67 Tahun GMNI: Nasionalisme Kita dan Lanscape Tata Dunia Baru

Senin, 29 Maret 2021 - 10:37 WIB
Krisis ekonomi dan keuangan global pada tahun 2008 telah mengakibatkan krisis politik dimana demokrasi liberal telah kehilangan legitimasi dan dianggap gagal dalam mewakili kepentingan warga negara. Tindakan proteksionis yang berlebihan, kebangkitan supremasi kulit putih dan menguatnya kekuatan politik primordial salah satu reaksi atas perkembangan pasar bebas yang semakin menghasilkan ketidakadilan.

Fenomena lain, yang dapat diamati dibanyak negara di seluruh dunia, adalah mengambinghitamkan mereka, yang dituduh bukanmerupakan bagian dari identitas kelompok. Di Eropa maupun di Amerika Serikat kelompokpopulis sayap kanan menyalahkan “kelompok migran” karena telah menyebabkan pengabaiansosial “warga negara asli”.

Di beberapa negara di Asia, baik kelompok Kristen, Islam, atau etnisTiongkok dijadikan kambing hitam karena berbagai alasan yang berbeda. Populisme telah menawarkan pengakuan, identitas moral, dan identitas kelompok kepada mereka yang merasa terabaikan. Mereka juga cenderunglebih jauh mengembangkan kebencian melalui hoaks/berita palsu melalui “media sosial”.

Kemunculan kembali xenofobia yang mengkhawatirkan sebagai ideologi dan gerakan sosial adalah manifestasi lain dari bagaimana budaya dan identitas memengaruhi politik kontemporer negara dan agama. Mereka mengambil budaya dan identitas sebagai alat untuk memanipulasi politik internasional, untuk memprovokasi dan memperbesar konflik.

Di tataran global, populisme sayap kanan dan politik identitas menemukan ekspresi mereka dalamseruan untuk menentang segala bentuk multilateralisme. Erosi norma dan institusi abad ke-20 terjadi terus menerus, ketidakpercayaan terhadap institusi-institusi global yang mapan yang dibangun pasca PD II semakin meluas.

Semua ini berakar dari pegeseran kekuatan ekonomi-politik yang kemudian mengguncang infrastruktur politik neoliberal. Dan femonena populisme akhir-akhir ini seperti Donald Trump adalah hanya sebuah reaksi atas pergeseran tata dunia baru yang diakibatkan dari pergeseran formasi ekonomi-politik global.

Dalam bahasa Bung Karno, situasi tersebut hanya sebagai bentuk epifenomena dari sepak terjangnya kapitalisme yang menurun. Jika kita melihat dari perspektif Bung Karno, kebijakan Trump seperti proteksionisme ekonomi dalam bentuk penerapan tarif secara unilateral yang memicu perang dagang yang sejatinya sangat kontras dengan identitas Amerika Serikat sebagai pelopor sistem perdagangan multilateral merupakan upaya kapitalisme melakukan mekanisme pertahanan dari gelombang malaise (krisis 2008) yang menghasilkan merosotnya daya beli masyarakat, kemiskinan dan pengangguran.

Artinya, bisa dikatakan gaya xenofobia dan politik identitas adalah ekspresi dari krisis struktural yang mendalam dari kapitalisme lanjut, dan muncul dari kecenderungan kapitalisme monopoli (seperti yang dibahas oleh Hilferding) untuk “mengorganisir” seluruh kehidupan sosial dengan cara yang totalitarian.

Franz Neumann, seorang teoritisi Mazhab Frankfurt, menyebut politik xenofobic sebagai sebuah konsekuensi dalam sebuah sistem yang monopolistik, dimana laba tidak dapat dihasilkan dan dipertahankan tanpa kekuatan politik yang totalitarian. Artinya, proses sentralisasi dan konsentrasi kapital yang mengarah pada monopoli bersamaan dengan krisis ekonomi telah memberi ruang bagi prakondisi bangkitnya politik xenofobic.

Semua ini melahirkan sebuah model nasionalisme tribal dimana rasa kesatuan primordial menjadi instrumen ekspansionisme imperial suatu bangsa. Bung Karno menyebutnya dengan istilah nasionalisme Eropa, yakni suatu nasionalisme yang bersifat menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi,
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More