Kualitas Pendidikan dan Masa Depan Bangsa
Selasa, 11 Mei 2021 - 05:15 WIB
Agus Harimurti Yudhoyono
Ketua Umum Partai Demokrat
BARU saja kita merayakan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei lalu. Di bulan yang sama, kita juga akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei mendatang. Dua momentum peringatan itu memiliki makna besar dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia. Sebab, kualitas pendidikan merupakan pilar utama bagi hadirnya kebangkitan nasional karena pendidikan merupakan alat penentu kualitas dan daya saing sumber daya manusia suatu bangsa.
Sejak awal Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara (1889-1959) dan juga filsuf pendidikan asal Brasil, Paulo Freire (1921-1997) menegaskan bahwa inti dari kerja-kerja pendidikan adalah membangkitkan semangat pembebasan. Bukan hanya pembebasan masyarakat dari buta huruf (illiteracy) dan penindasan kolonial, tetapi juga pembebasan dari berbagai macam diskriminasi, kemiskinan, dan kesenjangan sosial yang semakin dalam.
Namun, setidaknya sudah dua kali peringatan Hari Pendidikan dan Hari Kebangkitan Nasional terakhir ini, kita dihadapkan pada situasi pandemi Covid-19 yang berdampak sangat serius terhadap kerja-kerja pendidikan nasional. Sejak awal pandemi ini menyebar, Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres telah mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 berpotensi memunculkan bencana pendidikan dan generasi (generational and educational catastrophe) di tingkat global. Ancaman itu tidak lepas dari kewajiban menjalankan protokol kesehatan secara ketat dengan menjaga jarak dan menghindari kerumunan, yang berimplikasi pada transformasi dan revolusi dunia pendidikan dari yang semula berbasis offline, kemudian berubah menjadi online.
Akibatnya, berbagai macam masalah pendidikan muncul akibat dari pelaksanaan pembelajaran jarak jauh berbasis online ini. Pertama, menurunnya kualitas pembelajaran. Sebab,kelas online tetap tidak bisa menggantikan kualitas pembelajaran tatap muka (PTM) di ruang kelas yang menyediakan ruang interaksi lebih leluasa bagi guru dan siswa. Masalah ini ditambah oleh fakta masih terbatasnya perangkat komunikasi dan jaringan internet para siswa di sejumlah daerah sehingga membuat proses transfer pengetahuan (transfer of knowledge) menjadi terkendala. Akibatnya, pembelajaran daring memunculkan risiko hilangnya pengalaman belajar (learning loss) di kalangan siswa dan juga mahasiswa.
Kedua, meningkatnya angka putus sekolah. Meskipun hal ini bukan masalah baru dalam dunia pendidikan nasional, tetapi situasi pandemi Covid-19 seolah memperburuk situasi ini. Hal itu dikonfirmasi oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2021) yang mencatat adanya tren kenaikan angka putus sekolah di masa pandemi, baik dengan alasan menikah dini, terpaksa bekerja untuk meringankan beban ekonomi keluarga, hingga akibat proses belajar mengajar yang dirasa kurang optimal. Jika berkepanjangan, kondisi ini tentu mengancam masa depan generasi bangsa.
Ketiga, terbatasnya ruang sosialisasi dan interaksi sosial para siswa dan mahasiswa. Hal ini tentu berdampak, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap proses perkembangan psikologi anak. Sebab, interaksi langsung antarsiswa di lingkungan sekolah menjadi media latihan yang efektif bagi para siswa untuk membentuk dan mematangkan karakter, integritas, membangun rasa empati dan solidaritas sosial dan juga menata kemampuan kepemimpinan para siswa. Kondisi ini patut kita cermati bersama karena proses pendidikan sejatinya tidak hanya berorientasi pada peningkatan pengetahuan kognitif semata, tetapi juga harus mampu membangun mental, karakter, integritas, dan cara pandang para siswa dalam melihat dunia. Artinya, jika siswa kehilangan kesempatan untuk mengasah mental dan karakter mereka, maka proses pendidikan hanya akan menghasilkan produk generasi yang kosong dan hampa makna.
Tiga persoalan dasar pendidikan itu dikonfirmasi oleh banyak orang tua yang saya jumpai di berbagai kesempatan. Selama hampir 1,5 tahun terakhir, kita para orang tua juga ikut berjuang bersama untuk menjaga dan mempertahankan kualitas pendidikan kita. Hampir setiap hari kita ikut mendampingi, mencoba menjelaskan, atau bahkan harus ikut belajar ulang untuk mengingat-ingat sejumlah materi pelajaran lama yang sudah terpendam dalam memori para orang tua. Semua itu kita ikhtiarkan untuk mengawal kualitas pendidikan anak-anak kita.
Ketua Umum Partai Demokrat
BARU saja kita merayakan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei lalu. Di bulan yang sama, kita juga akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei mendatang. Dua momentum peringatan itu memiliki makna besar dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia. Sebab, kualitas pendidikan merupakan pilar utama bagi hadirnya kebangkitan nasional karena pendidikan merupakan alat penentu kualitas dan daya saing sumber daya manusia suatu bangsa.
Sejak awal Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara (1889-1959) dan juga filsuf pendidikan asal Brasil, Paulo Freire (1921-1997) menegaskan bahwa inti dari kerja-kerja pendidikan adalah membangkitkan semangat pembebasan. Bukan hanya pembebasan masyarakat dari buta huruf (illiteracy) dan penindasan kolonial, tetapi juga pembebasan dari berbagai macam diskriminasi, kemiskinan, dan kesenjangan sosial yang semakin dalam.
Namun, setidaknya sudah dua kali peringatan Hari Pendidikan dan Hari Kebangkitan Nasional terakhir ini, kita dihadapkan pada situasi pandemi Covid-19 yang berdampak sangat serius terhadap kerja-kerja pendidikan nasional. Sejak awal pandemi ini menyebar, Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres telah mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 berpotensi memunculkan bencana pendidikan dan generasi (generational and educational catastrophe) di tingkat global. Ancaman itu tidak lepas dari kewajiban menjalankan protokol kesehatan secara ketat dengan menjaga jarak dan menghindari kerumunan, yang berimplikasi pada transformasi dan revolusi dunia pendidikan dari yang semula berbasis offline, kemudian berubah menjadi online.
Akibatnya, berbagai macam masalah pendidikan muncul akibat dari pelaksanaan pembelajaran jarak jauh berbasis online ini. Pertama, menurunnya kualitas pembelajaran. Sebab,kelas online tetap tidak bisa menggantikan kualitas pembelajaran tatap muka (PTM) di ruang kelas yang menyediakan ruang interaksi lebih leluasa bagi guru dan siswa. Masalah ini ditambah oleh fakta masih terbatasnya perangkat komunikasi dan jaringan internet para siswa di sejumlah daerah sehingga membuat proses transfer pengetahuan (transfer of knowledge) menjadi terkendala. Akibatnya, pembelajaran daring memunculkan risiko hilangnya pengalaman belajar (learning loss) di kalangan siswa dan juga mahasiswa.
Kedua, meningkatnya angka putus sekolah. Meskipun hal ini bukan masalah baru dalam dunia pendidikan nasional, tetapi situasi pandemi Covid-19 seolah memperburuk situasi ini. Hal itu dikonfirmasi oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2021) yang mencatat adanya tren kenaikan angka putus sekolah di masa pandemi, baik dengan alasan menikah dini, terpaksa bekerja untuk meringankan beban ekonomi keluarga, hingga akibat proses belajar mengajar yang dirasa kurang optimal. Jika berkepanjangan, kondisi ini tentu mengancam masa depan generasi bangsa.
Ketiga, terbatasnya ruang sosialisasi dan interaksi sosial para siswa dan mahasiswa. Hal ini tentu berdampak, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap proses perkembangan psikologi anak. Sebab, interaksi langsung antarsiswa di lingkungan sekolah menjadi media latihan yang efektif bagi para siswa untuk membentuk dan mematangkan karakter, integritas, membangun rasa empati dan solidaritas sosial dan juga menata kemampuan kepemimpinan para siswa. Kondisi ini patut kita cermati bersama karena proses pendidikan sejatinya tidak hanya berorientasi pada peningkatan pengetahuan kognitif semata, tetapi juga harus mampu membangun mental, karakter, integritas, dan cara pandang para siswa dalam melihat dunia. Artinya, jika siswa kehilangan kesempatan untuk mengasah mental dan karakter mereka, maka proses pendidikan hanya akan menghasilkan produk generasi yang kosong dan hampa makna.
Tiga persoalan dasar pendidikan itu dikonfirmasi oleh banyak orang tua yang saya jumpai di berbagai kesempatan. Selama hampir 1,5 tahun terakhir, kita para orang tua juga ikut berjuang bersama untuk menjaga dan mempertahankan kualitas pendidikan kita. Hampir setiap hari kita ikut mendampingi, mencoba menjelaskan, atau bahkan harus ikut belajar ulang untuk mengingat-ingat sejumlah materi pelajaran lama yang sudah terpendam dalam memori para orang tua. Semua itu kita ikhtiarkan untuk mengawal kualitas pendidikan anak-anak kita.
tulis komentar anda