Renungan Peringatan Kemerdekaan
Kamis, 19 Agustus 2021 - 11:22 WIB
Masih rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia salah satunya karena kuantitas dan kualitas guru yang masih rendah. Dilihat dari sisi kuantitasnya, berdasarkan data statistik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2020), total guru di Indonesia sebesar 45.534.371 orang. Artinya, jumlah guru di Indonesia sekitar 6% dari total siswa di tingkat D, SMP, SMA / SMK. Jumlah guru tersebut terhitung dari seluruh status guru, baik itu guru tetap maupun guru tidak tetap. Selain itu, dari sisi kualitasnya, data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukan di antaranya 1,6 juta peserta uji kompetensi guru lebih dari 1,3 juta di antaranya memiliki nilai di bawah 60 dari rentang nilai 0-100. Dari ujian ini pula, hanya 192 guru yang mendapat nilai di atas 90. Sementara hampir 130.000 di antaranya hanya mampu memperoleh nilai di bawah 30. Rendahnya kapasitas tenaga pengajar tersebut secara langsung berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan di setiap daerah.
Berbagai problematika dalam pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa sejatinya kebijakan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN belum optimal dan belum memenuhi kategori belanja yang berkualitas.
Berdasarkan kajian, Kementerian PPN/Bappenas menyebut bahwa belum maksimalnya alokasi anggaran pada sektor pendidikan tersebut terlihat dari angka elastisitas antara besaran belanja terhadap pertumbuhan ekonomi sektoral. Periode 2013-2017, elastisitas belanja kementerian dan lembaga (K/L) di sektor pendidikan baru 0,39. Selama ini, mayoritas anggaran fungsi pendidikan dialokasikan untuk membayar gaji guru dan tunjangan sertifikasi guru. Akan tetapi, proses sertifikasi guru yang diharapkan bisa meningkatkan kualitas guru nyatanya tidak juga mampu meningkatkan kualitas pendidikan dan prestasi belajar siswa.
Pada sektor kesehatan pun tak jauh berbeda kondisinya. Laporan The Legatum Prosperity Index 2017 menunjukkan bahwa indeks kesehatan global Indonesia berada di posis ke 101 dari 149 negara. Indeks ini didasarkan pada kesehatan fisik, mental, infrastruktur kesehatan dan perawatan guna pencegahan berbagai wabah atau penyakit. Dibandingkan Singapura, misalnya, posisi Indonesia sangatlah jauh. Negara maju yang hanya seluas DKI Jakarta dengan penduduk sekitar 5 juta jiwa ini menjadi negara dengan indeks kesehatan terbaik nomor dua di dunia. Dibandingkan negara ASEAN lainnya pun posisi Indonesia masih tertinggal. Thailand menempati posisi 35, sedangkan Malaysia menempel Thailand di posisi 38. Indonesia bahkan kalah dari Vietnam yang berada di posisi 69 ataupun Laos yang berada di posisi 94.
Lebih lanjut, dari sisi pengobatan dan infrastruktur kesehatan, masih banyak wilayah terpencil di yang masih sulit untuk mengakses layanan medis.
Bahkan wilayah yang telah memiliki layanan medis lengkap pun, belum tentu mendapatkan layanan kesehatan karena biaya yang tak murah. Meski kini pemerintah telah menerapkan kartu Indonesia Sehat, termasuk adanya BPJS, namun rupanya hal itu belum cukup mengangkat indeks kesehatan Indonesia di tingkat global.
Kini, pandemi COVID -19 turut menyadarkan kita bahwa sektor kesehatan di Indonesia masih lemah. Hal itu terlihat dari beberapa indikator, di antaranya adalah masih lemahnya sektor industri farmasi (obat-obatan), lemahnya sektor fasilitas kesehatan (rumah sakit) yang kurang memadai serta SDM sektor kesehatan yang belum maksimal. Data Kementerian Kesehatan mencatat bahwa sampai saat ini produk dalam negeri alat kesehatan hanya 12%, sisanya adalah impor. Sedangkan pada obat-obatan, dari 10 molekul obat yang tinggi penggunaannya di Indonesia, hanya 2 yang bahan bakunya diproduksi dalam negeri. Selain itu, di sisi fasilitas kesehatan, data menunjukkan bahwa jumlah rasio tempat tidur rumah sakit di Indonesia adalah 1,17 per 1000 penduduk. Hal ini pada akhirnya akan memunculkan permasalahan, terutama di masa pandemi ini.
Reformasi Pendidikan dan Kesehatan Indonesia
Gambaran di atas menunjukkan masih besar pekerjaan rumah kita di bidang Pendidikan dan kesehatan. Sisi komitmen pemerintah, terlihat bahwa pemerintah terus berupaya konsisten untuk terus mendorong anggaran pendidikan dan kesehatan. Hal yang ditunggu, reformasi sektor pendidikan dan kesehatan ini ke mana?
Melihat perkembangan global saat ini, kita memerlukan SDM hasil pendidikan yang paham dinamika global tetapi tetap berkarakter “Indonesia”. Guru, dosen, gedung sekolah, kurikulum, konsistensi kebijakan dan struktur perekonomian, adalah faktor-faktor yang harus diperhitungkan dalam pembangunan sektor pendidikan. Selama ini, fokus pemerintah lebih pada insentif guru, infrastruktur Pendidikan serta kurikulum. Melihat perkembangan yang pesat saat ini, tentu orientasi ini akan berubah dan adaptif terhadap perubahan. Sementara untuk kesehatan, memperbaiki aksesibilitas pada kesehatan yang perlu dibuka lebih luas kepada masyarakat. Perkembangan teknologi saat ini, seharusnya mempercepat perubahan yang diperlukan saat ini, untuk terus lebih baik.
Berbagai problematika dalam pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa sejatinya kebijakan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN belum optimal dan belum memenuhi kategori belanja yang berkualitas.
Berdasarkan kajian, Kementerian PPN/Bappenas menyebut bahwa belum maksimalnya alokasi anggaran pada sektor pendidikan tersebut terlihat dari angka elastisitas antara besaran belanja terhadap pertumbuhan ekonomi sektoral. Periode 2013-2017, elastisitas belanja kementerian dan lembaga (K/L) di sektor pendidikan baru 0,39. Selama ini, mayoritas anggaran fungsi pendidikan dialokasikan untuk membayar gaji guru dan tunjangan sertifikasi guru. Akan tetapi, proses sertifikasi guru yang diharapkan bisa meningkatkan kualitas guru nyatanya tidak juga mampu meningkatkan kualitas pendidikan dan prestasi belajar siswa.
Pada sektor kesehatan pun tak jauh berbeda kondisinya. Laporan The Legatum Prosperity Index 2017 menunjukkan bahwa indeks kesehatan global Indonesia berada di posis ke 101 dari 149 negara. Indeks ini didasarkan pada kesehatan fisik, mental, infrastruktur kesehatan dan perawatan guna pencegahan berbagai wabah atau penyakit. Dibandingkan Singapura, misalnya, posisi Indonesia sangatlah jauh. Negara maju yang hanya seluas DKI Jakarta dengan penduduk sekitar 5 juta jiwa ini menjadi negara dengan indeks kesehatan terbaik nomor dua di dunia. Dibandingkan negara ASEAN lainnya pun posisi Indonesia masih tertinggal. Thailand menempati posisi 35, sedangkan Malaysia menempel Thailand di posisi 38. Indonesia bahkan kalah dari Vietnam yang berada di posisi 69 ataupun Laos yang berada di posisi 94.
Lebih lanjut, dari sisi pengobatan dan infrastruktur kesehatan, masih banyak wilayah terpencil di yang masih sulit untuk mengakses layanan medis.
Bahkan wilayah yang telah memiliki layanan medis lengkap pun, belum tentu mendapatkan layanan kesehatan karena biaya yang tak murah. Meski kini pemerintah telah menerapkan kartu Indonesia Sehat, termasuk adanya BPJS, namun rupanya hal itu belum cukup mengangkat indeks kesehatan Indonesia di tingkat global.
Kini, pandemi COVID -19 turut menyadarkan kita bahwa sektor kesehatan di Indonesia masih lemah. Hal itu terlihat dari beberapa indikator, di antaranya adalah masih lemahnya sektor industri farmasi (obat-obatan), lemahnya sektor fasilitas kesehatan (rumah sakit) yang kurang memadai serta SDM sektor kesehatan yang belum maksimal. Data Kementerian Kesehatan mencatat bahwa sampai saat ini produk dalam negeri alat kesehatan hanya 12%, sisanya adalah impor. Sedangkan pada obat-obatan, dari 10 molekul obat yang tinggi penggunaannya di Indonesia, hanya 2 yang bahan bakunya diproduksi dalam negeri. Selain itu, di sisi fasilitas kesehatan, data menunjukkan bahwa jumlah rasio tempat tidur rumah sakit di Indonesia adalah 1,17 per 1000 penduduk. Hal ini pada akhirnya akan memunculkan permasalahan, terutama di masa pandemi ini.
Reformasi Pendidikan dan Kesehatan Indonesia
Gambaran di atas menunjukkan masih besar pekerjaan rumah kita di bidang Pendidikan dan kesehatan. Sisi komitmen pemerintah, terlihat bahwa pemerintah terus berupaya konsisten untuk terus mendorong anggaran pendidikan dan kesehatan. Hal yang ditunggu, reformasi sektor pendidikan dan kesehatan ini ke mana?
Melihat perkembangan global saat ini, kita memerlukan SDM hasil pendidikan yang paham dinamika global tetapi tetap berkarakter “Indonesia”. Guru, dosen, gedung sekolah, kurikulum, konsistensi kebijakan dan struktur perekonomian, adalah faktor-faktor yang harus diperhitungkan dalam pembangunan sektor pendidikan. Selama ini, fokus pemerintah lebih pada insentif guru, infrastruktur Pendidikan serta kurikulum. Melihat perkembangan yang pesat saat ini, tentu orientasi ini akan berubah dan adaptif terhadap perubahan. Sementara untuk kesehatan, memperbaiki aksesibilitas pada kesehatan yang perlu dibuka lebih luas kepada masyarakat. Perkembangan teknologi saat ini, seharusnya mempercepat perubahan yang diperlukan saat ini, untuk terus lebih baik.
Lihat Juga :
tulis komentar anda