Kasus Aktivis KAMI Syahganda Nainggolan yang Tak Banyak Diketahui Publik
Minggu, 28 Maret 2021 - 03:27 WIB
Dia mengatakan, dalam bahasa dikenal dengan sinonim dan penyimpulan. Terdakwa, kata dia, bertahan bahwa Gatot memang mengutuk RUU Omnibus Law Ciptaker itu.
"Tweets lainnya adalah tentang pernyataan Syahganda mengucapkan selamat kepada buruh yang berdemo. Dalam tweets itu dia mengaitkan hastag. #OmnibusLawSampah. Jaksa mengatakan bahwa perkataan terdakwa Omnibus Law Sampah sebagai unsur pidana," tuturnya.
Namun lanjut dia, terdakwa mengatakan bahwa hastag itu sudah ada dan tersedia di Twitter sejak bulan Februari 2020, bukan perkataan dia, itu adalah tagar. "Sedangkan Omnibus Law sendiri bukanlah Undang-undang. Omnibus Law adalah metoda pembuatan Undang-undang ala Amerika dan Anglo-Saxon, yang baru diadopsi Indonesia.
Menurut dia, Hashtag itu dalam bahasa Tweetland adalah tempat orang sharing dalam kesamaan isu. "Menurutnya peradilan harus memahami dunia media sosial berbeda dengan broadcasting (pemberitaan) seperti pamplet, koran, radio dan televisi. UU Pidana 1946 dibuat jaman kuno, belum ada Twitter. Jika screenshot postingan dianggap sebagai pemberitaan, maka esensi dunia digital yang penuh interaksi akan kehilangan makna," tuturnya.
Dia meminta Tim revisi UU ITE yang diketuai Mahfud MD harus berhasil memahami Social Network Site (Medsos) dalam rangka merevisi UU ITE yang sedang berlangsung saat ini. "Sedangkan tweets memberi selamat kepada buruh yang mogok dan demo adalah konstitusional. Sebab, mogok kerja dan demo itu sendiri adalah konstitusional," imbuhnya.
Pada saat saksi fakta dihadirkan, sambung dia, terungkap pula bahwa tidak ada kaitan mereka demo dengan tweets terdakwa. Saksi fakta yang dihadirkan Jaksa adalah peserta demo, seorang pemuda, yang kini ditahan di Polda Metro Jaya.
"Awalnya saksi ini mengatakan dia terinspirasi demo karena melihat media sosial dengan tagar OmnibusLawSampah. Namun, ketika dikejar penasihat hukum terdakwa, di mana dia melihatnya? Jawabnya di Instagram. Bukan Twitter? Bukan, katanya, sebab dia tidak punya Twitter. Terdakwa melihat itu menyampaikan pada hakim agar tidak menggubris keterangan saksi ini, sebab tidak ada hubungan sama sekali Instagram dengan Twitter," katanya.
Dia mengatakan, Dua saksi meringankan yang dihadirkan penasihat hukum adalah dua orang ketua serikat buruh dan seorang pimpinan Konsorsium Pembaharuan Agraria. "Ketiganya mengatakan bahwa mereka sudah mengorganisasikan demonstrasi menolak RUU Omnibus Law Ciptaker sejak awal tahun 2020. Mereka juga tidak ada keterkaitan dengan Tweeter terdakwa. Bahkan mereka tidak melihat Twitter terdakwa," ungkapnya.
Alhasil, kata Andrianto, semua saksi fakta alias saksi yang mereka ikut langsung berdemonstrasi, menunjukkan tidak ada hubungan sebab akibat antara Twitter terdakwa dengan aksi mereka selama ini.
"Demikianlah persoalan hukum yang dihadapi terdakwa Dr Syahganda Nainggolan untuk diketahui publik. Dia sendiri adalah pendiri organisasi Pro Demokrasi, sebuah organ perjuangan demokrasi di Indonesia, yang diinisiasi aktifitis anti Soeharto. Syahganda sendiri mengalami kekerasan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan rezim Soeharto, di mana dia di penjara dan dipecat dari Institut Teknologi Bandung," pungkasnya.
"Tweets lainnya adalah tentang pernyataan Syahganda mengucapkan selamat kepada buruh yang berdemo. Dalam tweets itu dia mengaitkan hastag. #OmnibusLawSampah. Jaksa mengatakan bahwa perkataan terdakwa Omnibus Law Sampah sebagai unsur pidana," tuturnya.
Namun lanjut dia, terdakwa mengatakan bahwa hastag itu sudah ada dan tersedia di Twitter sejak bulan Februari 2020, bukan perkataan dia, itu adalah tagar. "Sedangkan Omnibus Law sendiri bukanlah Undang-undang. Omnibus Law adalah metoda pembuatan Undang-undang ala Amerika dan Anglo-Saxon, yang baru diadopsi Indonesia.
Menurut dia, Hashtag itu dalam bahasa Tweetland adalah tempat orang sharing dalam kesamaan isu. "Menurutnya peradilan harus memahami dunia media sosial berbeda dengan broadcasting (pemberitaan) seperti pamplet, koran, radio dan televisi. UU Pidana 1946 dibuat jaman kuno, belum ada Twitter. Jika screenshot postingan dianggap sebagai pemberitaan, maka esensi dunia digital yang penuh interaksi akan kehilangan makna," tuturnya.
Dia meminta Tim revisi UU ITE yang diketuai Mahfud MD harus berhasil memahami Social Network Site (Medsos) dalam rangka merevisi UU ITE yang sedang berlangsung saat ini. "Sedangkan tweets memberi selamat kepada buruh yang mogok dan demo adalah konstitusional. Sebab, mogok kerja dan demo itu sendiri adalah konstitusional," imbuhnya.
Pada saat saksi fakta dihadirkan, sambung dia, terungkap pula bahwa tidak ada kaitan mereka demo dengan tweets terdakwa. Saksi fakta yang dihadirkan Jaksa adalah peserta demo, seorang pemuda, yang kini ditahan di Polda Metro Jaya.
"Awalnya saksi ini mengatakan dia terinspirasi demo karena melihat media sosial dengan tagar OmnibusLawSampah. Namun, ketika dikejar penasihat hukum terdakwa, di mana dia melihatnya? Jawabnya di Instagram. Bukan Twitter? Bukan, katanya, sebab dia tidak punya Twitter. Terdakwa melihat itu menyampaikan pada hakim agar tidak menggubris keterangan saksi ini, sebab tidak ada hubungan sama sekali Instagram dengan Twitter," katanya.
Dia mengatakan, Dua saksi meringankan yang dihadirkan penasihat hukum adalah dua orang ketua serikat buruh dan seorang pimpinan Konsorsium Pembaharuan Agraria. "Ketiganya mengatakan bahwa mereka sudah mengorganisasikan demonstrasi menolak RUU Omnibus Law Ciptaker sejak awal tahun 2020. Mereka juga tidak ada keterkaitan dengan Tweeter terdakwa. Bahkan mereka tidak melihat Twitter terdakwa," ungkapnya.
Alhasil, kata Andrianto, semua saksi fakta alias saksi yang mereka ikut langsung berdemonstrasi, menunjukkan tidak ada hubungan sebab akibat antara Twitter terdakwa dengan aksi mereka selama ini.
"Demikianlah persoalan hukum yang dihadapi terdakwa Dr Syahganda Nainggolan untuk diketahui publik. Dia sendiri adalah pendiri organisasi Pro Demokrasi, sebuah organ perjuangan demokrasi di Indonesia, yang diinisiasi aktifitis anti Soeharto. Syahganda sendiri mengalami kekerasan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan rezim Soeharto, di mana dia di penjara dan dipecat dari Institut Teknologi Bandung," pungkasnya.
tulis komentar anda