Pengguna Internet Makin Banyak, Bisnis Hoaks Kian Subur
Sabtu, 21 Agustus 2021 - 08:27 WIB
Penyebaran hoaks ini dilengkapilink-linkseolah-olah dari media arus utama untuk meyakinkan masyarakat. Para penyebar hoaks ini diduga bekerja secara terstruktur dan kemungkinan ada yang membiayai.Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) ini menilai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum maksimal dalam menjerat pelaku kejahatan ini.
Tumbuh suburnya bisnis hoaks tak lepas dari peran penyedia layananover the top(OTT) seperti Facebook, Twitter, dan Instagram yang memiliki keleluasaan yang besar. Di Indonesia, penyedia layanan OTT ini agak sulit “dijinakkan” oleh pemerintah. Pratama mengungkapkan, hal ini lantaran Pemerintah Indonesia tidak punyabargaining power. Berbeda dengan negara-negara di Uni Eropa. Mereka memiliki UUGeneral Data Protection Regulation(GDPR) yang memaksa penyedia OTT tunduk terhadap aturan.
“Mereka mengancam akan menggunakan platform sendiri kalau misalnya pemilik platform lamatidak mau mengikuti aturan mereka,” tegasnya.
Indonesia, menurutnya, tidak bisa karena sudah telanjur tergantung. Pengguna medsos seperti Facebook dan Instagram jumlahnya sudah besar. Platform medsos sebenarnya sudah memiliki fitur untuk mendeteksi hoaks. Mereka menggunakanmachine learningdengannational personal language. Namun pelaku penyebar hoaks sekarang sudah jauh lebih pintar. Mereka bersiasat dengan menulis narasi-narasi yang bagus untuk menghindarikeywordyang sudah ditetapkan.
“Walaupun mereka (medsos) sudah menggunakan teknologiartificial intelligent(AI), masih banyak informasi (palsu) yang lolos,” katanya.
Tumbuh suburnya bisnis hoaks tak lepas dari peran penyedia layananover the top(OTT) seperti Facebook, Twitter, dan Instagram yang memiliki keleluasaan yang besar. Di Indonesia, penyedia layanan OTT ini agak sulit “dijinakkan” oleh pemerintah. Pratama mengungkapkan, hal ini lantaran Pemerintah Indonesia tidak punyabargaining power. Berbeda dengan negara-negara di Uni Eropa. Mereka memiliki UUGeneral Data Protection Regulation(GDPR) yang memaksa penyedia OTT tunduk terhadap aturan.
“Mereka mengancam akan menggunakan platform sendiri kalau misalnya pemilik platform lamatidak mau mengikuti aturan mereka,” tegasnya.
Indonesia, menurutnya, tidak bisa karena sudah telanjur tergantung. Pengguna medsos seperti Facebook dan Instagram jumlahnya sudah besar. Platform medsos sebenarnya sudah memiliki fitur untuk mendeteksi hoaks. Mereka menggunakanmachine learningdengannational personal language. Namun pelaku penyebar hoaks sekarang sudah jauh lebih pintar. Mereka bersiasat dengan menulis narasi-narasi yang bagus untuk menghindarikeywordyang sudah ditetapkan.
“Walaupun mereka (medsos) sudah menggunakan teknologiartificial intelligent(AI), masih banyak informasi (palsu) yang lolos,” katanya.
(ynt)
tulis komentar anda