Membumikan Kembali Pancasila di Kalangan Milenial
Kamis, 29 April 2021 - 05:56 WIB
“Jadi kalau ideologi-ideologi lain menyebarkan pahamnya melalui internet, Pancasila (juga) harus dibuat menarik melalui media-media internet itu. Juga berbagai media lain yang tentu saja, melalui jalur pendidikan. Kedua, masyarakat ini perlu untuk memiliki figure-figur teladan yang bisa menjadi contoh bagaimana mengamalkan Pancasila. Figur teladan yang dekat dengan kehidupan anak muda,” katanya.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengatakan, Pancasila selama ini lebih banyak sebatas diskursus yang tak menyentuh bumi, tidak maksimal pada level tindakan.
“Akibatnya, banyak yang tak faham makna dan substansi pancasila karena sifatnya abstrak, bukan pada level praktis,” katanya.
Dia pun mengaku heran pendidikan Pancasila dihilangkan dari kurikulum pendidikan. Karena menurutnya Pancasila adalah nyawa bangsa Indonesia.
“Agak aneh jika pendidikan Pancasila dihilangkan dari kurikulum pendidikan. Padahal Pancasila adalah ruh dan nyawa dalam kehidupan bangsa bernegara,” tukasnya.
Di sisi lain dia melihat, ada kesan masyarakat melihat Pancasila dan realitas sosial politik berjarak. Seakan keduanya saling bertolak belakang. Pancasila itu mengajarkan nilai kebajikan hidup, tapi dalam praktiknya banyak perilaku elit justru tidak mencerminkan nafas Pancasila.
“Korupsi merajalela, hedonisme hidup, praktik politik yang brutal, dan tentunya kondisi ekonomi yang semraut. Realitas semacam ini memaksa masyarakat apatis bahkan tidak respek terhadap Pancasila sehingga secara perlahan dukungan terhadap Pancasila terus mengecil,” bebernya.
Menurut pandangannya, rakyat menginginkan Pancasila dalam kehidupan nyata. Utamanya, nilai Pancasila untuk mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan rakyat. Sehingga nilai luhur Pancasila menjadi tertanam di naluri rakyat jika itu dapat terwujud.
“Rakyat maunya Pancasila itu nyata dalam kehidupan. Terutama bagaimana Pancasila diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan, membuka lapangan pekerjaan, kekayaan yang tak dimonopoli segelintir orang, dan lain sebainya,” pungkasnya.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengatakan, Pancasila selama ini lebih banyak sebatas diskursus yang tak menyentuh bumi, tidak maksimal pada level tindakan.
“Akibatnya, banyak yang tak faham makna dan substansi pancasila karena sifatnya abstrak, bukan pada level praktis,” katanya.
Dia pun mengaku heran pendidikan Pancasila dihilangkan dari kurikulum pendidikan. Karena menurutnya Pancasila adalah nyawa bangsa Indonesia.
“Agak aneh jika pendidikan Pancasila dihilangkan dari kurikulum pendidikan. Padahal Pancasila adalah ruh dan nyawa dalam kehidupan bangsa bernegara,” tukasnya.
Di sisi lain dia melihat, ada kesan masyarakat melihat Pancasila dan realitas sosial politik berjarak. Seakan keduanya saling bertolak belakang. Pancasila itu mengajarkan nilai kebajikan hidup, tapi dalam praktiknya banyak perilaku elit justru tidak mencerminkan nafas Pancasila.
“Korupsi merajalela, hedonisme hidup, praktik politik yang brutal, dan tentunya kondisi ekonomi yang semraut. Realitas semacam ini memaksa masyarakat apatis bahkan tidak respek terhadap Pancasila sehingga secara perlahan dukungan terhadap Pancasila terus mengecil,” bebernya.
Menurut pandangannya, rakyat menginginkan Pancasila dalam kehidupan nyata. Utamanya, nilai Pancasila untuk mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan rakyat. Sehingga nilai luhur Pancasila menjadi tertanam di naluri rakyat jika itu dapat terwujud.
“Rakyat maunya Pancasila itu nyata dalam kehidupan. Terutama bagaimana Pancasila diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan, membuka lapangan pekerjaan, kekayaan yang tak dimonopoli segelintir orang, dan lain sebainya,” pungkasnya.
(ynt)
tulis komentar anda