Agenda Lelah Pengulik Sastra Akademis

Jum'at, 15 Oktober 2021 - 07:33 WIB
Agenda Lelah Pengulik Sastra Akademis
Anton Suparyanta

Esais dan Product Manager di PT Penerbit Intan Pariwara, Klaten-Jateng

Ke mana (quo vadis) pengulik (kritisi) sastra akademis kita? Lebih dari dua dasa warsa silam hingga kiwari klaim “era gagap sastra bagi akademisi” tak tuntas jawab. Tak reliabel mencontohkan sayembara penulisan kritik sastra DKJ yang senantiasa menggeliat ataupun web kritik sastra yang kini dirilisnya.

baca jug: Atas Nama Jenama dan Jemawa Proyek

Tak jemawa Badan Bahasa Kemendikbud tergiur sayembara kritik sastra berkala yang dikuntit sejumlah Balai Bahasa di provinsi tertentu. Hanya riak kecil tatkala Tere Liye rajin melempar lomba resensi novel terbarunya dengan umpan pasar. Pun demikian sejumlah penerbit yang sudi menawarkan lomba resensi buku sastra. Lalu, ke mana (quo vadis) para pengulik sastra era akademisi kiwari? Pasti ini bukan perkara politis.



Budi Darma dan Sapardi Djoko Damono tiada. Ajip Rosidi pun tiada. Memang, Budi, Sapardi, dan Rosidi bukan trio maestro sastra, apalagi kritisi. Budi, Sapardi, dan Rosidi adalah tiga portal vital ketika belajar hidup membersamai sastra. Kebetulan Budi dan Sapardi agung berkaum akademisi, sedangkan Rosidi memberkah nirijazah. Unik, terjadi dua sinergi talenta sastra dari latar belakang yang mahalebar berjurang. Budi, Sapardi, dan Rosidi mati. Ikut matikah gen kritisi akademis sastra Indonesia kiwari?

baca juga: Ilmu Komunikasi Fakultas Sastra UMI Jajaki Kerjasama dengan PD PAFI Sulsel

Derasnya industri penerbitan buku-buku sastra akhir-akhir ini memicu satu gejala pemikiran geli. Berhura-huralah untuk menghantam pengarang melaju tanpa beban kritik dengan dalih kritisi sastra kita sudah mati. Apakah dalih ini pun berupaya membunuh iklim keutuhan berkesastraan secara sehat?

Ini menjadi logika kerdil, gagap untuk menyimak wawasan bersastra dengan cara ucap atau dengan media yang baru. Lagi-lagi, inikah gejala ewuh-aya bagi pengarang sastra, pemerhati, ataupun pengamat sastra Indonesia termutakhir? Kaum literat sastra bilang “entahlah”!

Portal Pikir Sastra



Kritik sastra Indonesia tidak memiliki tradisi, tetapi memiliki nilai keunikan. Pada mulanya kritik sastra menyebar hadir melalui rubrik koran pun majalah yang sentralistik, Jakarta oriented, Jakarta minded. Bukankah siaran dan terbitan pers yang memiliki gurita industri kala itu masih dihegemoni Jakarta? Bukankah era 60-70-an hingga paruh awal 80-an kiblat kesastraan Indonesia menggumpal di pusar metropolis tersebut?

baca juga: Novelis Tanzania Abdulrazak Gurnah Sabet Nobel Sastra

Nah, jika kita kini hanya terpaku pada kejayaan “zaman sastra metropolis” tersebut, tentulah para pelaku sastra akan terjatuh di kubangan “universalitas sempit”. Kenapa begitu? Alasan kunonya justru timbul kecenderungan mutlak untuk sebuah pola yang dimapankan. Pemapanan yang hanya bertumpu pada universalnya gaya bangsa Barat ini, tanpa disadari akan memaksa kesastraan Indonesia harus melaju bergaya intelektual. Untuk inilah kita tak bisa ingkar membongkar arsip dominasi sebaran karya dan kritik sastra di kantong Budaya Jaya, Sastra, Kisah, Zaman, Zenith, Horison, ataupun Basis ketika masih bernyali untuk “nyastra”.

baca juga: Apresiasi Sastra, PBSI UIN Jakarta Gelar Ziarah dan Persembahan untuk WS Rendra

Lantas, arifkah kini tatkala media tersebut terengah dan mati kehilangan napas, justru kita jotos dengan “pengarang melaju tanpa kritik” sehingga mudah menuduh “kritisi sastra kita sudah mati”? Nah, kalau pelaku sastra kini hanya bisa mengelap-lap “zaman emas” bersastra seperti itu, tentu bahaya dahsyat akan menggerogotinya. Kenanglah inertia, cuma tahu satu kemungkinan di bidangnya. Bukankah ini sebuah penyakit, parasit dalam kesastraan?

Lalu sikap kita? Ketika era sastra di majalah telah mati, penyerbuan sastra kini eksis di koran, web atau portal digital, dan penerbitan karbitan ala komunitas menulis. Akan tetapi, kendala besar pun terus menghadang. Publikasi kritikan sastra menjadi sempit yang mengakibatkan kritik sumir, dangkal, dan cenderung verbalitas literer atau kritik sastra sambil lalu. Untuk alasan inilah dibutuhkan media alternatif demi publikasi karya kritikan sastra. Kegagalan penikmat sastra terkini adalah taklid buta terhadap media alternatif ini, sehingga dengan enteng menuliskan tiada kontinuitas kritik dan kritisi sastra yang mumpuni hingga kiwari.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More