Daya Dukung Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
Jum'at, 04 Juni 2021 - 20:28 WIB
Sayangnya, belum ada kesepakatan tentang target penurunan emisi CO2 untuk setiap negara, dan bagaimana cara untuk menurunkan emisi CO2 berdasarkan target tersebut. Jika laju emisi CO2 global seperti sekarang tidak segera dikurangi, maka dikhawatirkan suhu bumi bakal meningkat sebesar 30C pada 2030 dan bisa mengakibatkan climate catastrophe (malapetaka iklim) global (IPCC, 2020).
Pembangunan berkelanjutan adalah paradigma pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa merusak kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuahnnya (WCED, 1987). Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga dimensi: ekonomi, sosial, dan ekologi (lingkungan). Dimensi ekonomi mengandung arti bahwa pembangunan mesti menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan. Dimensi sosial memastikan bahwa kue pertumbuhan ekonomi itu harus didistribusikan untuk mensejahterakan seluruh penduduk dunia secara berkeadilan. Dimensi ekologi memastikan bahwa pembangunan ekonomi dan kegiatan manusia tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang mengancam keberlanjutan ekosistem alam.
Pada dasarnya, kerusakan lingkungan seperti pencemaran, overeksploitasi SDA, kepunahan jenis, dan pemanasan global itu terjadi lantaran laju (intensitas) pembangunan berupa konversi ekosistem alam untuk bebagai macam penggunaan lahan (land uses), eksploitasi SDA, pembuangan limbah, emisi GRK, dan kegiatan manusia lainnya melampaui DDL (Daya Dukung Lingkungan) suatu wilayah.
Oleh sebab itu, dari perspektif ekonomi – ekologi, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) hanya dapat diwujudkan, dengan memastikan bahwa laju pembangunan di suatu wilayah (Kabupaten/Kota, Propinsi, Negara atau Dunia) tidak melampaui DDL wilayah termaksud. Laju pembangunan di suatu wilayah bergantung pada jumlah penduduk, konsumsi SDA perkapita, laju buangan limbah (emisi GRK) perkapita, dan kebutuhan lahan untuk perumahan dan ruang kehidupan manusia lainnya perkapita. Sementara itu, DDL suatu wilayah secara alamiah ditentukan oleh luasan wilayah tersebut, potensi SDA nya, kapasitasnya dalam mengasimilasi limbah dan emisi GRK, keindahan alam, dan fungsi-fungsi penunjang kehidupan yang terdapat di dalamnya.
Menurut Brown (2003) DDL planet bumi secara alamiah untuk dapat mendukung kehidupan umat manusia dengan pendapatan perkapita yang mensejahterakan, rata-rata 8.000 dolar AS adalah sekitar 8 milyar orang. Untungnya, DDL ekosistem alam (bumi) bisa ditingkatkan dengan aplikasi teknologi dan manajemen. Contohnya, produktivitas lahan sawah secara alamiah itu sekitar 1 ton/ha/tahun. Dengan menggunakan teknologi (seperti bibit unggul, pupuk, irigasi, dan precision farming dengan Artificial Intelligent, Internet of Things serta teknologi Industri-4.0 lainnya), produktivitasnya dapat ditingkatkan menjadi 10 – 15 ton/ha/tahun. Kendati demikian, DDL suatu wilayah tidak bisa ditingkatkan dengan teknologi tanpa batas.
Ada batas maksimumnya penggunaan tekonologi dalam meningkatkan DDL suatu wilayah. Setelah tercapai titik maksimum, peningkatan input teknologi justru akan menurunkan produktivitas dan DDL suatu wilayah (law of diminishing return). Dengan intervensi teknologi dan manajemen, DDL bumi diperkirakan hanya mampu mendukung kehidupan penduduk dunia untuk sekitar 12 milyar orang, dengan rata-rata pendapatan perkapita 8.000 dolar AS (Harvard University, 2010).
Pada tataran praksis, DDL wilayah dapat dipelihara dan bahkan ditingkatkan dengan mengimplementasikan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) secara benar, kosisten, dan berkelanjutan. Minimal 30% dari luas total suatu wilayah mesti dijadikan sebagai kawasan lindung untuk menjamin kelestarian SDA dan lingkungn. Kawasan lindung tidak boleh dikonversi menjadi kawasan pertambangan, perkebunan, industri, dan peruntukan pembangunan lainnya. Hanya kegiatan penelitian, pendidikan, dan ekowisata yang boleh ada dalam kawasan lindung.
Selain itu, kita harus merehabilitasi hutan, danau, sungai, rawa, estuaria, mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan ekosistem alam lain yang telah mengalami kerusakan. Wilayah ekosistem perairan (danau, waduk, sungai, dan laut) yang telah mengalami overfishing atau kepunahan jenis harus dipulihkan stok ikannya dengan melakukan restocking dan stock enhancement secara tepat dan benar. Program konservasi pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem harus lebih ditingkatkan. Kapasitas asimilasi ekosistem sungai dan danau harus dirawat dengan melakukan kegiatan normalisasi dan river training.
Selain perbaikan tata kelola produksi hutan alam dan perikanan tangkap, untuk memenuhi kebutuhan pangan, serat (bahan sandang), obat-obatan (farmasi), kayu, kertas, bioenergy, dan komoditas SDA hayati lainnya yang terus meningkat; kita harus meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability dari semua usaha budidaya pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, Hutan Tanaman Industri, peternakan, dan perikanan yang ada saat ini. Lahan darat dan perairan di luar kawasan lindung, yang masih belum tergarap harus dikembangkan untuk berbagai usaha budidaya tersebut. Aplikasi bioteknologi, nanoteknologi, AI, IoT, dan teknologi Industri 4.0 lainnya diyakini dapat meningkatkan produtivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability dari sektor pertanian, kehutanan, dan kelautan dan perikanan.
Secara simultan, kita harus mengganti paradigma pembangunan ekonomi kapitalis (konvensional) yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kekayaan untuk kehidupan konsumtif, mewah dan hedonis diri, keluarga, perusahaan, atau kelompok nya. Dengan paradigma pembangunan ekonomi yang mendorong pertumbuhan ekonomi berkualitas, inklusif, dan ramah lingkungan untuk dunia yang lebih baik, sejahtera, damai, dan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan adalah paradigma pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa merusak kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuahnnya (WCED, 1987). Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga dimensi: ekonomi, sosial, dan ekologi (lingkungan). Dimensi ekonomi mengandung arti bahwa pembangunan mesti menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan. Dimensi sosial memastikan bahwa kue pertumbuhan ekonomi itu harus didistribusikan untuk mensejahterakan seluruh penduduk dunia secara berkeadilan. Dimensi ekologi memastikan bahwa pembangunan ekonomi dan kegiatan manusia tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang mengancam keberlanjutan ekosistem alam.
Pada dasarnya, kerusakan lingkungan seperti pencemaran, overeksploitasi SDA, kepunahan jenis, dan pemanasan global itu terjadi lantaran laju (intensitas) pembangunan berupa konversi ekosistem alam untuk bebagai macam penggunaan lahan (land uses), eksploitasi SDA, pembuangan limbah, emisi GRK, dan kegiatan manusia lainnya melampaui DDL (Daya Dukung Lingkungan) suatu wilayah.
Oleh sebab itu, dari perspektif ekonomi – ekologi, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) hanya dapat diwujudkan, dengan memastikan bahwa laju pembangunan di suatu wilayah (Kabupaten/Kota, Propinsi, Negara atau Dunia) tidak melampaui DDL wilayah termaksud. Laju pembangunan di suatu wilayah bergantung pada jumlah penduduk, konsumsi SDA perkapita, laju buangan limbah (emisi GRK) perkapita, dan kebutuhan lahan untuk perumahan dan ruang kehidupan manusia lainnya perkapita. Sementara itu, DDL suatu wilayah secara alamiah ditentukan oleh luasan wilayah tersebut, potensi SDA nya, kapasitasnya dalam mengasimilasi limbah dan emisi GRK, keindahan alam, dan fungsi-fungsi penunjang kehidupan yang terdapat di dalamnya.
Menurut Brown (2003) DDL planet bumi secara alamiah untuk dapat mendukung kehidupan umat manusia dengan pendapatan perkapita yang mensejahterakan, rata-rata 8.000 dolar AS adalah sekitar 8 milyar orang. Untungnya, DDL ekosistem alam (bumi) bisa ditingkatkan dengan aplikasi teknologi dan manajemen. Contohnya, produktivitas lahan sawah secara alamiah itu sekitar 1 ton/ha/tahun. Dengan menggunakan teknologi (seperti bibit unggul, pupuk, irigasi, dan precision farming dengan Artificial Intelligent, Internet of Things serta teknologi Industri-4.0 lainnya), produktivitasnya dapat ditingkatkan menjadi 10 – 15 ton/ha/tahun. Kendati demikian, DDL suatu wilayah tidak bisa ditingkatkan dengan teknologi tanpa batas.
Ada batas maksimumnya penggunaan tekonologi dalam meningkatkan DDL suatu wilayah. Setelah tercapai titik maksimum, peningkatan input teknologi justru akan menurunkan produktivitas dan DDL suatu wilayah (law of diminishing return). Dengan intervensi teknologi dan manajemen, DDL bumi diperkirakan hanya mampu mendukung kehidupan penduduk dunia untuk sekitar 12 milyar orang, dengan rata-rata pendapatan perkapita 8.000 dolar AS (Harvard University, 2010).
Pada tataran praksis, DDL wilayah dapat dipelihara dan bahkan ditingkatkan dengan mengimplementasikan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) secara benar, kosisten, dan berkelanjutan. Minimal 30% dari luas total suatu wilayah mesti dijadikan sebagai kawasan lindung untuk menjamin kelestarian SDA dan lingkungn. Kawasan lindung tidak boleh dikonversi menjadi kawasan pertambangan, perkebunan, industri, dan peruntukan pembangunan lainnya. Hanya kegiatan penelitian, pendidikan, dan ekowisata yang boleh ada dalam kawasan lindung.
Selain itu, kita harus merehabilitasi hutan, danau, sungai, rawa, estuaria, mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan ekosistem alam lain yang telah mengalami kerusakan. Wilayah ekosistem perairan (danau, waduk, sungai, dan laut) yang telah mengalami overfishing atau kepunahan jenis harus dipulihkan stok ikannya dengan melakukan restocking dan stock enhancement secara tepat dan benar. Program konservasi pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem harus lebih ditingkatkan. Kapasitas asimilasi ekosistem sungai dan danau harus dirawat dengan melakukan kegiatan normalisasi dan river training.
Selain perbaikan tata kelola produksi hutan alam dan perikanan tangkap, untuk memenuhi kebutuhan pangan, serat (bahan sandang), obat-obatan (farmasi), kayu, kertas, bioenergy, dan komoditas SDA hayati lainnya yang terus meningkat; kita harus meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability dari semua usaha budidaya pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, Hutan Tanaman Industri, peternakan, dan perikanan yang ada saat ini. Lahan darat dan perairan di luar kawasan lindung, yang masih belum tergarap harus dikembangkan untuk berbagai usaha budidaya tersebut. Aplikasi bioteknologi, nanoteknologi, AI, IoT, dan teknologi Industri 4.0 lainnya diyakini dapat meningkatkan produtivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability dari sektor pertanian, kehutanan, dan kelautan dan perikanan.
Secara simultan, kita harus mengganti paradigma pembangunan ekonomi kapitalis (konvensional) yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kekayaan untuk kehidupan konsumtif, mewah dan hedonis diri, keluarga, perusahaan, atau kelompok nya. Dengan paradigma pembangunan ekonomi yang mendorong pertumbuhan ekonomi berkualitas, inklusif, dan ramah lingkungan untuk dunia yang lebih baik, sejahtera, damai, dan berkelanjutan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda