Kepemimpinan Apimorvi: Manifesto HMI Reborn
Sabtu, 06 Maret 2021 - 17:00 WIB
Kepemimpinan HMI Reborn
Dalam evolusi sejarah peradaban manusia, perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Inilah karakter utama evolusi. Selalu ada implikasinya. Dewasa ini masyarakat global masuk dalam sebuah era yang dikenal dengan era disrupsi teknologi atau akrab disebut sebagai Industri 4.0. Keniscayaan akan perubahan menuntut setiap insan untuk dapat menyesuaikan diri jika tidak ingin terpental dari lingkungan yang semakin terdigitalisasi. Penyesuaian diri ini yang teramat sulit dielakkan HMI. Namun sekali lagi: menyesuaikan diri tanpa haru menegasi prinsip.
Karena perubahan merupakan keniscayaan, maka era disrupsi sejatinya perlu dibesar-besarkan. Bagaimana pun juga perubahan telah menjadi ciri khas di setiap evolusi sejarah. Rojko (2017) dan Xu (2018), semisal, mencatat lahirnya perubahan di setiap era. Menurutnya revolusi industri 1.0 melahirkan transisi dari kerja manual ke proses manufaktur dengan memanfaatkan mesin uap. Industri 2.0 dikenal sebagai zaman listrik dan industrial. Industri 3.0 merupakan sebuah era informasi, digitalisasi, dan otomatisasi elektronik. Industri 4.0 adalah zaman cyber physical systems atau otomatisasi cerdas.
Dengan demikian yang mesti dilakukan HMI adalah bagaimana mempersiapkan diri melalui revitalisasi sistem perkaderan yang sesuai dengan semangat zaman. Figur pemimpin memiliki peranan signifikan untuk itu. Tapi kepemimpinan semacam apa yang diperlukan HMI sekarang ini? Menurut hemat saya, HMI memerlukan pemimpin yang mudah beradaptasi cepat dengan perkembangan dan mampu membaca arah perubahan ke depan yang bertumpu pada prinsip organisasi! Itulah kepemimpinan Apimorvi.
Pertama, kepemimpinan di era disrupsi haruslah memiliki jiwa aktivisme, alih-alih teknokratis dan birokratis. Perkembangan sosial politik dan ekonomi yang berlangsung cepat dan dinamis mengharuskan seorang pemimpin untuk selalu aktif dalam menjawab situasi dan kondisi yang ada. Pemimpin yang aktif adalah mereka yang layak dijadikan sebagai teladan oleh setiap insan HMI. Kendati begitu, apakah dengan bermodal aktivisme saja sudah cukup? Tentu saja tidak!
Kedua, selain jiwa aktivisme, pemimpin harus memiliki kapasitas dalam penguasaan data dan informasi. Data-informasi merupakan dua variabel kunci yang mendeterminasi keberhasilan organisasi. Melalui penguasaan data-informasi, pemimpin akan dipermudah dalam mengambil keputusan-keputusan strategis berkenaan dengan masa depan organisasi. Pada titik ini terdapat pula variabel inovasi yang mesti tampak dalam diri pemimpin.
Ketiga, penguasaan data dan informasi menjadi tak berguna manakala tidak diimbangi dengan kemampuan seorang pemimpin dalam berinovasi. Ada banyak kasus dimana grup-grup bisnis jatuh bangun di tiap tikungan lantaran cenderung gagap berinovasi. Mustahil ada keberlanjutan atau kesinambungan jika seorang pemimpin gagal membuat inovasi dalam organisasi yang dipimpin. Tanpa inovasi HMI hanya dihadapkan pada dua pilihan: stagnasi atau dekadensi!
Keempat, pemimpin juga harus melek digital. Melek tidak bisa direduksi sebatas kemampuan memahami komputer semata. Apalagi fenomena digitalisasi dunia kehidupan telah menjadi kenormalan sekarang ini. Pemimpin di tuntut untuk selalu bisa memanfaatkan dan memahami setiap perkembangan teknologi digital. Melek digital merupakan satu langkah membuat HMI menjadi lebih kontekstual dengan perkembangan zaman yang teramat dinamis. Tentu ini harus ditopang oleh karakter open-mindedness.
Kelima, open-mindedness menegaskan bila pemimpin harus inklusif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi digital. Inklusifitas merupakan ciri dari seorang pembelajar. Hasrat untuk terus memahami, menggerakkan “pengikutnya”, mencari tahu segala sesuatu adalah cirinya. Ini senafas dengan prinsip responsivitas yang cenderung menitikberatkan pada dimensi praksis dari seorang pemimpin.
tulis komentar anda