Membumikan Kembali Pancasila di Kalangan Milenial
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keberadaan Pancasila sebagai ideologi negara mulai tergerus, terutama di kalangan milenial . Karena itu, membumikan kembali nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila mendesak dilakukan.
Saat mendirikan negeri ini, para pendiri bangsa menetapkan Pancasila sebagai dasar bagi masyarakat untuk berbangsa dan negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) . Harapannya tentu Pancasila menjadi panduan dalam kehidupan bernegara setiap warganya. Namun lambat laun, Pancasila justru semakin teralienasi.
Pada 2017 lalu, survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2017 menemukan 9,5% milenial setuju Pancasila diganti sebagai ideologi negara. Memang jumlah yang tidak setuju masih besar, yakni 90,5%. Tapi, fakta itu ternyata menjadi sinyal awal kian tergerusnya Pancasila.
Tiga tahun berselang, Komunitas Pancasila Muda memaparkan hasil surveinya tentang milenial dan Pancasila dihadapan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Apa hasil surveinya? Mereka menemukan 61% responden yang berusia 18-25 tahun yakin dan setuju bahwa nilai-nilai Pancasila sangat penting dan relevan bagi mereka. Lalu, ada 19,5% yang netral.
Yang mengagetkan ada 19,5% responden yang menyatakan tidak yakin dengan nilai-nilai Pancasila itu relevan dengan kehidupan mereka saat ini. Situasi ini sekaligus bisa jadi menunjukkan pergeseran pandangan dan ketidakpedulian generasi milenial terhadap Pancasila.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas memprihatikan kondisi tersebut. Dia mengingatkan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan satu-kesatuan tak terpisahkan dalam menjalani kehidupan berbangsa.
Dia menyadari pemahaman ini sulit terdesimenasikan di kalangan anak muda. Pasalnya, kalangan milenial dengan nilai-nilai sosial baru berbasis modernitas yang mereka adopsi cenderung jauh dari literasi mengenai pandangan-pandangan kebangsaan.
“Generasi milenial dengan segenap keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di eranya, boleh jadi memiliki life skill dalam menghasilkan karya-karya kreatif dan inovatif baru. Namun pada saat yang sama, mereka mengalami krisis makna menyangkut pandangan hidup berbangsa dan bernegara,” ujarnya kepada Koran SINDO, Selasa (27/4/2021).
Karena itu, dia menekankan pentingnya kembali nilai-nilai Pancasila di kalangan milenial, dengan cara yang bisa mereka pahami.
“Saya pikir harus ada strategi khusus untuk menanamkan ruh dan nilai-nilai Pancasila kepada generasi milenial. Mereka ini pola pikirnya sudah berbeda zaman dengan kita yang lahir di era 70-an,” tutur Robikin.
Seperti diketahui, di era orde baru (orba) penanaman Pancasila dilakukan melalui Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (B7). Kepemimpinan otoriter Soeharto mewajibkan masyarakat untuk mengikuti pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4). Seiring dengan tumbangnya orba, B7 pun ikut tamat.
Robikin menilai sudah tak relevan jika menggunakan pendekatan doktrinasi untuk menanamkan Pancasila.
“Dibutuhkan strategi yang lebih mengedepankan budaya mendengar dari pada menggurui. Kita perlu dengar apa aspirasi anak-anak milenial tentang Pancasila. Apa yang mereka inginkan tentang Pancasila? Dan seterusnya,” katanya.
Setelah diskusi itu, baru pemerintah memformulasikan sebuah praktek pemahaman baru tentang Pancasila. Di era revolusi digital atau 4.0, tentunya harus memanfaatkan berbagai platform media sosial dan teknologi informasi (TI) yang ada. Robikin mengungkapkan ada lima poin penting yang harus ditanamkan kepada generasi milenial.
Pertama, membangun semangat kebhinekaan. Kedua, pengakuan terhadap perbedaan. Ketiga, perlakukan sama terhadap berbagai komunitas. Keempat, penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia (HAM). Terakhir, kesadaran bahwa hanya dengan memegang teguh nilai-nilai luhur Pancasila, bangsa Indonesia akan selamat, berkarakter kuat, dan berperadaban unggul di tengah-tengah masyarakat dunia.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga mendorong dilakukan kajian yang komprehensif terhadap fenomena lunturnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, semua pihak harus melakukan kajian yang seksama terhadap fenomena ini. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan itu terjadi. Pertama, bagi anak muda sekarang ideologi bukan sesuatu yang penting.
Mu’ti menerangkan generasi milenial cenderung sangat longgar tidak hanya menyangkut ideologi negara. Juga terhadap ideologi agama dan berbagai hal yang selama ini dianggap sebagai nilai-nilai dan tradisi yang sudah mapan. Kedua, kurangnya penanaman dan pemahaman nilai-nilai tentang Pancasila.
“Ketiga, mereka tidak melihat dan menemukan adanya kebanggaan dengan ber-Pancasila itu. Sebabnya, berbagai kontradiksi dan paradok dalam kehidupan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai dan sila Pancasila. Tentu ini harus kita secara komprehensif, tidak single poin terhadap anak-anak milenial saja,” tuturnya kepada Koran SINDO, Rabu (28/4/2021).
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah itu menyatakan, para penyelenggara negara dan mereka yang berada struktural juga harus melakukan introspeksi. Mereka mempunyai tanggung jawab dan tugas untuk sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai Pancasila. Dia menilai cara-cara sosialisasi yang dilakukan selama ini perlu direvisi.
“Upaya-upaya sosialisasi dan internalisasi Pancasila itu cenderung seremonial dan struktural. Kurang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Ini memang perlu menjadi bagian dari evaluasi. Kadang-kadang slogan dan figure yang tidak tepat. Misalnya, Saya Indonesia dan Saya Pancasila, saya kira slogan itu perlu dievaluasi,” paparnya.
Mu’ti mengkritik pemilihan figur yang tidak tepat untuk dijadikan teladan tentang pengamalan Pancasila.
“Hidupnya tidak teladan dan mencerminkan pengamalan Pancasila dijadikan ikon itu sesuatu kekeliruan yang fatal,” ucapnya.
Beberapa waktu lalu, sempat terjadi kontroversi terkait pengangkatan selebritis Zaskia Gotik menjadi duta Pancasila.Masyarakat pun melancarkan banjir protes. Di situ yang terlihat dikedepankan adalah popularitasnya bukan integritas. Penanaman nilai-nilai Pancasila, menurutnya, harus dilakukan perubahan-perubahan dari cara yang dilakukan selama ini.
Dia menjelaskan sekarang bukan lagi era yang segala sesuatu dilakukan dengan indoktrinasi. Apalagi pendekatan yang menakut-nakuti. Sosialisasi Pancasila harus dilakukan dengan cara-cara yang menarik.
Menurut dia, pemerintah seharusnya bisa melakukan itu karena memiliki sumber daya dan dana yang mencukupi. Sayangnya, menurut Mu’ti, terkadang metode yang dilakukan pemerintah kalah dari lembaga-lembaga partikelir. Di era keterbukaan informasi dengan berbagai platform media, pemerintah harus agresif juga mensosialisasikan Pancasila di dunia maya.
“Jadi kalau ideologi-ideologi lain menyebarkan pahamnya melalui internet, Pancasila (juga) harus dibuat menarik melalui media-media internet itu. Juga berbagai media lain yang tentu saja, melalui jalur pendidikan. Kedua, masyarakat ini perlu untuk memiliki figure-figur teladan yang bisa menjadi contoh bagaimana mengamalkan Pancasila. Figur teladan yang dekat dengan kehidupan anak muda,” katanya.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengatakan, Pancasila selama ini lebih banyak sebatas diskursus yang tak menyentuh bumi, tidak maksimal pada level tindakan.
“Akibatnya, banyak yang tak faham makna dan substansi pancasila karena sifatnya abstrak, bukan pada level praktis,” katanya.
Dia pun mengaku heran pendidikan Pancasila dihilangkan dari kurikulum pendidikan. Karena menurutnya Pancasila adalah nyawa bangsa Indonesia.
“Agak aneh jika pendidikan Pancasila dihilangkan dari kurikulum pendidikan. Padahal Pancasila adalah ruh dan nyawa dalam kehidupan bangsa bernegara,” tukasnya.
Di sisi lain dia melihat, ada kesan masyarakat melihat Pancasila dan realitas sosial politik berjarak. Seakan keduanya saling bertolak belakang. Pancasila itu mengajarkan nilai kebajikan hidup, tapi dalam praktiknya banyak perilaku elit justru tidak mencerminkan nafas Pancasila.
“Korupsi merajalela, hedonisme hidup, praktik politik yang brutal, dan tentunya kondisi ekonomi yang semraut. Realitas semacam ini memaksa masyarakat apatis bahkan tidak respek terhadap Pancasila sehingga secara perlahan dukungan terhadap Pancasila terus mengecil,” bebernya.
Menurut pandangannya, rakyat menginginkan Pancasila dalam kehidupan nyata. Utamanya, nilai Pancasila untuk mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan rakyat. Sehingga nilai luhur Pancasila menjadi tertanam di naluri rakyat jika itu dapat terwujud.
“Rakyat maunya Pancasila itu nyata dalam kehidupan. Terutama bagaimana Pancasila diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan, membuka lapangan pekerjaan, kekayaan yang tak dimonopoli segelintir orang, dan lain sebainya,” pungkasnya.
Saat mendirikan negeri ini, para pendiri bangsa menetapkan Pancasila sebagai dasar bagi masyarakat untuk berbangsa dan negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) . Harapannya tentu Pancasila menjadi panduan dalam kehidupan bernegara setiap warganya. Namun lambat laun, Pancasila justru semakin teralienasi.
Pada 2017 lalu, survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2017 menemukan 9,5% milenial setuju Pancasila diganti sebagai ideologi negara. Memang jumlah yang tidak setuju masih besar, yakni 90,5%. Tapi, fakta itu ternyata menjadi sinyal awal kian tergerusnya Pancasila.
Tiga tahun berselang, Komunitas Pancasila Muda memaparkan hasil surveinya tentang milenial dan Pancasila dihadapan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Apa hasil surveinya? Mereka menemukan 61% responden yang berusia 18-25 tahun yakin dan setuju bahwa nilai-nilai Pancasila sangat penting dan relevan bagi mereka. Lalu, ada 19,5% yang netral.
Yang mengagetkan ada 19,5% responden yang menyatakan tidak yakin dengan nilai-nilai Pancasila itu relevan dengan kehidupan mereka saat ini. Situasi ini sekaligus bisa jadi menunjukkan pergeseran pandangan dan ketidakpedulian generasi milenial terhadap Pancasila.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas memprihatikan kondisi tersebut. Dia mengingatkan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan satu-kesatuan tak terpisahkan dalam menjalani kehidupan berbangsa.
Dia menyadari pemahaman ini sulit terdesimenasikan di kalangan anak muda. Pasalnya, kalangan milenial dengan nilai-nilai sosial baru berbasis modernitas yang mereka adopsi cenderung jauh dari literasi mengenai pandangan-pandangan kebangsaan.
Baca Juga
“Generasi milenial dengan segenap keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di eranya, boleh jadi memiliki life skill dalam menghasilkan karya-karya kreatif dan inovatif baru. Namun pada saat yang sama, mereka mengalami krisis makna menyangkut pandangan hidup berbangsa dan bernegara,” ujarnya kepada Koran SINDO, Selasa (27/4/2021).
Karena itu, dia menekankan pentingnya kembali nilai-nilai Pancasila di kalangan milenial, dengan cara yang bisa mereka pahami.
“Saya pikir harus ada strategi khusus untuk menanamkan ruh dan nilai-nilai Pancasila kepada generasi milenial. Mereka ini pola pikirnya sudah berbeda zaman dengan kita yang lahir di era 70-an,” tutur Robikin.
Seperti diketahui, di era orde baru (orba) penanaman Pancasila dilakukan melalui Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (B7). Kepemimpinan otoriter Soeharto mewajibkan masyarakat untuk mengikuti pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4). Seiring dengan tumbangnya orba, B7 pun ikut tamat.
Robikin menilai sudah tak relevan jika menggunakan pendekatan doktrinasi untuk menanamkan Pancasila.
“Dibutuhkan strategi yang lebih mengedepankan budaya mendengar dari pada menggurui. Kita perlu dengar apa aspirasi anak-anak milenial tentang Pancasila. Apa yang mereka inginkan tentang Pancasila? Dan seterusnya,” katanya.
Setelah diskusi itu, baru pemerintah memformulasikan sebuah praktek pemahaman baru tentang Pancasila. Di era revolusi digital atau 4.0, tentunya harus memanfaatkan berbagai platform media sosial dan teknologi informasi (TI) yang ada. Robikin mengungkapkan ada lima poin penting yang harus ditanamkan kepada generasi milenial.
Pertama, membangun semangat kebhinekaan. Kedua, pengakuan terhadap perbedaan. Ketiga, perlakukan sama terhadap berbagai komunitas. Keempat, penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia (HAM). Terakhir, kesadaran bahwa hanya dengan memegang teguh nilai-nilai luhur Pancasila, bangsa Indonesia akan selamat, berkarakter kuat, dan berperadaban unggul di tengah-tengah masyarakat dunia.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga mendorong dilakukan kajian yang komprehensif terhadap fenomena lunturnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, semua pihak harus melakukan kajian yang seksama terhadap fenomena ini. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan itu terjadi. Pertama, bagi anak muda sekarang ideologi bukan sesuatu yang penting.
Mu’ti menerangkan generasi milenial cenderung sangat longgar tidak hanya menyangkut ideologi negara. Juga terhadap ideologi agama dan berbagai hal yang selama ini dianggap sebagai nilai-nilai dan tradisi yang sudah mapan. Kedua, kurangnya penanaman dan pemahaman nilai-nilai tentang Pancasila.
“Ketiga, mereka tidak melihat dan menemukan adanya kebanggaan dengan ber-Pancasila itu. Sebabnya, berbagai kontradiksi dan paradok dalam kehidupan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai dan sila Pancasila. Tentu ini harus kita secara komprehensif, tidak single poin terhadap anak-anak milenial saja,” tuturnya kepada Koran SINDO, Rabu (28/4/2021).
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah itu menyatakan, para penyelenggara negara dan mereka yang berada struktural juga harus melakukan introspeksi. Mereka mempunyai tanggung jawab dan tugas untuk sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai Pancasila. Dia menilai cara-cara sosialisasi yang dilakukan selama ini perlu direvisi.
“Upaya-upaya sosialisasi dan internalisasi Pancasila itu cenderung seremonial dan struktural. Kurang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Ini memang perlu menjadi bagian dari evaluasi. Kadang-kadang slogan dan figure yang tidak tepat. Misalnya, Saya Indonesia dan Saya Pancasila, saya kira slogan itu perlu dievaluasi,” paparnya.
Mu’ti mengkritik pemilihan figur yang tidak tepat untuk dijadikan teladan tentang pengamalan Pancasila.
“Hidupnya tidak teladan dan mencerminkan pengamalan Pancasila dijadikan ikon itu sesuatu kekeliruan yang fatal,” ucapnya.
Beberapa waktu lalu, sempat terjadi kontroversi terkait pengangkatan selebritis Zaskia Gotik menjadi duta Pancasila.Masyarakat pun melancarkan banjir protes. Di situ yang terlihat dikedepankan adalah popularitasnya bukan integritas. Penanaman nilai-nilai Pancasila, menurutnya, harus dilakukan perubahan-perubahan dari cara yang dilakukan selama ini.
Dia menjelaskan sekarang bukan lagi era yang segala sesuatu dilakukan dengan indoktrinasi. Apalagi pendekatan yang menakut-nakuti. Sosialisasi Pancasila harus dilakukan dengan cara-cara yang menarik.
Menurut dia, pemerintah seharusnya bisa melakukan itu karena memiliki sumber daya dan dana yang mencukupi. Sayangnya, menurut Mu’ti, terkadang metode yang dilakukan pemerintah kalah dari lembaga-lembaga partikelir. Di era keterbukaan informasi dengan berbagai platform media, pemerintah harus agresif juga mensosialisasikan Pancasila di dunia maya.
“Jadi kalau ideologi-ideologi lain menyebarkan pahamnya melalui internet, Pancasila (juga) harus dibuat menarik melalui media-media internet itu. Juga berbagai media lain yang tentu saja, melalui jalur pendidikan. Kedua, masyarakat ini perlu untuk memiliki figure-figur teladan yang bisa menjadi contoh bagaimana mengamalkan Pancasila. Figur teladan yang dekat dengan kehidupan anak muda,” katanya.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengatakan, Pancasila selama ini lebih banyak sebatas diskursus yang tak menyentuh bumi, tidak maksimal pada level tindakan.
“Akibatnya, banyak yang tak faham makna dan substansi pancasila karena sifatnya abstrak, bukan pada level praktis,” katanya.
Dia pun mengaku heran pendidikan Pancasila dihilangkan dari kurikulum pendidikan. Karena menurutnya Pancasila adalah nyawa bangsa Indonesia.
“Agak aneh jika pendidikan Pancasila dihilangkan dari kurikulum pendidikan. Padahal Pancasila adalah ruh dan nyawa dalam kehidupan bangsa bernegara,” tukasnya.
Di sisi lain dia melihat, ada kesan masyarakat melihat Pancasila dan realitas sosial politik berjarak. Seakan keduanya saling bertolak belakang. Pancasila itu mengajarkan nilai kebajikan hidup, tapi dalam praktiknya banyak perilaku elit justru tidak mencerminkan nafas Pancasila.
“Korupsi merajalela, hedonisme hidup, praktik politik yang brutal, dan tentunya kondisi ekonomi yang semraut. Realitas semacam ini memaksa masyarakat apatis bahkan tidak respek terhadap Pancasila sehingga secara perlahan dukungan terhadap Pancasila terus mengecil,” bebernya.
Menurut pandangannya, rakyat menginginkan Pancasila dalam kehidupan nyata. Utamanya, nilai Pancasila untuk mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan rakyat. Sehingga nilai luhur Pancasila menjadi tertanam di naluri rakyat jika itu dapat terwujud.
“Rakyat maunya Pancasila itu nyata dalam kehidupan. Terutama bagaimana Pancasila diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan, membuka lapangan pekerjaan, kekayaan yang tak dimonopoli segelintir orang, dan lain sebainya,” pungkasnya.
(ynt)