Kejaksaan Belum Lepas dari Dosa Masa Lalu
Jum'at, 29 Mei 2020 - 16:28 WIB
JAKARTA - Era reformasi sudah berjalan 22 tahun, tapi bidang hukum masih berjalan di tempat. Isu jual-beli hukum masih terus bermunculan. Padahal ini salah satu persoalan pelik yang dituntut oleh rakyat saat menggelar aksi penggulingan Orde Baru.
Aksi korup aparat hukum terus dipertontonkan hingga kini. Perkara paling baru adalah isu suap yang dihembuskan oleh Miftahul Ulum, mantan staf pribadi mantan Menpora Imam Nachrawi, yang melantunkan lagu merdu soal adanya setoran uang Rp 7 miliar bagi mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Adi Toegarisman.
Pengakuan itu disampaikan Miftahul saat memberi kesaksian di persidangan kasus suap di Kemenpora baru-baru ini.
Betul, perkara itu masih harus diselidiki lebih lanjut. Namun, seperti kata pepatah, tak mungkin muncul asap tanpa adanya api.
Entah mengapa mereka tak mau belajar dari kesalahan masa lalu. Jangan lupa, dulu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk akibat rakyat tak lagi percaya terhadap aparat Kejaksaan dan Polri, terutama dalam menangani perkara korupsi.
Kala itu, aparat Gedung Bundar (kantor Jaksa Agung Muda Tindak pidana Khusus) sangat royal memberi SP3 (Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan) terhadap para tersangka kasus korupsi.
Mereka juga terlalu gampang menerbitkan surat izin sakit untuk terduga koruptor. Salah satu surat keterangan sakit paling kondang adalah untuk Sjamsul Nursalim, obligor terbesar kedua yang menyelewengkan uang negara sebesar Rp28 triliun. Ia hanya menyicipi dinginnya lantai bui satu malam, sebelum akhirnya kabur ke Singapura.
Nah, kalau pun sang tersangka yang disidik diajukan ke pengadilan, mereka banyak yang dibebaskan hakim. Kuat dugaan aparat sengaja melonggarkan penuntutan agar terdakwa lolos dari jerat hukum.
Gedung Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan jika bisa berbicara akan menjadi saksi, betapa hampir semua terdakwa yang diadili di sana mendapat putusan bebas.
Aksi korup aparat hukum terus dipertontonkan hingga kini. Perkara paling baru adalah isu suap yang dihembuskan oleh Miftahul Ulum, mantan staf pribadi mantan Menpora Imam Nachrawi, yang melantunkan lagu merdu soal adanya setoran uang Rp 7 miliar bagi mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Adi Toegarisman.
Pengakuan itu disampaikan Miftahul saat memberi kesaksian di persidangan kasus suap di Kemenpora baru-baru ini.
Betul, perkara itu masih harus diselidiki lebih lanjut. Namun, seperti kata pepatah, tak mungkin muncul asap tanpa adanya api.
Entah mengapa mereka tak mau belajar dari kesalahan masa lalu. Jangan lupa, dulu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk akibat rakyat tak lagi percaya terhadap aparat Kejaksaan dan Polri, terutama dalam menangani perkara korupsi.
Kala itu, aparat Gedung Bundar (kantor Jaksa Agung Muda Tindak pidana Khusus) sangat royal memberi SP3 (Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan) terhadap para tersangka kasus korupsi.
Mereka juga terlalu gampang menerbitkan surat izin sakit untuk terduga koruptor. Salah satu surat keterangan sakit paling kondang adalah untuk Sjamsul Nursalim, obligor terbesar kedua yang menyelewengkan uang negara sebesar Rp28 triliun. Ia hanya menyicipi dinginnya lantai bui satu malam, sebelum akhirnya kabur ke Singapura.
Nah, kalau pun sang tersangka yang disidik diajukan ke pengadilan, mereka banyak yang dibebaskan hakim. Kuat dugaan aparat sengaja melonggarkan penuntutan agar terdakwa lolos dari jerat hukum.
Gedung Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan jika bisa berbicara akan menjadi saksi, betapa hampir semua terdakwa yang diadili di sana mendapat putusan bebas.
Lihat Juga :
tulis komentar anda