Agenda Membangun Resiliensi
Selasa, 10 Agustus 2021 - 20:01 WIB
Seiring dengan itu, menantang pikiran buruk dengan membingkai ulang situasi yang ada, dapat pula dijalankan. Ini membantu kita mengidentifikasi bukti dan fakta yang ada, memfasilitasi kita dalam mengantisipasi dan menyelesaikan masalah.
Pengelolaan emosi positif, adalah bahan resiliensi berikutnya yang juga “murah-meriah”. Emosi positif meluaskan pandangan kita atas kemungkinan-kemungkinan, opsi dari solusi, dan menjadi pendorong menyelesaikan solusi itu. Di sisi lain, emosi positif meredam efek buruk dari emosi negatif yang kita peroleh.
Aktif menciptakan momen yang menghasilkan emosi positif berperan sentral dalam resiliensi. Ada yang bilang, kita harus “menciptakan kebahagiaan”. Tapi “bahagia” terlalu generik untuk satu momen emosi positif. Emosi positif sesungguhnya punya rentang kategori yang lebih luas. Setidaknya 10 yang penting untuk dikenali: Rasa riang, terhibur, kedamaian, bersyukur, penuh harap, ketertarikan, terinspirasi, rasa kagum, dan rasa cinta. Mengenali kategori emosi positif ini, membantu kita dalam mengelolanya.
Kita perlu secara sengaja dan rutin menciptakan emosi positif, baik dengan kognitif, maupun perilaku. Ini yang dikenal dengan intervensi aktivitas positif. Niatkan dan kerjakan apa saja yang bisa membuat anda menghasilkan emosi positif sejak bangun pagi. Apapun itu, mulai dari nonton filem, menjalankan hobi, mencicil pekerjaan, berdoa, menulis, membaca buku favorit, atau main game. Pendeknya, apapun yang menghasilkan emosi positif. Bersyukur misalnya, termasuk aktivitas yang paling sederhana.
Rasa syukur mungkin emosi positif yang paling tersedia pada setiap orang. Sir John Templeton (1912-2008), seorang philantropis dari Amerika, pernah meyakinkan seorang gadis yang ragu apakah ada yang dapat ia apresiasi. “Sepertinya, tidak ada satu pun yang bisa aku syukuri”, keluh gadis itu. Templeton menjawab, “cobalah berhenti bernapas selama tiga menit, dan kamu akan bersyukur karena bisa bernapas kembali.” Ada banyak hal yang bisa kita syukuri; alami, resapi, dan jadikan sebagai kapasitas resiliensi.
Pandemi Covid-19 menghadirkan berbagai kesulitan, dan ketidakpastian masih menggelayut untuk masa depan. Selayaknya kita mengandalkan resiliensi yang bahan bakunya ada pada diri kita, beradaptasi, dan mengurangi ketergantungan pada aspek di luar kita. Penyair Rumi pernah bilang, “Kita terlahir dengan sayap, mengapa memilih untuk melata dalam hidup?” Resiliensi adalah sayap kita. Sayap yang menjadi modal, tenaga, serta daya hidup kita untuk bertahan dan bangkit.
Pengelolaan emosi positif, adalah bahan resiliensi berikutnya yang juga “murah-meriah”. Emosi positif meluaskan pandangan kita atas kemungkinan-kemungkinan, opsi dari solusi, dan menjadi pendorong menyelesaikan solusi itu. Di sisi lain, emosi positif meredam efek buruk dari emosi negatif yang kita peroleh.
Aktif menciptakan momen yang menghasilkan emosi positif berperan sentral dalam resiliensi. Ada yang bilang, kita harus “menciptakan kebahagiaan”. Tapi “bahagia” terlalu generik untuk satu momen emosi positif. Emosi positif sesungguhnya punya rentang kategori yang lebih luas. Setidaknya 10 yang penting untuk dikenali: Rasa riang, terhibur, kedamaian, bersyukur, penuh harap, ketertarikan, terinspirasi, rasa kagum, dan rasa cinta. Mengenali kategori emosi positif ini, membantu kita dalam mengelolanya.
Kita perlu secara sengaja dan rutin menciptakan emosi positif, baik dengan kognitif, maupun perilaku. Ini yang dikenal dengan intervensi aktivitas positif. Niatkan dan kerjakan apa saja yang bisa membuat anda menghasilkan emosi positif sejak bangun pagi. Apapun itu, mulai dari nonton filem, menjalankan hobi, mencicil pekerjaan, berdoa, menulis, membaca buku favorit, atau main game. Pendeknya, apapun yang menghasilkan emosi positif. Bersyukur misalnya, termasuk aktivitas yang paling sederhana.
Rasa syukur mungkin emosi positif yang paling tersedia pada setiap orang. Sir John Templeton (1912-2008), seorang philantropis dari Amerika, pernah meyakinkan seorang gadis yang ragu apakah ada yang dapat ia apresiasi. “Sepertinya, tidak ada satu pun yang bisa aku syukuri”, keluh gadis itu. Templeton menjawab, “cobalah berhenti bernapas selama tiga menit, dan kamu akan bersyukur karena bisa bernapas kembali.” Ada banyak hal yang bisa kita syukuri; alami, resapi, dan jadikan sebagai kapasitas resiliensi.
Pandemi Covid-19 menghadirkan berbagai kesulitan, dan ketidakpastian masih menggelayut untuk masa depan. Selayaknya kita mengandalkan resiliensi yang bahan bakunya ada pada diri kita, beradaptasi, dan mengurangi ketergantungan pada aspek di luar kita. Penyair Rumi pernah bilang, “Kita terlahir dengan sayap, mengapa memilih untuk melata dalam hidup?” Resiliensi adalah sayap kita. Sayap yang menjadi modal, tenaga, serta daya hidup kita untuk bertahan dan bangkit.
(bmm)
tulis komentar anda