Menengok Sapardi: Sastra dan Pendidikan
loading...
A
A
A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni.
Tak ada sastrawan Indonesia yang tak kenal Sapardi Djoko Damono (SDD). Karya-karyanya bertebaran dan menjadi bahan kajian banyak mahasiswa. Tapi kali ini Saparti tidak menulis puisi atau novel. SDD esai yang dikumpulkan menjadi buku bertajuk Sastra dan Pendidikan. Buku ini diterbitkan oleh Pabrik Tulisan, dan berisi kumpulan 8 (delapan) tulisannya.
Di alenia terakhir tulisan pertama yang berjudul Kegiatan Sastra di Sekolah, Sapardi menulis: “Dalam hal apresiasi sastra, guru sebaiknya berfungsi sebagai ‘rekan’ yang lebih tua, yang lebih berpengalaman, yang bersama-sama dengan murid-muridnya berusaha memahami karya sastra. Guru sastra adalah ‘sekadar’ pendamping murid-muridnya dalam usaha mengungkapkan penghayatan, tanggapan, dan penilaian pengarang terhadap kehidupan.”
Meski tidak sama persis, hal itu cukup membuat saya teringat pada tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Kita tahu, ada tiga semboyan pendidikan yang dipopulerkan oleh Ki Hadjar, yakni – pertama-- Ing Ngarsa Sung Tuladha, yang artinya seorang pendidik selalu berada di depan untuk memberi teladan. Ia adalah penimpin yang memberi contoh dalam perkataan dan perbuatannya sehingga pantas diteladani oleh para murid.
Kedua, Ing Madya Mangun Karsa, yang berarti seorang pendidik selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus menerus memotivasi peserta didiknya untuk berkarya, mengembankan minat, memberi semangat, dan menumbuhkan ide-ide agar peserta didiknya produktif dalam berkarya.
Ketiga, Tut Wuri Handayani, maksudnya adalah seorang pendidik selalu mendukung dan menopang para muridnya untuk berkarya ke arah yang benar bagi hidup masyarakat. Pendidik mengikuti para muridnya dari belakang, memberi kemerdekaan bergerak sekaligus mempengaruhi mereka.
Ki Hadjar yakin bahwa metode pendidikan yang cocok dengan karakter dan budaya Indonesia adalah tidak memakai syarat paksaan. Pendidik atau pamong adalah orang yang menuntun proses pengekspresian potensi-potensi diri peserta didiknya agar terarah dan tidak destruktif bagi dirinya dan sesamanya. Maka Ki Hadjar menggunakan tiga metode pengajaran, yakni Momong, Among, dan Ngemong, yang berarti bahwa pendidikan itu bersifat mengasuh. Dalam Among, pengajaran berarti mendidik peserta didik menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Mengemong anak berarti memberi kebebasan anak bergerak menurut kemauannya, tatapi pamong akan bertindak apabila keinginan anak-anak berpotensi membahayakan keselamatannya.
Dari satu buku ini, saya belum berani menyimpulkan apakah Sapardi dipengaruhi gagasan John Dewey dengan “rekonstruksi pengalaman”-nya. Bagi John Dewey, pendidikan dan pembelajaran merupakan suatu proses interaktif yang bersifat sosial. Proses tersebut bertujuan utama untuk memampukan peserta didik menjadi pembelajar terus menerus dengan secara cerdas menanggapi dan mencari solusi atas masalah yang dihadipanya.
Tokoh pendidikan lain yang terkenal adalah Paolo Freire yang menolak pendidikan modal “bank”, yakni pendidikan yang diibaratkan sebagai perbendaharaan pribadi yang disimpan dalam kepala. Dalam pola “bank” itu, guru mengisi kepala murid dengan pengetahuan. Guru menyuapi murid tanpa memperhatikan dimensi kesadaran si penerima. Maka yang terjadi adalah pembelajaran hafalan dan mengulang seperti beo. Maka Freire melawan dengan konsep Pendidikan Kritis atau pendidikan yang membebaskan. Caranya dimulai dengan mempertanyakan kenyataan yang ada dan memecahkan persoalan. Dalam model Freire, anak didik dirangsang untuk mengemukakan prorblemnya sendiri, problem masyarakatnya, tanpa didekte oleh penguasa.
Sedangkan menurut Alfred N. Whitehead, proses pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat membantu peserta didik memperoleh kebijaksanaan. Maksudnya adalah peserta didik dapat tumbuh seimbang antara pengetahuan mengenai hal-hal teknis dan memiliki visi yang memberikan arah dan makna pada kehidupan peserta didik. Dengan demikian tujuan pendidikan adalah terbentuknya manusia yang berbudaya dan memiliki keahlian dalam salah satu cabang pengetahuan.
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni.
Tak ada sastrawan Indonesia yang tak kenal Sapardi Djoko Damono (SDD). Karya-karyanya bertebaran dan menjadi bahan kajian banyak mahasiswa. Tapi kali ini Saparti tidak menulis puisi atau novel. SDD esai yang dikumpulkan menjadi buku bertajuk Sastra dan Pendidikan. Buku ini diterbitkan oleh Pabrik Tulisan, dan berisi kumpulan 8 (delapan) tulisannya.
Di alenia terakhir tulisan pertama yang berjudul Kegiatan Sastra di Sekolah, Sapardi menulis: “Dalam hal apresiasi sastra, guru sebaiknya berfungsi sebagai ‘rekan’ yang lebih tua, yang lebih berpengalaman, yang bersama-sama dengan murid-muridnya berusaha memahami karya sastra. Guru sastra adalah ‘sekadar’ pendamping murid-muridnya dalam usaha mengungkapkan penghayatan, tanggapan, dan penilaian pengarang terhadap kehidupan.”
Meski tidak sama persis, hal itu cukup membuat saya teringat pada tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Kita tahu, ada tiga semboyan pendidikan yang dipopulerkan oleh Ki Hadjar, yakni – pertama-- Ing Ngarsa Sung Tuladha, yang artinya seorang pendidik selalu berada di depan untuk memberi teladan. Ia adalah penimpin yang memberi contoh dalam perkataan dan perbuatannya sehingga pantas diteladani oleh para murid.
Kedua, Ing Madya Mangun Karsa, yang berarti seorang pendidik selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus menerus memotivasi peserta didiknya untuk berkarya, mengembankan minat, memberi semangat, dan menumbuhkan ide-ide agar peserta didiknya produktif dalam berkarya.
Ketiga, Tut Wuri Handayani, maksudnya adalah seorang pendidik selalu mendukung dan menopang para muridnya untuk berkarya ke arah yang benar bagi hidup masyarakat. Pendidik mengikuti para muridnya dari belakang, memberi kemerdekaan bergerak sekaligus mempengaruhi mereka.
Ki Hadjar yakin bahwa metode pendidikan yang cocok dengan karakter dan budaya Indonesia adalah tidak memakai syarat paksaan. Pendidik atau pamong adalah orang yang menuntun proses pengekspresian potensi-potensi diri peserta didiknya agar terarah dan tidak destruktif bagi dirinya dan sesamanya. Maka Ki Hadjar menggunakan tiga metode pengajaran, yakni Momong, Among, dan Ngemong, yang berarti bahwa pendidikan itu bersifat mengasuh. Dalam Among, pengajaran berarti mendidik peserta didik menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Mengemong anak berarti memberi kebebasan anak bergerak menurut kemauannya, tatapi pamong akan bertindak apabila keinginan anak-anak berpotensi membahayakan keselamatannya.
Dari satu buku ini, saya belum berani menyimpulkan apakah Sapardi dipengaruhi gagasan John Dewey dengan “rekonstruksi pengalaman”-nya. Bagi John Dewey, pendidikan dan pembelajaran merupakan suatu proses interaktif yang bersifat sosial. Proses tersebut bertujuan utama untuk memampukan peserta didik menjadi pembelajar terus menerus dengan secara cerdas menanggapi dan mencari solusi atas masalah yang dihadipanya.
Tokoh pendidikan lain yang terkenal adalah Paolo Freire yang menolak pendidikan modal “bank”, yakni pendidikan yang diibaratkan sebagai perbendaharaan pribadi yang disimpan dalam kepala. Dalam pola “bank” itu, guru mengisi kepala murid dengan pengetahuan. Guru menyuapi murid tanpa memperhatikan dimensi kesadaran si penerima. Maka yang terjadi adalah pembelajaran hafalan dan mengulang seperti beo. Maka Freire melawan dengan konsep Pendidikan Kritis atau pendidikan yang membebaskan. Caranya dimulai dengan mempertanyakan kenyataan yang ada dan memecahkan persoalan. Dalam model Freire, anak didik dirangsang untuk mengemukakan prorblemnya sendiri, problem masyarakatnya, tanpa didekte oleh penguasa.
Sedangkan menurut Alfred N. Whitehead, proses pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat membantu peserta didik memperoleh kebijaksanaan. Maksudnya adalah peserta didik dapat tumbuh seimbang antara pengetahuan mengenai hal-hal teknis dan memiliki visi yang memberikan arah dan makna pada kehidupan peserta didik. Dengan demikian tujuan pendidikan adalah terbentuknya manusia yang berbudaya dan memiliki keahlian dalam salah satu cabang pengetahuan.