Melawan Industri untuk Menyembuhkan Sungai
Kamis, 22 April 2021 - 06:43 WIB
Untuk membuat masyarakat percaya tentang pencemaran dan bahayanya, Prigi dan Ecoton selalu memulai dengan penelitian terhadap kandungan mikroplastik dan logam berat. Juga menginvestigasi keberadaan dan pengolahan sampah-sampah impor. Setelah data dan fakta terkumpul, dibentuk kelompok-kelompok masyarakat yang kritis terhadap masalah ini.
Arus informasi ini jadi fokus Prigi untuk menyuplai asupan pengetahuan kepada masyarakat. Hasil riset di lapangan dan laboratorium itu dibawa ke ruang publik untuk didiskusikan. Dengan tujuan, menarik masyarakat untuk berpartisipasi pada upaya penyelamatan lingkungan. Sayangnya, belum banyak masyarakat yang tergugah.
Saat ini orang-orang merasa segala kebutuhan airnya sudah terpenuhi oleh perusahaan daerah air minum dan minuman dalam kemasan. Orang sudah melupakan ketergantungan pada sungai. Di sinilah Prigi dan Ecoton hadir untuk menyadarkan masyarakat agar kembali ke sungai.
Selanjutnya, ada juga hasil penelitian mengenai pencemaran air sungai yang dibawa ke jalur litigasi. Ecoton beberapa kali menggugat Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Menteri Lingkungan Hidup, dan sejumlah perusahaan besar. “Kami gugat karena mereka lalai,” ucapnya.
Prigi menyebut salah satu pencemar air sungai adalah industri pengolahan kertas dan sampah dari luar negeri. Sampah-sampah plastik dan kertas itu diolah kemudian menghasilkan karton. Negara-negara maju, menurutnya, menjadi bagian dari masalah ini karena kerap menyelundupkan sampah plastik dan popok yang sulit didaur ulang. Setiapnya diduga ada 3,5 juta sampah dari luar negeri masuk ke Tanah Air. “Daur ulang itu mahal karena butuh (banyak) air bersih. Maka, pabrik-pabrik kertas itu ada di tepi sungai. Dekat dengan Ciliwung, Citarum, dan Brantas karena banyak air yang bisa dimanfaatkan. Ambil air, masuk ke pabrik untuk mencuci kotoran, dibuang kotorannya ke sungai. Masuk bagus, keluar buruk,” katanya.
Jadi, sulitnya sungai di Indonesia untuk bersih juga ada andil dari perilaku masyarakat di luar negeri. Prigi menjelaskan ini masalah global tentang keadilan Utara-Selatan atau negara maju dan berkembang. Insentif penyelamatan lingkungan selama ini banyak berfokus pada hutan.
Prigi mendorong agar hal yang sama dilakukan pada sungai-sungai di Indonesia. “Sungai kita sudah tercemar oleh perilaku masyarakat di negara maju. Sungai Brantas itu korban dari kemakmuran negara maju. Sungai kita itu tumbal,” tegasnya.
Masalah kian bertumpuk karena industri di Indonesia kerap tidak memenuhi standar untuk pengolahan limbah. Pria asal Gresik itu mengatakan metode pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai itu ada yang baik tetapi mahal. Dia harus mengeluarkan biaya untuk energi listrik dan bakteri. Di sinilah celah kecurangan yang dilakukan industri.
Secara naluri, mereka inginnya mengeluarkan modal sedikit. Lalu, untung besar. Praktik ini semakin leluasa, menurut Prigi, karena pemerintah tidak bisa melakukan pengawasan secara maksimal. Industri pun tidak patuh. “Akhirnya nakal, jam 12 malam (air limbah) dibuang. Sabtu dibuang. Di mana aparat enggak bekerja,” paparnya.
Indonesia perlu belajar dari Tiongkok. Negeri Tirai Bambu itu telah menghentikan impor sampah yang sudah berlangsung puluhan tahun. Hal ini dilakukan setelah adanya penelitian tentang bahaya pencemaran lingkungan pada tahun 2013. Hasil penelitian menyatakan biaya pengobatan orang sakit akibat polusi sampah ini lebih tinggi dari keuntungan.
Arus informasi ini jadi fokus Prigi untuk menyuplai asupan pengetahuan kepada masyarakat. Hasil riset di lapangan dan laboratorium itu dibawa ke ruang publik untuk didiskusikan. Dengan tujuan, menarik masyarakat untuk berpartisipasi pada upaya penyelamatan lingkungan. Sayangnya, belum banyak masyarakat yang tergugah.
Saat ini orang-orang merasa segala kebutuhan airnya sudah terpenuhi oleh perusahaan daerah air minum dan minuman dalam kemasan. Orang sudah melupakan ketergantungan pada sungai. Di sinilah Prigi dan Ecoton hadir untuk menyadarkan masyarakat agar kembali ke sungai.
Selanjutnya, ada juga hasil penelitian mengenai pencemaran air sungai yang dibawa ke jalur litigasi. Ecoton beberapa kali menggugat Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Menteri Lingkungan Hidup, dan sejumlah perusahaan besar. “Kami gugat karena mereka lalai,” ucapnya.
Prigi menyebut salah satu pencemar air sungai adalah industri pengolahan kertas dan sampah dari luar negeri. Sampah-sampah plastik dan kertas itu diolah kemudian menghasilkan karton. Negara-negara maju, menurutnya, menjadi bagian dari masalah ini karena kerap menyelundupkan sampah plastik dan popok yang sulit didaur ulang. Setiapnya diduga ada 3,5 juta sampah dari luar negeri masuk ke Tanah Air. “Daur ulang itu mahal karena butuh (banyak) air bersih. Maka, pabrik-pabrik kertas itu ada di tepi sungai. Dekat dengan Ciliwung, Citarum, dan Brantas karena banyak air yang bisa dimanfaatkan. Ambil air, masuk ke pabrik untuk mencuci kotoran, dibuang kotorannya ke sungai. Masuk bagus, keluar buruk,” katanya.
Jadi, sulitnya sungai di Indonesia untuk bersih juga ada andil dari perilaku masyarakat di luar negeri. Prigi menjelaskan ini masalah global tentang keadilan Utara-Selatan atau negara maju dan berkembang. Insentif penyelamatan lingkungan selama ini banyak berfokus pada hutan.
Prigi mendorong agar hal yang sama dilakukan pada sungai-sungai di Indonesia. “Sungai kita sudah tercemar oleh perilaku masyarakat di negara maju. Sungai Brantas itu korban dari kemakmuran negara maju. Sungai kita itu tumbal,” tegasnya.
Masalah kian bertumpuk karena industri di Indonesia kerap tidak memenuhi standar untuk pengolahan limbah. Pria asal Gresik itu mengatakan metode pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai itu ada yang baik tetapi mahal. Dia harus mengeluarkan biaya untuk energi listrik dan bakteri. Di sinilah celah kecurangan yang dilakukan industri.
Secara naluri, mereka inginnya mengeluarkan modal sedikit. Lalu, untung besar. Praktik ini semakin leluasa, menurut Prigi, karena pemerintah tidak bisa melakukan pengawasan secara maksimal. Industri pun tidak patuh. “Akhirnya nakal, jam 12 malam (air limbah) dibuang. Sabtu dibuang. Di mana aparat enggak bekerja,” paparnya.
Indonesia perlu belajar dari Tiongkok. Negeri Tirai Bambu itu telah menghentikan impor sampah yang sudah berlangsung puluhan tahun. Hal ini dilakukan setelah adanya penelitian tentang bahaya pencemaran lingkungan pada tahun 2013. Hasil penelitian menyatakan biaya pengobatan orang sakit akibat polusi sampah ini lebih tinggi dari keuntungan.
tulis komentar anda