Melawan Industri untuk Menyembuhkan Sungai

Kamis, 22 April 2021 - 06:43 WIB
loading...
Melawan Industri untuk “Menyembuhkan” Sungai
Prigi Arisandi saat unjuk rasa terkait bahaya sampah plastik di Malang, Jawa Timur beberapa waktu lalu.
A A A
GRESIK - Lebih dari 25 tahun Prigi Arisandi mengedukasi masyarakat tentang bahaya pencemaran sungai di Pulau Jawa, terutama Brantas. Kenyang dengan ancaman karena berhadapan dengan industri besar.

Sejak duduk di bangku kuliah di Jurusan Biologi Universitas Airlangga (Unair), hidup Prigi sudah berkutat dengan upaya penyelamatan ekosistem sungai di Surabaya dan daerah lain di Indonesia. Selepas berkubang dengan kotornya air sungai, Prigi dan teman-teman membawa sampel air ke laboratorium untuk mengetahui seberapa parah pencemaran yang terjadi.

Selesai sampai di situ? Tidak. Prigi bersama lembaga Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) kemudian menjelaskan temuannya itu kepada masyarakat dan pemerintah. Bahkan, Prigi dan Ecoton tak segan melakukan demonstrasi untuk mengecam pemerintah pusat, daerah (pemda), dan industri yang abai dan mencemari air sungai.

“Arah pembangunan kita tidak banyak berpihak pada lingkungan. Regulasi dibuat untuk melindungi investasi. Kebijakan dibuat untuk privilege pada upaya-upaya perusakan sungai. Sebuah hal yang ironi. Kita di Surabaya itu 98 persen mengonsumsi air (Sungai) Brantas,” ujarnya saat dihubungi Koran SINDO, Selasa (20/4) malam.

Ecoton menilai pemerintah tidak melakukan upaya perlindungan yang maksimal terhadap sungai. Padahal, keberadaannya sangat vital bagi kehidupan masyarakat. Ada dua temuan sederhana yang saling berkebalikan dan menunjukkan belum terbangunnya kesadaran masyarakat. Satu sisi, air sungai itu digunakan untuk minum. Di sisi lain, masyarakat membuat 1,5 juta popok per hari.

Banyak industri melakukan pelanggaran tapi minim penegakan hukum. Rentetan permasalahan dan pengalaman ini, yang membawa Prigi berjuang mengajak masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan. Sebab, ini terkait dengan masa depan kehidupan manusia.

“Saya ini sangat tergantung dengan Sungai Brantas. Saya tidak ingin anak-anak tidak merasa apa yang dulu saya rasakan. Saya harus bersuara. Saya harus melakukan upaya-upaya pembelaan terhadap sungai,” tuturnya.

Pria kelahiran 1976 itu tentu sadar tak bisa sendirian melakukan kerja besar ini. Dia berusaha keras mengajak masyarakat ikut berpartisipasi untuk menjaga sungai. Caranya, menumbuhkan rasa memiliki terhadap sungai. Dengan begitu, masyarakat akan melindungi sungai.

Hari ini, kita kerap dipertontonkan orang-orang yang membuang sampah ke sungai. Kala melintasi sungai, kita menyaksikan tumpukan aneka sampah yang tersangkut di pinggir sungai. Bahkan, ada yang membentuk gundukan di tengah aliran sungai. Sungai menjadi tempat sampah besar. Tanpa disadari itu merusak ekosistemnya.

Untuk membuat masyarakat percaya tentang pencemaran dan bahayanya, Prigi dan Ecoton selalu memulai dengan penelitian terhadap kandungan mikroplastik dan logam berat. Juga menginvestigasi keberadaan dan pengolahan sampah-sampah impor. Setelah data dan fakta terkumpul, dibentuk kelompok-kelompok masyarakat yang kritis terhadap masalah ini.

Arus informasi ini jadi fokus Prigi untuk menyuplai asupan pengetahuan kepada masyarakat. Hasil riset di lapangan dan laboratorium itu dibawa ke ruang publik untuk didiskusikan. Dengan tujuan, menarik masyarakat untuk berpartisipasi pada upaya penyelamatan lingkungan. Sayangnya, belum banyak masyarakat yang tergugah.

Saat ini orang-orang merasa segala kebutuhan airnya sudah terpenuhi oleh perusahaan daerah air minum dan minuman dalam kemasan. Orang sudah melupakan ketergantungan pada sungai. Di sinilah Prigi dan Ecoton hadir untuk menyadarkan masyarakat agar kembali ke sungai.

Selanjutnya, ada juga hasil penelitian mengenai pencemaran air sungai yang dibawa ke jalur litigasi. Ecoton beberapa kali menggugat Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Menteri Lingkungan Hidup, dan sejumlah perusahaan besar. “Kami gugat karena mereka lalai,” ucapnya.

Prigi menyebut salah satu pencemar air sungai adalah industri pengolahan kertas dan sampah dari luar negeri. Sampah-sampah plastik dan kertas itu diolah kemudian menghasilkan karton. Negara-negara maju, menurutnya, menjadi bagian dari masalah ini karena kerap menyelundupkan sampah plastik dan popok yang sulit didaur ulang. Setiapnya diduga ada 3,5 juta sampah dari luar negeri masuk ke Tanah Air. “Daur ulang itu mahal karena butuh (banyak) air bersih. Maka, pabrik-pabrik kertas itu ada di tepi sungai. Dekat dengan Ciliwung, Citarum, dan Brantas karena banyak air yang bisa dimanfaatkan. Ambil air, masuk ke pabrik untuk mencuci kotoran, dibuang kotorannya ke sungai. Masuk bagus, keluar buruk,” katanya.

Jadi, sulitnya sungai di Indonesia untuk bersih juga ada andil dari perilaku masyarakat di luar negeri. Prigi menjelaskan ini masalah global tentang keadilan Utara-Selatan atau negara maju dan berkembang. Insentif penyelamatan lingkungan selama ini banyak berfokus pada hutan.

Prigi mendorong agar hal yang sama dilakukan pada sungai-sungai di Indonesia. “Sungai kita sudah tercemar oleh perilaku masyarakat di negara maju. Sungai Brantas itu korban dari kemakmuran negara maju. Sungai kita itu tumbal,” tegasnya.

Masalah kian bertumpuk karena industri di Indonesia kerap tidak memenuhi standar untuk pengolahan limbah. Pria asal Gresik itu mengatakan metode pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai itu ada yang baik tetapi mahal. Dia harus mengeluarkan biaya untuk energi listrik dan bakteri. Di sinilah celah kecurangan yang dilakukan industri.

Secara naluri, mereka inginnya mengeluarkan modal sedikit. Lalu, untung besar. Praktik ini semakin leluasa, menurut Prigi, karena pemerintah tidak bisa melakukan pengawasan secara maksimal. Industri pun tidak patuh. “Akhirnya nakal, jam 12 malam (air limbah) dibuang. Sabtu dibuang. Di mana aparat enggak bekerja,” paparnya.

Indonesia perlu belajar dari Tiongkok. Negeri Tirai Bambu itu telah menghentikan impor sampah yang sudah berlangsung puluhan tahun. Hal ini dilakukan setelah adanya penelitian tentang bahaya pencemaran lingkungan pada tahun 2013. Hasil penelitian menyatakan biaya pengobatan orang sakit akibat polusi sampah ini lebih tinggi dari keuntungan.

Celakanya, pencemaran lingkungan sungai di Indonesia itu sudah merembet ke tubuh manusia. Ecoton pada Januari 2020-Februari 2021 melakukan penelitian terhadap masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Ciliwung, Bali, Brantas, dan Bengawan Solo. Dari 91 (49 wanita dan 42 pria) sampel feses yang diambil, semuanya mengandung mikroplastik.

Nilai median sebesar 18 partikel per 10 gram. Ada empat jenis mikroplastik yang ditemukan dari feses itu, yakni fuberm fragmen, filament, dan granul. Fiber yang ditemukan paling dominan. Selanjutnya, grafmen, filament, dan granula. Ini sebuah alarm bagi masyarakat dan pemerintah sebagai pemangku kebijakan.

“Paparan plastik pada tubuh manusia ini bisa menyebabkan kepunahan manusia karena ada semacam penurunan kualitas sperma. Plastik ini mengganggu hormon. Dia masuk dalam katagori endocrine disrupting chemicals (EDC),” kata Prigi.

Mikroplastik ini masuk ke tubuh manusia bisa melalui air sungai dan ikan yang dikonsumsi. Ecoton mengungkapkan seafood di pantai Utara Jawa sudah terkontaminasi mikroplastik. Selain menyebabkan penurunan kualitas sperma, ini berpengaruh pada insulin dan menopause dini. Prigi menyebut sekarang banyak perempuan yang menstruasi lebih awal.

Indonesia, menurutnya, terlalu mengedepankan profit. Namun, melupakan planet yang akhirnya menyebabkan masyarakat (people) jadi korban. “Ini hanya memuliakan 1 persen orang Indonesia. Selain itu, akan menderita dan menanggung beban (karena) industri membuang limbah dan pencemaran dibiarkan,” kritiknya.

Prigi mendesak pemerintah untuk tegas menegakkan hukum pada industri yang membuang limbah sembarangan. Dia mencibir pemerintah yang sering mengglorifikasi hukuman terhadap satu industri, tapi ribuan lain bebas. Itu hanya pencitraan belaka dan tidak akan membuat efek jera.

Selama 25 tahun meneliti pencemaran sungai, serta melawan pemerintah dan pemodal besar, Prigi harus menghadapi sejumlah rintangan. “Ancamannya pernah ditahan polisi. Kita abis aksi, disekap. Rumah dan kantor diteror. Saya (anggap) itu sebuah risiko untuk perubahan. Risiko mengusik orang tidur enak, ya seperti itu. Itu orang jahat, maka perlu kita lawan,” pungkasnya.

(F.W.Bahtiar)
(war)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5174 seconds (0.1#10.140)