Integrasi Lembaga Iptek dan Litbang ke BRIN, Bagaimana Dampaknya?
Jum'at, 20 Agustus 2021 - 08:43 WIB
Pada opsi integrasi parsial, lanjut Tahlim, sebagian unit kerja litbang bertransformasi menjadi lembaga nonlitbang, dan sebagian berintegrasi dengan BRIN. Jika opsi dipilih, Tahlim menggarisbawahi perlunya pengunduran deadline integrasi ke BRIN, tidak dipatok akhir tahun 2022.
Selain itu, tambah Tahlim, jabatan fungsional peneliti (JFP) masih dimungkinkan pada lembaga baru yang dibentuk Kementan. Selain itu, sebagian besar JFP bisa berintegrasi dengan BRIN secara penuh.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Azyumardi Azra sangsi inovasi dan riset di Tanah Air dapat berjalan baik lantaran ada pretensi negara untuk menguasai lembaga penelitian.
"Saya kira ini menunjukkan apa yang disebut oleh Taufik Abdullah sebagai negara yang rakus (greed state). Negara yang rakus itu adalah negara yang ingin menguasai segala sesuatu," kata Azyumardi.
Bentuk kerakusan negara terhadap lembaga riset juga terlihat dari rencana meleburkan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) bidang iptek, yakni Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Bahkan, lanjut dia, BRIN juga akan meleburkan litbangjirap di seluruh K/L yang berjumlah 48. Juga Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) di 34 provinsi. "Ini mencerminkan kerakusan untuk berkuasa," ujarnya.
Integrasi dalam skala raksasa itu dikhawatirkan menghilangkan otonomi kelembagaan litbangjirap. Ini bertentangan dengan semangat reformasi yang memberi otonomi yang lebih besar pada lembaga ilmu pengetahuan.
Dia pun sangsi riset dan inovasi akan berjalan baik ke depan dalam kondisi dikendalikan oleh sebuah struktur yang gemuk namun minim SDM. "Jangan bicara dulu soal bisa melakukan riset dan inovasi, soal kelembagaan saja lagi-lagi mengatakan nafsu besar tenaga kurang. Apa punya kemampuan menyelenggarakan riset dan inovasi? Apalagi inovasi yang terpusat/tersentralisasi di BRIN," katanya.
Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI 2006-2011 Jan Sopaheluwakan mengatakan, lanskap iptek di Indonesia dewasa ini makin tidak jelas. Iptek didikte para politikus dan dihela oleh kepentingan politik yang transaksional. Ini membuat arah kebijakan iptek amat pragmatis dan tidak sinkron.
Bahkan, lanjutnya, perkembangan terbaru berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan antara Kemendikbudristek yang berlevel kementerian dengan BRIN yang hanya berbentuk badan. “Sekarang ada dualisme (otoritas) antara Kemendikbudristek dengan BRIN," ucapnya.
Selain itu, tambah Tahlim, jabatan fungsional peneliti (JFP) masih dimungkinkan pada lembaga baru yang dibentuk Kementan. Selain itu, sebagian besar JFP bisa berintegrasi dengan BRIN secara penuh.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Azyumardi Azra sangsi inovasi dan riset di Tanah Air dapat berjalan baik lantaran ada pretensi negara untuk menguasai lembaga penelitian.
"Saya kira ini menunjukkan apa yang disebut oleh Taufik Abdullah sebagai negara yang rakus (greed state). Negara yang rakus itu adalah negara yang ingin menguasai segala sesuatu," kata Azyumardi.
Bentuk kerakusan negara terhadap lembaga riset juga terlihat dari rencana meleburkan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) bidang iptek, yakni Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Bahkan, lanjut dia, BRIN juga akan meleburkan litbangjirap di seluruh K/L yang berjumlah 48. Juga Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) di 34 provinsi. "Ini mencerminkan kerakusan untuk berkuasa," ujarnya.
Integrasi dalam skala raksasa itu dikhawatirkan menghilangkan otonomi kelembagaan litbangjirap. Ini bertentangan dengan semangat reformasi yang memberi otonomi yang lebih besar pada lembaga ilmu pengetahuan.
Dia pun sangsi riset dan inovasi akan berjalan baik ke depan dalam kondisi dikendalikan oleh sebuah struktur yang gemuk namun minim SDM. "Jangan bicara dulu soal bisa melakukan riset dan inovasi, soal kelembagaan saja lagi-lagi mengatakan nafsu besar tenaga kurang. Apa punya kemampuan menyelenggarakan riset dan inovasi? Apalagi inovasi yang terpusat/tersentralisasi di BRIN," katanya.
Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI 2006-2011 Jan Sopaheluwakan mengatakan, lanskap iptek di Indonesia dewasa ini makin tidak jelas. Iptek didikte para politikus dan dihela oleh kepentingan politik yang transaksional. Ini membuat arah kebijakan iptek amat pragmatis dan tidak sinkron.
Bahkan, lanjutnya, perkembangan terbaru berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan antara Kemendikbudristek yang berlevel kementerian dengan BRIN yang hanya berbentuk badan. “Sekarang ada dualisme (otoritas) antara Kemendikbudristek dengan BRIN," ucapnya.
tulis komentar anda