.
Menurut dia, perpres itu akan berbahaya jika dilanjutkan. Selain merusak sistem hukum (criminal justice system), pelaksanaannya juga akan membawa kita kembali ke otoriter. Pasalnya yang dilakukan adalah operasi militer.
Belum lagi, bakal muncul perdebatan antara mana urusan yang merupakan kewenangan polisi, dan mana yang TNI. ”Itu akan ramai terus dan masyarakat yang jadi korban, karena yang namanya operasi militer itu tidak menindak pelaku teror ke sidang pengadilan,” ujarnya.
Soleman menegaskan, perpres ini sebenarnya tidak mengatur hal urgen saat ini. Tanpa adanya Perpres, TNI pun bisa dilibatkan dalam menangani terorisme, sejauh merupakan kebijakan dan keputusan politik. Karena tidak urgen, menurut Soleman, tidak dibuat pun tidak apa-apa.
"Apalagi di tengah pandemi Covid-19, untuk apa bikin barang begituan? Tidak ada manfaatnya," ujarnya.
Selain itu, ibarat pameo: sesama bis kota tidak boleh saling mendahului, ketentuan UU No. 34/2004 tidak bisa mengatur UU No. 5/2018. "Belum lagi, Perpres tersebut juga memangkas kewenangan DPR untuk melakukan kontrol, karena penerbitan Perpres tidak memerlukan pembahasan dengan DPR. Rusak semua jadinya,” tuturnya.
(dam)
tulis komentar anda