Agenda Lelah Pengulik Sastra Akademis
loading...
A
A
A
Anton Suparyanta
Esais dan Product Manager di PT Penerbit Intan Pariwara, Klaten-Jateng
Ke mana (quo vadis) pengulik (kritisi) sastra akademis kita? Lebih dari dua dasa warsa silam hingga kiwari klaim “era gagap sastra bagi akademisi” tak tuntas jawab. Tak reliabel mencontohkan sayembara penulisan kritik sastra DKJ yang senantiasa menggeliat ataupun web kritik sastra yang kini dirilisnya.
baca jug: Atas Nama Jenama dan Jemawa Proyek
Tak jemawa Badan Bahasa Kemendikbud tergiur sayembara kritik sastra berkala yang dikuntit sejumlah Balai Bahasa di provinsi tertentu. Hanya riak kecil tatkala Tere Liye rajin melempar lomba resensi novel terbarunya dengan umpan pasar. Pun demikian sejumlah penerbit yang sudi menawarkan lomba resensi buku sastra. Lalu, ke mana (quo vadis) para pengulik sastra era akademisi kiwari? Pasti ini bukan perkara politis.
Budi Darma dan Sapardi Djoko Damono tiada. Ajip Rosidi pun tiada. Memang, Budi, Sapardi, dan Rosidi bukan trio maestro sastra, apalagi kritisi. Budi, Sapardi, dan Rosidi adalah tiga portal vital ketika belajar hidup membersamai sastra. Kebetulan Budi dan Sapardi agung berkaum akademisi, sedangkan Rosidi memberkah nirijazah. Unik, terjadi dua sinergi talenta sastra dari latar belakang yang mahalebar berjurang. Budi, Sapardi, dan Rosidi mati. Ikut matikah gen kritisi akademis sastra Indonesia kiwari?
baca juga: Ilmu Komunikasi Fakultas Sastra UMI Jajaki Kerjasama dengan PD PAFI Sulsel
Derasnya industri penerbitan buku-buku sastra akhir-akhir ini memicu satu gejala pemikiran geli. Berhura-huralah untuk menghantam pengarang melaju tanpa beban kritik dengan dalih kritisi sastra kita sudah mati. Apakah dalih ini pun berupaya membunuh iklim keutuhan berkesastraan secara sehat?
Ini menjadi logika kerdil, gagap untuk menyimak wawasan bersastra dengan cara ucap atau dengan media yang baru. Lagi-lagi, inikah gejala ewuh-aya bagi pengarang sastra, pemerhati, ataupun pengamat sastra Indonesia termutakhir? Kaum literat sastra bilang “entahlah”!
Portal Pikir Sastra
Kritik sastra Indonesia tidak memiliki tradisi, tetapi memiliki nilai keunikan. Pada mulanya kritik sastra menyebar hadir melalui rubrik koran pun majalah yang sentralistik, Jakarta oriented, Jakarta minded. Bukankah siaran dan terbitan pers yang memiliki gurita industri kala itu masih dihegemoni Jakarta? Bukankah era 60-70-an hingga paruh awal 80-an kiblat kesastraan Indonesia menggumpal di pusar metropolis tersebut?
baca juga: Novelis Tanzania Abdulrazak Gurnah Sabet Nobel Sastra
Nah, jika kita kini hanya terpaku pada kejayaan “zaman sastra metropolis” tersebut, tentulah para pelaku sastra akan terjatuh di kubangan “universalitas sempit”. Kenapa begitu? Alasan kunonya justru timbul kecenderungan mutlak untuk sebuah pola yang dimapankan. Pemapanan yang hanya bertumpu pada universalnya gaya bangsa Barat ini, tanpa disadari akan memaksa kesastraan Indonesia harus melaju bergaya intelektual. Untuk inilah kita tak bisa ingkar membongkar arsip dominasi sebaran karya dan kritik sastra di kantong Budaya Jaya, Sastra, Kisah, Zaman, Zenith, Horison, ataupun Basis ketika masih bernyali untuk “nyastra”.
baca juga: Apresiasi Sastra, PBSI UIN Jakarta Gelar Ziarah dan Persembahan untuk WS Rendra
Lantas, arifkah kini tatkala media tersebut terengah dan mati kehilangan napas, justru kita jotos dengan “pengarang melaju tanpa kritik” sehingga mudah menuduh “kritisi sastra kita sudah mati”? Nah, kalau pelaku sastra kini hanya bisa mengelap-lap “zaman emas” bersastra seperti itu, tentu bahaya dahsyat akan menggerogotinya. Kenanglah inertia, cuma tahu satu kemungkinan di bidangnya. Bukankah ini sebuah penyakit, parasit dalam kesastraan?
Lalu sikap kita? Ketika era sastra di majalah telah mati, penyerbuan sastra kini eksis di koran, web atau portal digital, dan penerbitan karbitan ala komunitas menulis. Akan tetapi, kendala besar pun terus menghadang. Publikasi kritikan sastra menjadi sempit yang mengakibatkan kritik sumir, dangkal, dan cenderung verbalitas literer atau kritik sastra sambil lalu. Untuk alasan inilah dibutuhkan media alternatif demi publikasi karya kritikan sastra. Kegagalan penikmat sastra terkini adalah taklid buta terhadap media alternatif ini, sehingga dengan enteng menuliskan tiada kontinuitas kritik dan kritisi sastra yang mumpuni hingga kiwari.
baca juga: 8 Profesi yang Cocok untuk Mahasiswa Lulusan Sastra
Ada pergeseran dalam publikasi kritik sastra. Mula-mula berorientasi majalah sastra yang Jakarta sentris, kemudian diimbangi oleh koran-koran yang bertumbuh di Jakara juga. Lalu berkat ledakan teknologi, ruang sastra semakin tertutup. Sastra tak ber-uang, ruang sastra budaya kini makin ditepikan oleh kebijakan redaksi. Mediasi sastra Jakarta sentris bubar. Menyikapi penyempitan kavling inilah, muncul media alternatif untuk memublikasikan kritik sastra yang begitu ilmiah dan mapan. Media ini hadir dalam kemasan majalah, jurnal, buletin yang diterbitkan oleh kalangan akademisi. Ke mana mereka kini?
Menagih Media Bersastra
Ketika siar sastra Jakarta sentris bubar, muncullah kerinduan pikir sinergis di kota tertentu dengan kolaborasi Balai Bahasa atau Kantor Bahasa di provinsi tertentu dengan media koran tertentu di kota tersebut. Cupliklah contoh Kantor Bahasa Riau bersama harian Riau Pos dengan rubrik Alinea. Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara bergandeng dengan Harian Rakyat Sultra dengan rubrik Bahasa, Sastra, dan Budaya.
baca juga: 7 Artis Lokal dan Luar Negeri yang Kuliah Jurusan Sastra
Cobalah kita arif menagih media berkala seperti: Widya Parwa (Kantor Bahasa Yogyakarta), Humaniora (FIB UGM), Widya Dharma (USD Yogyakarta), Diksi (UNY Yogyakarta), Semiotika (UST Yogyakarta), Seni (ISI Yogyakarta), Citra Yogya (DK Yogyakarta), Haluan Sastra Budaya (FIB UNS Solo), Kajian Bahasa dan Sastra (UMS Solo), Kajian Sastra (FIB Undip Semarang), Widya Pustaka (FIB Unud Bali), Lontara (Unhas Makassar), Puitika (FIB Unand Padang), Pengajaran Bahasa dan Sastra (Depdikbud Jakarta), Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia (FIB UI Jakarta), Fenolingua dan Magistra (Unwidha Klaten). Bukankah data media ini bisa dideret di PTN pun PTS seluruh Indonesia? Apa kabar publikasi kesastraannya? Belum lagi sindrom tumbuh dan tumbang majalah trendi Majas (Jakarta), Jurnal Madah dan Serindit (Riau), Basis dan Sabana (Yogyakarta), Kidung dan Suluk (DK Jatim).
baca juga: 5 Kampus Swasta dengan Jurusan Sastra Terbaik di Indonesia
Pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran kritik sastra Indonesia memang sangat lambat jika dibandingkan dengan siar karya sastra yang memiliki wawasan dan pandangan luas atau netral seperti dikabarkan almarhum Jassin. Tengara pokok disebabkan oleh pluralitas karya sastra yang menuntut kepekaan khusus dari para kritisi atau penelaah sastra dalam upaya pemahaman total, serta menggali nilai bulat dari karya tersebut.
Kritisi sastra Indonesia pada umumnya adalah deretan penulis kreatif serba bisa dan sangat terpengaruh aliran atau mazhab sastra yang dianutnya. Akibatnya terjadi kesulitan ketika menilai karya yang berada di luar kerangka mazhab yang diilmuinya. Efek yang menjadi cemooh terkini yakni kritisi kurang menjadi objektif dan cenderung subjektif belaka. Namun subjektivitas bukanlah harga mati. Subjektivitas tak membuat pengaburan isi karya. Sebagai teladan romantisme yakni Arief Budiman, A Teeuw, pun Subagio Sastrowardoyo.
baca juga: Jurusan Sastra dengan Peminat Tertinggi di Indonesia, Korea Termasuk!
Tak silap hati jika Korrie Layun Rampan pun menegasi bahwa pada pokoknya kritik sastra harus berangkat dari subjektivitas untuk meraup objektivitas. Subjektivitas untuk mencapai objektivitas, ditopang visi, keseriusan, dan telaten sangat dituntut pada diri sosok kritisi, di samping mengusasi perangkat teori. Karena itu, tuntutan kritisi kiwari adalah totalitas yang multifaset, pengalaman literer yang ultima. Pembaca kiwari bilang “melek kecakapan literasi”.
Pengulik Herd Immunity
Pengulik sastra terkini pun kembang kempis. Menyerah. Tamsilnya herd immunity, hidup segan mati pun enggan. Kendala utama terkini yang membelit para penulis kritik sastra (sambil lalu) atau kritikan bisu ala verbalitas literer adalah media publikasi yang mapan. Bagi kaum akademisi (dosen) tentunya sudah tersedia wadah kritikan, tetapi risiko yang mencolok adalah benturan honorarium. Bagi penulis luar pun terasa sekarat, tidak sedikit media menutup rubrik kritik sastra.
baca juga: Yang Perlu Dipertimbangkan sebelum Memilih Jurusan Sastra
Ketahuilah, mulai paruh kedua 1990-an hingga 2021 sudah berjubel penerbitan karya: puisi, cerpen, novelet, novel, drama, antologi esai sastra; tetapi penanggapnya begitu miskin. Karya sastra ibarat menyampah. Apakah ekspresi kesastraan Indonesia telah mengidap diskomunikasi dengan masyarakat pembacanya? Kegeniusan ala Seno Gumira Ajidarma, Titis Basino PI, Tere Liye, Ahmad Fuadi, Andrea Hirata, Joko Pinurbo, sebagai contoh, tak mendapat perhatian serius. Mengapa periset sastra di Kantor Bahasa yang eksis di hampir setiap provinsi masih tidur untuk media? Mengapa belakangan ini tidak sedikit dosen sastra (Indonesia) bisu bersastra?
Sekadar menjumput tokoh terkini menggegas sastra, ada Prof Djoko Saryono (FIB UNM Malang), Dr Abdul Wachid BS (IAIN Purwokerto), Dr Teguh Trianton (UMP Purwokerto), Dr S Prasetyo Utomo (Universitas PGRI Semarang), Yusri Fajar MA (FIB Universitas Brawijaya Surabaya), Dr Aprinus Salam (FIB UGM Yogyakarta), pun Dr Wiyatmi (FIB UNY Yogyakarta) yang dewasa mengunyah sastra. Apa kabar master pengulik sastra?
baca juga: Sering Kena Stereotip, Ini Artinya Jadi Mahasiswa Sastra
Sebagai epilog, kritisi adalah dia yang menyoroti dan menganalisis buah sastra dalam perspektif kesejarahan dan filsafat, tetapi juga dia yang sekadar memberi timbangan dan komentar. Soal tepatnya orang diberi julukan kritisi, pembahas, atau hanya sekadar komentator adalah soal penentuan nilai dan gelar dan tidak bersangkutan dengan pengertian pokok (Subagio Sastrowardoyo, 1966, di ig badanbahasakemendikbud). Semoga Anda intensif menjadi pengulik pun penanggap sastra Indonesia kiwari.
Esais dan Product Manager di PT Penerbit Intan Pariwara, Klaten-Jateng
Ke mana (quo vadis) pengulik (kritisi) sastra akademis kita? Lebih dari dua dasa warsa silam hingga kiwari klaim “era gagap sastra bagi akademisi” tak tuntas jawab. Tak reliabel mencontohkan sayembara penulisan kritik sastra DKJ yang senantiasa menggeliat ataupun web kritik sastra yang kini dirilisnya.
baca jug: Atas Nama Jenama dan Jemawa Proyek
Tak jemawa Badan Bahasa Kemendikbud tergiur sayembara kritik sastra berkala yang dikuntit sejumlah Balai Bahasa di provinsi tertentu. Hanya riak kecil tatkala Tere Liye rajin melempar lomba resensi novel terbarunya dengan umpan pasar. Pun demikian sejumlah penerbit yang sudi menawarkan lomba resensi buku sastra. Lalu, ke mana (quo vadis) para pengulik sastra era akademisi kiwari? Pasti ini bukan perkara politis.
Budi Darma dan Sapardi Djoko Damono tiada. Ajip Rosidi pun tiada. Memang, Budi, Sapardi, dan Rosidi bukan trio maestro sastra, apalagi kritisi. Budi, Sapardi, dan Rosidi adalah tiga portal vital ketika belajar hidup membersamai sastra. Kebetulan Budi dan Sapardi agung berkaum akademisi, sedangkan Rosidi memberkah nirijazah. Unik, terjadi dua sinergi talenta sastra dari latar belakang yang mahalebar berjurang. Budi, Sapardi, dan Rosidi mati. Ikut matikah gen kritisi akademis sastra Indonesia kiwari?
baca juga: Ilmu Komunikasi Fakultas Sastra UMI Jajaki Kerjasama dengan PD PAFI Sulsel
Derasnya industri penerbitan buku-buku sastra akhir-akhir ini memicu satu gejala pemikiran geli. Berhura-huralah untuk menghantam pengarang melaju tanpa beban kritik dengan dalih kritisi sastra kita sudah mati. Apakah dalih ini pun berupaya membunuh iklim keutuhan berkesastraan secara sehat?
Ini menjadi logika kerdil, gagap untuk menyimak wawasan bersastra dengan cara ucap atau dengan media yang baru. Lagi-lagi, inikah gejala ewuh-aya bagi pengarang sastra, pemerhati, ataupun pengamat sastra Indonesia termutakhir? Kaum literat sastra bilang “entahlah”!
Portal Pikir Sastra
Kritik sastra Indonesia tidak memiliki tradisi, tetapi memiliki nilai keunikan. Pada mulanya kritik sastra menyebar hadir melalui rubrik koran pun majalah yang sentralistik, Jakarta oriented, Jakarta minded. Bukankah siaran dan terbitan pers yang memiliki gurita industri kala itu masih dihegemoni Jakarta? Bukankah era 60-70-an hingga paruh awal 80-an kiblat kesastraan Indonesia menggumpal di pusar metropolis tersebut?
baca juga: Novelis Tanzania Abdulrazak Gurnah Sabet Nobel Sastra
Nah, jika kita kini hanya terpaku pada kejayaan “zaman sastra metropolis” tersebut, tentulah para pelaku sastra akan terjatuh di kubangan “universalitas sempit”. Kenapa begitu? Alasan kunonya justru timbul kecenderungan mutlak untuk sebuah pola yang dimapankan. Pemapanan yang hanya bertumpu pada universalnya gaya bangsa Barat ini, tanpa disadari akan memaksa kesastraan Indonesia harus melaju bergaya intelektual. Untuk inilah kita tak bisa ingkar membongkar arsip dominasi sebaran karya dan kritik sastra di kantong Budaya Jaya, Sastra, Kisah, Zaman, Zenith, Horison, ataupun Basis ketika masih bernyali untuk “nyastra”.
baca juga: Apresiasi Sastra, PBSI UIN Jakarta Gelar Ziarah dan Persembahan untuk WS Rendra
Lantas, arifkah kini tatkala media tersebut terengah dan mati kehilangan napas, justru kita jotos dengan “pengarang melaju tanpa kritik” sehingga mudah menuduh “kritisi sastra kita sudah mati”? Nah, kalau pelaku sastra kini hanya bisa mengelap-lap “zaman emas” bersastra seperti itu, tentu bahaya dahsyat akan menggerogotinya. Kenanglah inertia, cuma tahu satu kemungkinan di bidangnya. Bukankah ini sebuah penyakit, parasit dalam kesastraan?
Lalu sikap kita? Ketika era sastra di majalah telah mati, penyerbuan sastra kini eksis di koran, web atau portal digital, dan penerbitan karbitan ala komunitas menulis. Akan tetapi, kendala besar pun terus menghadang. Publikasi kritikan sastra menjadi sempit yang mengakibatkan kritik sumir, dangkal, dan cenderung verbalitas literer atau kritik sastra sambil lalu. Untuk alasan inilah dibutuhkan media alternatif demi publikasi karya kritikan sastra. Kegagalan penikmat sastra terkini adalah taklid buta terhadap media alternatif ini, sehingga dengan enteng menuliskan tiada kontinuitas kritik dan kritisi sastra yang mumpuni hingga kiwari.
baca juga: 8 Profesi yang Cocok untuk Mahasiswa Lulusan Sastra
Ada pergeseran dalam publikasi kritik sastra. Mula-mula berorientasi majalah sastra yang Jakarta sentris, kemudian diimbangi oleh koran-koran yang bertumbuh di Jakara juga. Lalu berkat ledakan teknologi, ruang sastra semakin tertutup. Sastra tak ber-uang, ruang sastra budaya kini makin ditepikan oleh kebijakan redaksi. Mediasi sastra Jakarta sentris bubar. Menyikapi penyempitan kavling inilah, muncul media alternatif untuk memublikasikan kritik sastra yang begitu ilmiah dan mapan. Media ini hadir dalam kemasan majalah, jurnal, buletin yang diterbitkan oleh kalangan akademisi. Ke mana mereka kini?
Menagih Media Bersastra
Ketika siar sastra Jakarta sentris bubar, muncullah kerinduan pikir sinergis di kota tertentu dengan kolaborasi Balai Bahasa atau Kantor Bahasa di provinsi tertentu dengan media koran tertentu di kota tersebut. Cupliklah contoh Kantor Bahasa Riau bersama harian Riau Pos dengan rubrik Alinea. Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara bergandeng dengan Harian Rakyat Sultra dengan rubrik Bahasa, Sastra, dan Budaya.
baca juga: 7 Artis Lokal dan Luar Negeri yang Kuliah Jurusan Sastra
Cobalah kita arif menagih media berkala seperti: Widya Parwa (Kantor Bahasa Yogyakarta), Humaniora (FIB UGM), Widya Dharma (USD Yogyakarta), Diksi (UNY Yogyakarta), Semiotika (UST Yogyakarta), Seni (ISI Yogyakarta), Citra Yogya (DK Yogyakarta), Haluan Sastra Budaya (FIB UNS Solo), Kajian Bahasa dan Sastra (UMS Solo), Kajian Sastra (FIB Undip Semarang), Widya Pustaka (FIB Unud Bali), Lontara (Unhas Makassar), Puitika (FIB Unand Padang), Pengajaran Bahasa dan Sastra (Depdikbud Jakarta), Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia (FIB UI Jakarta), Fenolingua dan Magistra (Unwidha Klaten). Bukankah data media ini bisa dideret di PTN pun PTS seluruh Indonesia? Apa kabar publikasi kesastraannya? Belum lagi sindrom tumbuh dan tumbang majalah trendi Majas (Jakarta), Jurnal Madah dan Serindit (Riau), Basis dan Sabana (Yogyakarta), Kidung dan Suluk (DK Jatim).
baca juga: 5 Kampus Swasta dengan Jurusan Sastra Terbaik di Indonesia
Pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran kritik sastra Indonesia memang sangat lambat jika dibandingkan dengan siar karya sastra yang memiliki wawasan dan pandangan luas atau netral seperti dikabarkan almarhum Jassin. Tengara pokok disebabkan oleh pluralitas karya sastra yang menuntut kepekaan khusus dari para kritisi atau penelaah sastra dalam upaya pemahaman total, serta menggali nilai bulat dari karya tersebut.
Kritisi sastra Indonesia pada umumnya adalah deretan penulis kreatif serba bisa dan sangat terpengaruh aliran atau mazhab sastra yang dianutnya. Akibatnya terjadi kesulitan ketika menilai karya yang berada di luar kerangka mazhab yang diilmuinya. Efek yang menjadi cemooh terkini yakni kritisi kurang menjadi objektif dan cenderung subjektif belaka. Namun subjektivitas bukanlah harga mati. Subjektivitas tak membuat pengaburan isi karya. Sebagai teladan romantisme yakni Arief Budiman, A Teeuw, pun Subagio Sastrowardoyo.
baca juga: Jurusan Sastra dengan Peminat Tertinggi di Indonesia, Korea Termasuk!
Tak silap hati jika Korrie Layun Rampan pun menegasi bahwa pada pokoknya kritik sastra harus berangkat dari subjektivitas untuk meraup objektivitas. Subjektivitas untuk mencapai objektivitas, ditopang visi, keseriusan, dan telaten sangat dituntut pada diri sosok kritisi, di samping mengusasi perangkat teori. Karena itu, tuntutan kritisi kiwari adalah totalitas yang multifaset, pengalaman literer yang ultima. Pembaca kiwari bilang “melek kecakapan literasi”.
Pengulik Herd Immunity
Pengulik sastra terkini pun kembang kempis. Menyerah. Tamsilnya herd immunity, hidup segan mati pun enggan. Kendala utama terkini yang membelit para penulis kritik sastra (sambil lalu) atau kritikan bisu ala verbalitas literer adalah media publikasi yang mapan. Bagi kaum akademisi (dosen) tentunya sudah tersedia wadah kritikan, tetapi risiko yang mencolok adalah benturan honorarium. Bagi penulis luar pun terasa sekarat, tidak sedikit media menutup rubrik kritik sastra.
baca juga: Yang Perlu Dipertimbangkan sebelum Memilih Jurusan Sastra
Ketahuilah, mulai paruh kedua 1990-an hingga 2021 sudah berjubel penerbitan karya: puisi, cerpen, novelet, novel, drama, antologi esai sastra; tetapi penanggapnya begitu miskin. Karya sastra ibarat menyampah. Apakah ekspresi kesastraan Indonesia telah mengidap diskomunikasi dengan masyarakat pembacanya? Kegeniusan ala Seno Gumira Ajidarma, Titis Basino PI, Tere Liye, Ahmad Fuadi, Andrea Hirata, Joko Pinurbo, sebagai contoh, tak mendapat perhatian serius. Mengapa periset sastra di Kantor Bahasa yang eksis di hampir setiap provinsi masih tidur untuk media? Mengapa belakangan ini tidak sedikit dosen sastra (Indonesia) bisu bersastra?
Sekadar menjumput tokoh terkini menggegas sastra, ada Prof Djoko Saryono (FIB UNM Malang), Dr Abdul Wachid BS (IAIN Purwokerto), Dr Teguh Trianton (UMP Purwokerto), Dr S Prasetyo Utomo (Universitas PGRI Semarang), Yusri Fajar MA (FIB Universitas Brawijaya Surabaya), Dr Aprinus Salam (FIB UGM Yogyakarta), pun Dr Wiyatmi (FIB UNY Yogyakarta) yang dewasa mengunyah sastra. Apa kabar master pengulik sastra?
baca juga: Sering Kena Stereotip, Ini Artinya Jadi Mahasiswa Sastra
Sebagai epilog, kritisi adalah dia yang menyoroti dan menganalisis buah sastra dalam perspektif kesejarahan dan filsafat, tetapi juga dia yang sekadar memberi timbangan dan komentar. Soal tepatnya orang diberi julukan kritisi, pembahas, atau hanya sekadar komentator adalah soal penentuan nilai dan gelar dan tidak bersangkutan dengan pengertian pokok (Subagio Sastrowardoyo, 1966, di ig badanbahasakemendikbud). Semoga Anda intensif menjadi pengulik pun penanggap sastra Indonesia kiwari.
(ymn)