Meluruskan Kesalahpahaman: Kasar vs Tegas

Senin, 13 September 2021 - 05:28 WIB
Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. Foto/SINDOnews
Imam Shamsi Ali

Presiden Nusantara Foundation

SALAH satu dari sekian banyak ayat-ayat Al-Quran yang sering disalah pahami tidak saja non Muslim, tapi juga sebagian Muslim, adalah ayat 29 di Surah Al-Fath. Ayat ini dipahami atau disalah pahami sebagai ayat yang membenarkan “kekerasan dan kekasaran” atau “berprilaku dan berkarakter” keras/kasar kepada non Muslim.

Ayat tersebut berbunyi: “Muhammad adalah Rasul Allah. Dan orang-orang yang bersamanya (mengimaninya) ‘asyiddaa’ terhadap orang-orang kafir dan ‘ruhamaa’ (berkasih sayang) di antara mereka”.

Tentu yang pertama perlu kita ingatkan bahwa penafsiran terhadap text-text agama, dalam kasus Islam Al-Quran dan as-Sunnah, bisa saja beragam berdasar kepada banyak faktor. Boleh karena cara pandang yang disebabkan oleh tingkatan keilmuan dalam agama yang berbeda. Tapi boleh juga karena situasi/kondisi yang ada dan mendorong timbulnya penafsiran tertentu.



Tapi intinya tidak perlu terkejut-kejut, apalagi langsung menyalahkan hanya karena sebuah penafsiran yang berbeda dari penafsiran kita sendiri. Bersegera menyalahkan dalam penafsiran agama, selama masih merujuk ke dasar (ushul) yang sama adalah kesalahan pada dirinya.

Kembali kepada ayat tadi dalam konteks memahami kata “asyiddaa”. Kata ini berasal dari kata tunggal atau mufrad “syadid”. Kata “syadid” dalam bahasa Arab bisa diterjemahkan dengan beberapa kata, antara lain “keras, kaku (mutasyaddid) alias fundamentalis”. Tapi juga bisa diterjemahkan dengan kata “kuat” (bold) dan juga “tegas”.

Dari semua terjemahan kata di atas, dan banyak yang lain, kita bisa mencoba memilah-milah mana yang lebih pas sesuai dengan semangat universal (universal spirit) agama Islam dan ajaran Rasulullah SAW itu sendiri.

Pertama, semua Ulama dan ahli Al-Quran sepakat bahwa tafsiran Al-Quran yang terbaik adalah dengan Al-Quran itu sendiri. Dalam Ulumul Quran dikenal dengan “tafsirul Quran bil-Quran”.

Jika kita jujur dengan pesan universal Al-Quran maka memahami “asyidda” dalam arti kasar, keras (dalam konotasi negatif), dan semaknanya tidak akan diterima. Hal itu karena esensi dasar ajaran Al-Quran adalah “Rahmah” (kasih sayang), “al-ihsan” (kebaikan), “ukhuwah” (persaudaraan, termasuk di dalamnya persaudaraan kemanusiaan), dan “ihsan” (kebaikan).

Satu di antara sekian jusitfikasi yang dapat kita sampaikan adalah ketika setiap Suran dalam Al-Quran dimulai dengan “Bismillahir Rahmanir Rahim” (dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).

Ini tentunya diperkuat dengan sifat-sifat Allah yang paling dominan dan terulang adalah sifatNya yang kasih sayang (Arrahman ar-Rahim). Juga sifatnya yang “Waduud” (Maha Cinta) dan “Latiif” (Maha lembut).

Berbagai perintah dalam Al-Quran untuk mengedepankan nilai-nilai kebaikan, tolong menolong, kerjasama, menolong sesama, dan tentunya menegakkan sikap adil bahkan kepeda yang dianggap musuh sekalipun. “Jangan karena kebencianmu kepada sebuah kaum menjadikanmu tidak berbuat adil. Berbuat adillah karena itu dekat kepada ketakwaan”. Demikian penegasan Al-Quran.

Kedua, para Ulama Islam juga sepakat bahwa otoritas penafsiran Al-Quran itu ada pada Rasulullah SAW. Beliaulah hadir sebagai penafsir utama Al-Quran, baik dengan kata, apalagi dengan pebuatan.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More