PR Besar Pembangunan Perikanan

Selasa, 13 April 2021 - 05:10 WIB
loading...
PR Besar Pembangunan Perikanan
Yonvitner (Foto: Istimewa)
A A A
Yonvitner
Peneliti Senior Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL)-IPB

MENTERI Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono meminta jajarannya mengkaji formulasi baru atas penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor kelautan dan perikanan. Salah satu alasannya, perolehan PNBP saat ini tidak sebanding dengan potensinya.

Gagasan ini perlu diapresiasi. Karena mekanisme pencatatan pendapatan di awal yang dilakukan menurut Peraturan Menteri (Permen) No 57/2015 tidak mampu menarik investasi lebih baik. Bahkan yang muncul adalah keengganan investor untuk berinvestasi karena berbagai persoalan, yakni data stok, kebijakan, keterukuran dan ketertelusuran, serta pasar yang harus berjuang untuk menciptakan kepastian. Beberapa hal ini yang menjadi pekerjaan rumah (PR) besar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam mencapai tujuan dan target-target pembangunan di Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020–2024 bidang perikanan dan kelautan.

Banyak PR
Beberapa PR yang harus dituntaskan menteri kelautan dan perikanan ke depan adalah soal tata kelola data stok ikan di setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP), sinkronisasi kelembagaan secara vertikal, harmonisasi kebijakan, keterukuran kebutuhan infrastruktur pembangunan perikanan, keterukuran dan ketersediaan bahan baku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta garam, dan kesehatan ekosistem.

Pertama, tata kelola data stok ikan nasional. Potensi stok ikan nasional sebesar 12,5 juta ton yang dihitung pada 2016 harus dievaluasi akibat adanya dinamika stok, baik karena faktor penangkapan maupun karena proses alami seperti kematian dan migrasi. Kemudian informasi stok ikan juga harus mampu memperhitungkan habitat dan ekosistem hidup ikan, di mana adanya potensi daya dukung dari ekosistem mangrove dan terumbu karang yang potensinya hampir sama dengan potensi stok saat ini. Bahkan jika mangrove yang lebih dari 3 juta ha dan terumbu karang lebih dari 25.000 km2 dimanfaatkan akan mampu mendukung lebih dari 16 juta ton ikan.

Kedua, harmonisasi vertikal kelembagaan pengelolaan perikanan. Perubahan tata kelola pelabuhan perikanan karena dampak revisi Undang-Undang (UU) No 27/2007 menjadi UU No 1/2014 telah mendisrupsi peran kabupaten/kota dalam mengelola pelabuhan perikanan. Kondisi diperparah karena sebagian besar provinsi tidak menyiapkan mekanisme tata kelola sebagai akibat alih kewenangan dari kabupaten kota. Disrupsi manajemen melahirkan disrupsi tata kelola data dan ruang pesisir. Tidak hanya data yang tidak terkumpul, perusakan di sekitar area dekat pantai oleh nelayan tidak lagi jadi pengawasan kabupaten/kota. Akibatnya, potensi kerusakan ekosistem makin meningkat.

Dalam upaya harmonisasi kebijakan, salah satu bagian penting yang perlu segera dievaluasi adalah Peraturan Menteri Kelautan Perikanan No 57/2015 menyangkut mekanisme pungutan yang dilakukan terhadap investor. Karena sistem usaha perikanan yang memiliki tingkat ketidakpastian tinggi dan stok yang akan dimanfaatkan bersifat dinamis, maka mekanisme pungutan di daerah pendaratan bisa dioptimalkan dengan proporsi kontribusi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari hasil tangkapan. Mekanisme ini disebut sebagai insentif kebijakan berbasis ketelusuran dan keterlacakan data perikanan.

Ketiga, keterukuran kebutuhan infrastruktur perikanan harus diperhitungkan dengan baik. Sebanyak 13 megaproyek mercusuar berupa sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) dan pembangunan keramba jaring apung (KJA) lepas pantai atau offshore harus dipastikan bisa berjalan dengan baik. Dalam hal SKPT, persoalan yang kemudian melahirkan disfungsi tata kelola adalah mekanisme pengelolaan aset yang dilimpahkan kepada provinsi. Hal lain yang menjadi ganjalan oleh daerah adalah kualitas infrastruktur yang dibangun melahirkan biaya perawatan dan pengelolaan yang membebani anggaran daerah. Sementara itu, yang tidak diukur adalah besaran investasi yang akan ditopang oleh SKPT yang dibangun tersebut.

Keempat, mengenai keterukuran dan ketertelusuran ketersediaan bahan baku industri dan UMKM serta garam penting untuk dipastikan. Soal bahan baku industri dan UMKM penting karena menjadi indikator daya dukung bahan baku untuk industri.

Berdasarkan perhitungan penulis, data stok ikan nasional yang mencapai 12,5 juta ton, jika ditangkap pada tingkat maximum sustainable yield (MSY) dan dialokasikan untuk industri dan bahan secara berkelanjutan selama satu tahun hanya mampu mendukung sekitar 3.120 unit industri dan UMKM. Kapasitas terpasang UMKM rata-rata per hari, yakni 12,2 ton/hari TTC segar; 9,5 ton/hari untuk TTC beku; 24 ton/hari untuk TTC kaleng; 39.58 ton/hari untuk udang; dan 51,15 ton/hari untuk industri lainnya.

Jadi, kalau hanya mengandalkan potensi tangkap, jumlah industri dan UMKM akan mengalami kekurangan bahan baku. Begitu juga dengan industri garam yang harus dipastikan memiliki sistem neraca garam untuk supply dan demand. Kebijakan PP No 9/2018 yang menyiratkan bahwa impor dapat dilakukan tanpa persetujuan menteri teknis adalah sebuah proses yang absurd tidak elok. Penulis melihat bahwa ketiadaan kementrian teknis adalah sebuah eksekusi kebijakan yang janggal dan harus direvisi jika ingin memperbaiki kehidupan penambak garam.

PR berikutnya yang dipastikan dan dioptimalkan keberadaannya adalah fungsi kawasan konservasi. Secara kuantitas tidak terlalu sulit mencapai target luasan kawasan konservasi. Namun yang perlu diperhatikan adalah kemanfaatan kawasan konservasi tersebut sebagai salah satu instrumen ekonomi sektor perikanan dan kelautan. Menjadi penting merancang sebuah struktur ekonomi hijau berbasis konservasi di bidang kelautan dan perikanan.

Solusi
Memperhatikan berbagai persoalan di atas, maka penulis memberikan beberapa solusi untuk memperkuat komitmen dan rencana KKP. Pertama, digitalisasi data perikanan dan refungsionalisasi pelabuhan, kedua penguatan multistakeholder platform dalam wilayah pengelolaan perikanan. Ketiga, merancang investasi yang menarik bagi investor dan mempertimbangkan ketidakpastian dan risiko. Keempat, melakukan harmonisasi kebijakan teknis dalam pembangunan perikanan dan kelautan.

Solusi digitalisasi perikanan menjadi penting saat ini karena sebenarnya kita dapat memanfaatkan instrumen teknologi 4.0 pada pelabuhan perikanan. Jika mekanisme penentuan PNBP dilakukan pada skala pelabuhan, maka keterukuran data produksi di pelabuhan bisa dipersiapkan. Selain itu, pelabuhan dapat menjalankan fungsi pendataan, pelelangan, dan pencatatan pendapatan. Pelabuhan menjadi ujung tombak dari upaya pendataan perikanan yang lebih presisi berbasis digital.

Solusi kedua mengenai penguatan multiplatform stakeholder diperlukan untuk memastikan bahwa mekanisme pengelolaan perikanan berbasis WPP dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak baik vertikal maupun horizontal. Kabupaten/kota, provinsi, investor, perguruan tinggi, CSO, dan lembaga penelitian dapat sama-sama dilibatkan dalam platform multistakeholder ini.

Solusi ketiga adalah memastikan bahwa informasi ketidakpastian (uncertainty), bahaya, dan risiko yang menjadi beban investor dapat diberikan elastisitas berbasis risiko.

Solusi terakhir sekaligus sangat penting dan menentukan langkah sektor perikanan dan kelautan ke depan adalah soal harmonisasi kebijakan. Disruspi kebijakan dan operasional seperti kebijakan tentang lobster, sistem pendataan yang tidak kunjung selesai, koordinasi vertikal dan horizontal harus dijadikan prioritas KKP untuk maju. Waktu 20 tahun terlalu lama untuk tidur bagi sektor kelautan dan perikanan dalam menggapai kejayaannya.

Semoga PR ini menjadi catatan awal tahun kerja KKP dalam mencapai target PNBP Rp12 triliun dari perikanan tangkap.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1177 seconds (0.1#10.140)