PR Besar Pembangunan Perikanan
Selasa, 13 April 2021 - 05:10 WIB
Ketiga, keterukuran kebutuhan infrastruktur perikanan harus diperhitungkan dengan baik. Sebanyak 13 megaproyek mercusuar berupa sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) dan pembangunan keramba jaring apung (KJA) lepas pantai atau offshore harus dipastikan bisa berjalan dengan baik. Dalam hal SKPT, persoalan yang kemudian melahirkan disfungsi tata kelola adalah mekanisme pengelolaan aset yang dilimpahkan kepada provinsi. Hal lain yang menjadi ganjalan oleh daerah adalah kualitas infrastruktur yang dibangun melahirkan biaya perawatan dan pengelolaan yang membebani anggaran daerah. Sementara itu, yang tidak diukur adalah besaran investasi yang akan ditopang oleh SKPT yang dibangun tersebut.
Keempat, mengenai keterukuran dan ketertelusuran ketersediaan bahan baku industri dan UMKM serta garam penting untuk dipastikan. Soal bahan baku industri dan UMKM penting karena menjadi indikator daya dukung bahan baku untuk industri.
Berdasarkan perhitungan penulis, data stok ikan nasional yang mencapai 12,5 juta ton, jika ditangkap pada tingkat maximum sustainable yield (MSY) dan dialokasikan untuk industri dan bahan secara berkelanjutan selama satu tahun hanya mampu mendukung sekitar 3.120 unit industri dan UMKM. Kapasitas terpasang UMKM rata-rata per hari, yakni 12,2 ton/hari TTC segar; 9,5 ton/hari untuk TTC beku; 24 ton/hari untuk TTC kaleng; 39.58 ton/hari untuk udang; dan 51,15 ton/hari untuk industri lainnya.
Jadi, kalau hanya mengandalkan potensi tangkap, jumlah industri dan UMKM akan mengalami kekurangan bahan baku. Begitu juga dengan industri garam yang harus dipastikan memiliki sistem neraca garam untuk supply dan demand. Kebijakan PP No 9/2018 yang menyiratkan bahwa impor dapat dilakukan tanpa persetujuan menteri teknis adalah sebuah proses yang absurd tidak elok. Penulis melihat bahwa ketiadaan kementrian teknis adalah sebuah eksekusi kebijakan yang janggal dan harus direvisi jika ingin memperbaiki kehidupan penambak garam.
PR berikutnya yang dipastikan dan dioptimalkan keberadaannya adalah fungsi kawasan konservasi. Secara kuantitas tidak terlalu sulit mencapai target luasan kawasan konservasi. Namun yang perlu diperhatikan adalah kemanfaatan kawasan konservasi tersebut sebagai salah satu instrumen ekonomi sektor perikanan dan kelautan. Menjadi penting merancang sebuah struktur ekonomi hijau berbasis konservasi di bidang kelautan dan perikanan.
Solusi
Memperhatikan berbagai persoalan di atas, maka penulis memberikan beberapa solusi untuk memperkuat komitmen dan rencana KKP. Pertama, digitalisasi data perikanan dan refungsionalisasi pelabuhan, kedua penguatan multistakeholder platform dalam wilayah pengelolaan perikanan. Ketiga, merancang investasi yang menarik bagi investor dan mempertimbangkan ketidakpastian dan risiko. Keempat, melakukan harmonisasi kebijakan teknis dalam pembangunan perikanan dan kelautan.
Solusi digitalisasi perikanan menjadi penting saat ini karena sebenarnya kita dapat memanfaatkan instrumen teknologi 4.0 pada pelabuhan perikanan. Jika mekanisme penentuan PNBP dilakukan pada skala pelabuhan, maka keterukuran data produksi di pelabuhan bisa dipersiapkan. Selain itu, pelabuhan dapat menjalankan fungsi pendataan, pelelangan, dan pencatatan pendapatan. Pelabuhan menjadi ujung tombak dari upaya pendataan perikanan yang lebih presisi berbasis digital.
Solusi kedua mengenai penguatan multiplatform stakeholder diperlukan untuk memastikan bahwa mekanisme pengelolaan perikanan berbasis WPP dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak baik vertikal maupun horizontal. Kabupaten/kota, provinsi, investor, perguruan tinggi, CSO, dan lembaga penelitian dapat sama-sama dilibatkan dalam platform multistakeholder ini.
Solusi ketiga adalah memastikan bahwa informasi ketidakpastian (uncertainty), bahaya, dan risiko yang menjadi beban investor dapat diberikan elastisitas berbasis risiko.
Keempat, mengenai keterukuran dan ketertelusuran ketersediaan bahan baku industri dan UMKM serta garam penting untuk dipastikan. Soal bahan baku industri dan UMKM penting karena menjadi indikator daya dukung bahan baku untuk industri.
Berdasarkan perhitungan penulis, data stok ikan nasional yang mencapai 12,5 juta ton, jika ditangkap pada tingkat maximum sustainable yield (MSY) dan dialokasikan untuk industri dan bahan secara berkelanjutan selama satu tahun hanya mampu mendukung sekitar 3.120 unit industri dan UMKM. Kapasitas terpasang UMKM rata-rata per hari, yakni 12,2 ton/hari TTC segar; 9,5 ton/hari untuk TTC beku; 24 ton/hari untuk TTC kaleng; 39.58 ton/hari untuk udang; dan 51,15 ton/hari untuk industri lainnya.
Jadi, kalau hanya mengandalkan potensi tangkap, jumlah industri dan UMKM akan mengalami kekurangan bahan baku. Begitu juga dengan industri garam yang harus dipastikan memiliki sistem neraca garam untuk supply dan demand. Kebijakan PP No 9/2018 yang menyiratkan bahwa impor dapat dilakukan tanpa persetujuan menteri teknis adalah sebuah proses yang absurd tidak elok. Penulis melihat bahwa ketiadaan kementrian teknis adalah sebuah eksekusi kebijakan yang janggal dan harus direvisi jika ingin memperbaiki kehidupan penambak garam.
PR berikutnya yang dipastikan dan dioptimalkan keberadaannya adalah fungsi kawasan konservasi. Secara kuantitas tidak terlalu sulit mencapai target luasan kawasan konservasi. Namun yang perlu diperhatikan adalah kemanfaatan kawasan konservasi tersebut sebagai salah satu instrumen ekonomi sektor perikanan dan kelautan. Menjadi penting merancang sebuah struktur ekonomi hijau berbasis konservasi di bidang kelautan dan perikanan.
Solusi
Memperhatikan berbagai persoalan di atas, maka penulis memberikan beberapa solusi untuk memperkuat komitmen dan rencana KKP. Pertama, digitalisasi data perikanan dan refungsionalisasi pelabuhan, kedua penguatan multistakeholder platform dalam wilayah pengelolaan perikanan. Ketiga, merancang investasi yang menarik bagi investor dan mempertimbangkan ketidakpastian dan risiko. Keempat, melakukan harmonisasi kebijakan teknis dalam pembangunan perikanan dan kelautan.
Solusi digitalisasi perikanan menjadi penting saat ini karena sebenarnya kita dapat memanfaatkan instrumen teknologi 4.0 pada pelabuhan perikanan. Jika mekanisme penentuan PNBP dilakukan pada skala pelabuhan, maka keterukuran data produksi di pelabuhan bisa dipersiapkan. Selain itu, pelabuhan dapat menjalankan fungsi pendataan, pelelangan, dan pencatatan pendapatan. Pelabuhan menjadi ujung tombak dari upaya pendataan perikanan yang lebih presisi berbasis digital.
Solusi kedua mengenai penguatan multiplatform stakeholder diperlukan untuk memastikan bahwa mekanisme pengelolaan perikanan berbasis WPP dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak baik vertikal maupun horizontal. Kabupaten/kota, provinsi, investor, perguruan tinggi, CSO, dan lembaga penelitian dapat sama-sama dilibatkan dalam platform multistakeholder ini.
Solusi ketiga adalah memastikan bahwa informasi ketidakpastian (uncertainty), bahaya, dan risiko yang menjadi beban investor dapat diberikan elastisitas berbasis risiko.
tulis komentar anda