Meruwat Bumi, Merawat Kehidupan

Kamis, 22 April 2021 - 05:00 WIB
loading...
Meruwat Bumi, Merawat Kehidupan
Nirwono Joga (Foto: Istimewa)
A A A
Nirwono Joga
Peneliti Pusat Studi Perkotaan

SETIAP 22 April masyarakat dunia memperingati Hari Bumi. Tahun ini peringatan Hari Bumi mengusung tema Restore Our Planet, sebagai bentuk keprihatinan terhadap berbagai bencana alam (banjir, banjir bandang, longsor, gempa bumi, likufaksi, tsunami, kebakaran hutan, kekeringan, badai salju berkepanjangan) dan nonalam (pandemi Covid-19) yang melanda seluruh bagian dunia. Untuk itu, tema Hari Bumi sangat relevan untuk menata ulang bumi demi keberlanjutan kehidupan semua makhluk hidup.

Perubahan iklim telah nyata dampaknya bagi bumi Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sepanjang 2020 terdapat 1.036 kejadian bencana banjir, berdampak 258 orang meninggal dunia dan hilang, 271 orang terluka, 4.362.016 orang mengungsi dan terdampak, serta 815.905 rumah terendam.

Sementara sepanjang 2021, BNPB mencatat bencana alam berupa banjir terjadi sebanyak 337 kejadian, puting beliung (186), tanah longsor (144), karhutla (70), gempa bumi (13), gelombang pasang dan abrasi (12), serta kekeringan (1). Dampak bencana tentu semakin besar jika melihat kerusakan yang diakibatkan banjir bandang dan longsor di Nusa Tengggara Timur, serta gempa bumi di Jawa Timur.

Berbagai bencana di Tanah Air harus menjadi momentum untuk menata ulang bumi Indonesia. Menurut Presiden Jokowi kunci utama dalam mengurangi risiko bencana terletak pada aspek pencegahan dan mitigasi bencana, serta manajemen bencana. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?

Pertama, jumlah penduduk yang besar membawa risiko jumlah korban besar pula bila ada bencana yang sangat besar. Indonesia justru semakin mengota (menjadi kota). Tingkat urbanisasi di Indonesia diprediksi terus meningkat dari 8,6 juta jiwa (15 persen, 1950), 55 juta jiwa (30 persen, 1990), 151 juta jiwa (56 persen, 2020), 233 juta jiwa (73 persen, 2045) (BPS, Bappenas, 2020).

Penanganan bencana jangan hanya bersifat reaktif saat bencana tiba, tetapi masyarakat dituntut untuk mempersiapkan diri dengan baik, rencana antisipasi yang matang dan rinci, serta pembangunan daerah yang peka terhadap kerawanan bencana. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana 2020-2024, pemerintah daerah menyiapkan rencana aksi daerah penanggulangan bencana dan rencana pembangunan berbasis mitigasi bencana.

Kedua, rencana tata ruang wilayah (provinsi, kota/kabupaten) harus diaudit, dievaluasi, dan diselaraskan dengan Peta Rawan Bencana (Bappenas dan BNPB, 2017). Ketegasan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk menegakkan aturan dan menertibkan bangunan yang berdiri di zona merah rawan bencana, seperti lereng bukit, jalur sesar gempa atau likuefaksi, tepi bantaran kali, pesisir pantai.

Kawasan permukiman, perkantoran, dan perniagaan di zona rawan bencana harus direlokasi ke zona aman. Kawasan zona merah dikonservasi sebagai ruang terbuka hijau berupa hutan lindung, kebun raya di pegunungan dan dataran atau hutan mangrove di tepi pantai. Pengendalian dan pemanfaatan ruang harus dilakukan dengan ketat dan tegas untuk mengurangi dampak risiko bencana.

Ketiga, pembangunan kota harus berbasis risiko bencana, dikelola secara berkelanjutan, agar kota memberikan lebih banyak manfaat, baik aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Kota direncanakan dan dikelola dengan baik, ditata lebih kompak dan terpadu, serta tangguh bencana. Maka dengan jumlah penduduk yang sama maka lingkungan alam yang harus diubah bisa lebih kecil, dibanding jika penduduk tersebar.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1072 seconds (0.1#10.140)