Kejaksaan Belum Lepas dari Dosa Masa Lalu

Jum'at, 29 Mei 2020 - 16:28 WIB
Melalui staf Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Kurnia Ramadhana, ICW menilai pemanggilan Miftahul oleh Kejaksaan Agung harus disorot demi menghindari upaya untuk melindungi oknum-oknum tertentu yang diduga terlibat dalam praktik korupsi.

Kedua, Kejaksaan Agung tidak berhak untuk menilai keterangan yang disampaikan oleh Miftahul di persidangan dengan terdakwa mantan Menpora Imam Nahrawi. Selain perkara itu bukan ditangani langsung oleh Kejaksaan Agung, mestinya sebagai penegak hukum dapat memahami bahwa yang berhak untuk menilai kesaksian di persidangan hanya majelis hakim.

Atas dasar ini maka mudah sebenarnya bagi masyarakat untuk membangun dugaan teori kausalitasnya, yakni: pemanggilan Miftahul oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam sebuah perkara dugaan korupsi menjadi akibat dari keterangannya yang menyasar salah seorang mantan petinggi di Korps Adhyaksa itu.

Kurnia juga menyayangkan pernyataan Kejaksaan Agung yang membantah keterangan Miftahul di persidangan.”Seharusnya Kejaksaan Agung mendukung upaya KPK yang sedang berupaya membongkar praktik rasuah di Kemenpora,” ujarnya kepada SINDOnews.

Ini bukan kali pertama Kejaksaan Agung terkesan ingin menyelamatkan rekan sejawatnya. Pada pertengahan tahun 2019 yang lalu –saat KPK melakukan tangkap tangan di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta- anggota DPR sampai mantan Jaksa Agung saat itu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menginginkan agar proses hukum terhadap jaksa-jaksa dilakukan oleh internal Kejaksaan sendiri.

Ia lantas mengingatkan,isu perlindungan saksi pun penting untuk digaungkan kembali. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara tegas menyebutkan bahwa seorang saksi dalam perkara tindak pidana korupsi berhak mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Tak hanya itu, KPK pun semestinya dapat pro aktif dalam melakukan perlindungan terhadap saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Regulasi untuk melindungi para saksi pun tercantum dalam Pasal 32 huruf a United Nation Convention Against Corruption yang menyebutkan bahwa setiap negara wajib mengambil tindakan-tindakan yang tepat dan dengan segala cara menyediakan perlindungan yang efektif dari kemungkinan pembalasan atau ancaman terhadap para saksi yang memberikan kesaksian mengenai tindak pidana korupsi.

Lain lagi yang disorot oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), Luhut MP Pangaribuan. Ia berpendapat munculnya isu suap terhadap seorang pejabat Kejaksaan Agung menunjukkan lembaga penuntut umum itu belum berubah.

“Walaupun suap baru sekadar isu, itu sudah sesuatu banget,” sahutnya saat dihubungi SINDOnews, Jumat (29/5) petang.

Dalam hal ini,menurutnya ada aspek etika yang diabaikan. “Mereka sepertinya mengisolasi diri dari kritikan yang disampaikan masyarakat.” Ini, lanjutnya, juga terkait deegan soal kepemimpinan dan budaya yang diciptakan di jajaran kejaksaan.

Dalam kasus Kemenpora, ia meminta jaksa penuntut umum yang mengetahui dan mendengar adanya dugaan suap itu wajib melaporkan ke pimpinan KPK. Dan itu statusnya seperti bukti permulaan, bisa langsung diselidiki atau disidik. “Pertanyaan apakah tim JPU sudah melaporkan ke pimpinan KPK,” sahutnya.

Yang kedua, kalau tidak dilaporkan apakah KPK sudah memerintahkan untuk mengajukan. “Dugaan saya, ini tidak dilaporkan karena menyangkut atasannnya di kejaksaan agung,” ujarnya. Alasannya, jaksa itu bersifat hierarkis dan dalam satu kesatuan. Dengan demikian, apakah pimpinan KPK sudah memerintahkan. “Kalau tak ada, saya harap Dewan Pengawas untuk mengingatkan bukti awal ini untuk diproses lebih lanjut.”

Namun ia pesimistis pengakuan Miftahul bisa ditangani secara layak. Alasannya Ketua KPK saat ini tak lebih bagian dari Mabes Polri. “Ketua KPK saat ini menjadikan posisinya untuk mendapatkan kenaikan pangkat, jadi bintang tiga,” tuturnya. Dan semua penyidiknya jadi ASN. Tapi ia mengingatkan, pimpinan KPK tetap punya kewenangan untumenindaklanjuti pengakuan itu. “Tinggal bagaimana menjalankannya saja,” katanya.

Dari suap recehan hingga miliaran rupiah

Terlepas dari itu, Luhut mengingatkan kejaksaan agar buru-buru berbenah. Tanpa itu jangan harap kewenangan penydidikan dan penuntutan perkara korupsi bisa segera kembali ke Kejaksaan. “Kalau seperti sekarang ini mana mungkin dapat dukungan,” ujarnya sembari menyentil sikap bermewah-mewah seorang jaksa yang hobi mengendarai mobil sport.

Luhut tak asal ngomong. Menurut catatan SINDOnews, sekali 2008-2019 ada 22 orang jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Mereka tersebar di Kejaksaan Agung, Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang, Kejari Cibinong, Kejari Praya (NTB), Kejari Jawa Barat, Kejari DI Yogyakarta, Kejari Surabaya, Kejari Lampung, Kejari Soe (NTT), Kejari Wamena, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Barat, Kejati Bengkulu, Kejati DKI, Kejati Bali, Kejati Maluku.

Mirisnya ada di antara mereka yang bersedia menjual pangkat dan jabatannya seharga Rp 100 juta, meski ada yang high profile, Rp 6 miliar, seperti Jaksa Urip Tri Gunawan.

Jaksa Urip yang tertangkap tangan menerima suap Rp 6miliar dari Artalyta Suryani, orang kepercayaan Sjamsul Nursalim akhirnya dihukum 20 tahun.

Dari kisah penangkapannya terselip sebuah isu sangat menarik. Konon, saat ia dilaporkan kena OTT oleh KPK, Jaksa Agung saat itu (Hendarman Supanji) menelepon Ketua KPK Antasari Azhar agar Urip diserahkan ke kejaksaan.

Rupanya Antasari sendiri belum tahu ada penangkapan itu. Menurut bisik-bisik, tim penyergap Urip memang sengaja tak memberi tahu Antasari. Mereka khawatir jika Antasari yang berpredikat jaksa juga akan membatalkan penangkapan itu, atau paling tidak bersedia menyerakan Urip ke rekan satu korpsnya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More