Meretas Jalan Menuju Papua Damai
Kamis, 09 September 2021 - 14:47 WIB
Jawaban sederhananya adalah karena otsus tersebut tidak dirancang melalui satu proses pembahasan dan perumusan yang matang. Termasuk tidak adanya pedoman bagaimana otsus tersebut harus dilaksanakan. Sehingga, keberadaan otsus yang merupakan ide atau gagasan yang baik tersebut justru berseberangan dengan implementasinya.
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa “hadirnya” negara dalam konteks memberikan otsus kepada Papua tentu merupakan satu terobosan atau langkah yang penting. Sehingga otsus ini perlu untuk terus dilanjutkan meskipun dengan banyak catatan.Dengan kata lain, revisi terhadap UU Otsus perlu untuk dilakukan dengan harapan bahwa pembaharuan, perbaikan dan pematangan Otsus tersebut akan mampu menjawab permasalahan yang ada dengan lebih nyata.
Secara kontras publik bisa melihat bahwa orientasi pelaksanaan otsus periode pertama (2001-2021) hanya berfokus pada pembangunan fisik, dengan tidak secara signifikan mampu membawa perubahan pada bidang lainnya yang semuanya itu bermuara kepada kesejahteraan masyarakat Papua. Di waktu bersamaan, isu perlindungan terhadap HAM juga tidak tampak menjadi prioritas dan malah dikesampingkan. Padahal isu tersebut sifatnya juga sangat substansial.
Sehingga, otsus periode kedua yang telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 19 Juli 2021 ini harus mampu menempatkan persoalan-persoalan yang selama ini terabaikan menjadi bagian dari prioritas.
Misalnya terhadap sejumlah persoalan hukum dan pelanggaran HAM. Secara objektif, publik juga belum melihat komitmen tersebut pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua yang mandek atau berhenti di Kejaksaan Agung dan urung untuk diselesaikan. Hal ini secara tidak langsung menunjukan bahwa negara yang memiliki segala instrumen hukumnya gagal memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum. Jangan sampai apa yang disebutkan bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum hanya menjadi retorika semu semata.Padahal hal tersebut menjadi variabel utama untuk mencapai filosofi sebagai negara hukum berdasarkan pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Apalagi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan atas HAM merupakan kewajiban negara yang telah diamanatkan oleh UU dan UUD 1945.
Laporan dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga menunjukan bahwa pelanggaran HAM sepanjang 2020 hingga pertengahan 2021 ini saja sudah ada 40 peristiwa kekerasan berupa penembakan, penganiayaan dan penegakan sewenang- wenang oleh aparat.Sehingga, komitmen pemerintah untuk menyelesaikan masalah Papua seharusnya juga dimulai dari hal tersebut dengan juga segera menyusun langkah-langkah untuk mendirikan pengadilan HAM di Papua.
“Memoria Passionis”
Selain melalui otsus, pemerintah juga mempraktikkan pendekatan lain untuk menyelesaikan masalah Papua terutama pada masalah yang berkaitan dengan keamanan. Yaitu melalui pendekatan yang lebih keras(hard approach)dengan melakukan operasi militer karena melihat dinamika yang terjadi di Papua semata-mata sebagai sebuah ancaman.Padahal pendekatan seperti ini justru menjadi faktor yang turut melanggengkan kekerasan dari waktu ke waktu dan telah menciptakan pengalaman pahit (memoria passionis) yang memilukan hati orang Papua.
Pintu dialog yang diharapkan akan terjadi juga semakin tertutup sejak ditetapkannya OPM-TNPB sebagai kelompok teroris. Dan, hal tersebut juga menjadi tanda bahwa pemerintah semakin kaku dalam melihat dan mengidentifikasi masalah utama di Papua.Pendekatan militeristik ini hanya akan mengatasi “efek sampingnya” tanpa sama sekali menyentuh akar masalah. Dan, justru dapat menambah risiko instabilitas domestik di tanah Papua. Di sisi lain, penetapan OPM-TNPB sebagai organisasi teroris tersebut semakin menyulitkan untuk tercapainya perdamaian di sana.
Selanjutnya, dalam perspektif otsus, pendekatan militeristik yang keras seperti ini nyatanya berseberangan dengan nilai yang terkandung dalam otsus sebagai sebuah produk politik yang di dalamnya terdapat kompromi, negosiasi, rekonsiliasi dan komitmen bersama, antara pemerintah pusat dan Papua.
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa “hadirnya” negara dalam konteks memberikan otsus kepada Papua tentu merupakan satu terobosan atau langkah yang penting. Sehingga otsus ini perlu untuk terus dilanjutkan meskipun dengan banyak catatan.Dengan kata lain, revisi terhadap UU Otsus perlu untuk dilakukan dengan harapan bahwa pembaharuan, perbaikan dan pematangan Otsus tersebut akan mampu menjawab permasalahan yang ada dengan lebih nyata.
Secara kontras publik bisa melihat bahwa orientasi pelaksanaan otsus periode pertama (2001-2021) hanya berfokus pada pembangunan fisik, dengan tidak secara signifikan mampu membawa perubahan pada bidang lainnya yang semuanya itu bermuara kepada kesejahteraan masyarakat Papua. Di waktu bersamaan, isu perlindungan terhadap HAM juga tidak tampak menjadi prioritas dan malah dikesampingkan. Padahal isu tersebut sifatnya juga sangat substansial.
Sehingga, otsus periode kedua yang telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 19 Juli 2021 ini harus mampu menempatkan persoalan-persoalan yang selama ini terabaikan menjadi bagian dari prioritas.
Misalnya terhadap sejumlah persoalan hukum dan pelanggaran HAM. Secara objektif, publik juga belum melihat komitmen tersebut pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua yang mandek atau berhenti di Kejaksaan Agung dan urung untuk diselesaikan. Hal ini secara tidak langsung menunjukan bahwa negara yang memiliki segala instrumen hukumnya gagal memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum. Jangan sampai apa yang disebutkan bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum hanya menjadi retorika semu semata.Padahal hal tersebut menjadi variabel utama untuk mencapai filosofi sebagai negara hukum berdasarkan pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Apalagi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan atas HAM merupakan kewajiban negara yang telah diamanatkan oleh UU dan UUD 1945.
Laporan dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga menunjukan bahwa pelanggaran HAM sepanjang 2020 hingga pertengahan 2021 ini saja sudah ada 40 peristiwa kekerasan berupa penembakan, penganiayaan dan penegakan sewenang- wenang oleh aparat.Sehingga, komitmen pemerintah untuk menyelesaikan masalah Papua seharusnya juga dimulai dari hal tersebut dengan juga segera menyusun langkah-langkah untuk mendirikan pengadilan HAM di Papua.
“Memoria Passionis”
Selain melalui otsus, pemerintah juga mempraktikkan pendekatan lain untuk menyelesaikan masalah Papua terutama pada masalah yang berkaitan dengan keamanan. Yaitu melalui pendekatan yang lebih keras(hard approach)dengan melakukan operasi militer karena melihat dinamika yang terjadi di Papua semata-mata sebagai sebuah ancaman.Padahal pendekatan seperti ini justru menjadi faktor yang turut melanggengkan kekerasan dari waktu ke waktu dan telah menciptakan pengalaman pahit (memoria passionis) yang memilukan hati orang Papua.
Pintu dialog yang diharapkan akan terjadi juga semakin tertutup sejak ditetapkannya OPM-TNPB sebagai kelompok teroris. Dan, hal tersebut juga menjadi tanda bahwa pemerintah semakin kaku dalam melihat dan mengidentifikasi masalah utama di Papua.Pendekatan militeristik ini hanya akan mengatasi “efek sampingnya” tanpa sama sekali menyentuh akar masalah. Dan, justru dapat menambah risiko instabilitas domestik di tanah Papua. Di sisi lain, penetapan OPM-TNPB sebagai organisasi teroris tersebut semakin menyulitkan untuk tercapainya perdamaian di sana.
Selanjutnya, dalam perspektif otsus, pendekatan militeristik yang keras seperti ini nyatanya berseberangan dengan nilai yang terkandung dalam otsus sebagai sebuah produk politik yang di dalamnya terdapat kompromi, negosiasi, rekonsiliasi dan komitmen bersama, antara pemerintah pusat dan Papua.
Lihat Juga :
tulis komentar anda