Melindungi Bangsa dengan Paspor Vaksin
Jum'at, 09 Juli 2021 - 05:37 WIB
JAKARTA - Indonesia menerapkan “ paspor vaksin ” bukan hanya kepada warga negara asing yang masuk ke Indonesia, tetapi juga bagi warga asing yang hendak ke Indonesia. Kebijakan itu diwujudkan dalam bentuk kartu vaksin dalam bentuk digital pada aplikasi PeduliLindungi, serta electronic Health Alert Card (e-HAC) dan sistem New All Record atau NAR (NAR).
Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM ) Darurat Jawa-Bali Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, pemerintah memberlakukan keharusan adanya kartu vaksin untuk perjalanan jarak jauh warga dalam negeri (domestik) maupun warga negara asing yang datang ke Indonesia. Bagi pelaku perjalanan domestik jarak jauh seperti menggunakan moda transportasi pesawat dari Jakarta atau menuju ke Jakarta, maka harus menunjukkan kartu vaksin atau sertifikat vaksinasi minimal vaksin dosis pertama dan hasil PCR H-2 yang harus negatif.
Untuk menjamin keaslian kartu vaksin atau sertifikat vaksinasi dan hasil PCR itu diterapkan dalam bentuk digital yang terhubung dengan aplikasi PeduliLindungi (dengan QR code) serta sistem e-HAC dan sistem NAR milik Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
"Pembelakuan ini tujuannya agar kita menghindari orang lain tertular dari kita atau sebaliknya," tegas Luhut.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) ini menggariskan, bagi warga negara asing (WNA) yang datang ke Indonesia, maka diwajibkan memiliki kartu vaksin atau sertifikat vaksinasi yang menunjukkan telah dua kali mendapatkan dosis vaksin serta sebelum masuk Indonesia harus lebih dulu menjalani tes PCR dengan hasil negatif.
"Semua orang asing yang datang ke Indonesia itu harus punya kartu vaksin. Jadi harus orang yang sudah divaksin dua kali. Tidak boleh orang datang ke Indonesia itu belum dapat kartu vaksin dua kali," ujarnya.
Saat tiba di Indonesia, lanjut Luhut, setiap WNA harus pula menjalani tes PCR ulang. Berikutnya, WNA harus menjalani karantina selama delapan hari, melakukan tes PCR kembali dengan hasil negatif, dan baru bisa keluar beraktivitas. Masa karantina selama delapan hari tersebut belajar dari studi atau penelitian dari negara-negara lain. Karenanya, kedatangan WNA di masa penerapan PPKM darurat bukanlah hal yang aneh.
"Jadi sebenarnya enggak ada yang aneh. Kalau ada yang asal ngomong, yang enggak ngerti masalah, jangan terlalu cepat ngomong. Jadi kita kan mesti memperlakukan resiprokal. Di dunia lain lakukan begitu, kita harus lakukan itu. Enggak bisa dong bernegara itu 'lu mau, gue enggak mau'. Enggak bisa begitu," ungkap Luhut.
Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM ) Darurat Jawa-Bali Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, pemerintah memberlakukan keharusan adanya kartu vaksin untuk perjalanan jarak jauh warga dalam negeri (domestik) maupun warga negara asing yang datang ke Indonesia. Bagi pelaku perjalanan domestik jarak jauh seperti menggunakan moda transportasi pesawat dari Jakarta atau menuju ke Jakarta, maka harus menunjukkan kartu vaksin atau sertifikat vaksinasi minimal vaksin dosis pertama dan hasil PCR H-2 yang harus negatif.
Untuk menjamin keaslian kartu vaksin atau sertifikat vaksinasi dan hasil PCR itu diterapkan dalam bentuk digital yang terhubung dengan aplikasi PeduliLindungi (dengan QR code) serta sistem e-HAC dan sistem NAR milik Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
"Pembelakuan ini tujuannya agar kita menghindari orang lain tertular dari kita atau sebaliknya," tegas Luhut.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) ini menggariskan, bagi warga negara asing (WNA) yang datang ke Indonesia, maka diwajibkan memiliki kartu vaksin atau sertifikat vaksinasi yang menunjukkan telah dua kali mendapatkan dosis vaksin serta sebelum masuk Indonesia harus lebih dulu menjalani tes PCR dengan hasil negatif.
"Semua orang asing yang datang ke Indonesia itu harus punya kartu vaksin. Jadi harus orang yang sudah divaksin dua kali. Tidak boleh orang datang ke Indonesia itu belum dapat kartu vaksin dua kali," ujarnya.
Saat tiba di Indonesia, lanjut Luhut, setiap WNA harus pula menjalani tes PCR ulang. Berikutnya, WNA harus menjalani karantina selama delapan hari, melakukan tes PCR kembali dengan hasil negatif, dan baru bisa keluar beraktivitas. Masa karantina selama delapan hari tersebut belajar dari studi atau penelitian dari negara-negara lain. Karenanya, kedatangan WNA di masa penerapan PPKM darurat bukanlah hal yang aneh.
"Jadi sebenarnya enggak ada yang aneh. Kalau ada yang asal ngomong, yang enggak ngerti masalah, jangan terlalu cepat ngomong. Jadi kita kan mesti memperlakukan resiprokal. Di dunia lain lakukan begitu, kita harus lakukan itu. Enggak bisa dong bernegara itu 'lu mau, gue enggak mau'. Enggak bisa begitu," ungkap Luhut.
tulis komentar anda