MK dan Mantan Terpidana
Senin, 01 Maret 2021 - 06:15 WIB
Dengan demikian, pemenuhan persyaratan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara, harus dihitung dimulai sejak si calon berstatus bebas penuh. Artinya, untuk bisa disebut sebagai mantan terpidana, sudah menjalani keseluruhan hukuman termasuk pula sudah selesai menjalani pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, atau cuti menjelang bebas.
Akan tetapi, praktiknya substansi putusan MK dan PKPU tersebut mengalami distorsi oleh beberapa putusan sengketa pencalonan Bawaslu daerah. Tercatat Bawaslu Bengkulu, Lampung Selatan, Dompu, dan Boven Digoel, melalui putusan yang dibuatnya menyatakan bahwa penghitungan masa jeda bagi calon yang berstatus mantan terpidana adalah dimulai sejak si calon keluar dari penjara atau sudah tidak berada di dalam penjara. Termasuk dalam hal ini keluar dari penjara karena mendapat pembebasan bersyarat. Bawaslu mengesampingkan ketentuan dalam PKPU karena berdalih langsung merujuk pada putusan MK. Padahal, rujukan Bawaslu itu dilakukan parsial, dengan memotong dan membatasi frasa “selesai menjalani pidana penjara” dan mengabaikan adanya frasa “mantan terpidana” sebagai satu kesatuan persyaratan dalam putusan MK.
Alih-alih menangkap maksud putusan MK dengan utuh, yang terjadi justru penyempitan makna. Bawaslu menerjemahkan “selesai menjalani pidana penjara” sebagai “keluar dari penjara”. Padahal keluar dari penjara tidak otomatis membuat seseorang bebas penuh dan menjadi berstatus mantan terpidana, terutama apabila masih menjalani pembebasan bersyarat. Status mantan terpidana baru bisa diperoleh ketika sudah menyelesaikan masa pembebasan bersyarat tersebut.
Dampak dari putusan Bawaslu yang meloloskan pencalonan mantan terpidana dengan penghitungan jangka waktu yang keluar dari putusan MK dan ketentuan PKPU tentang Pencalonan, membuat pemilihan diikuti oleh peserta yang dipertanyakan legitimasi dan konstitusionalitasnya. Selain mencederai keadilan elektoral, hal itu juga bisa berdampak pada kerugian negara. Akibat implikasi teknis dan anggaran yang harus ditanggung karena menyertakan calon yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan.
Kesatuan Fungsi
Tindakan Bawaslu yang menegasikan PKPU dalam memutus sengketa merupakan preseden buruk. Karena memperlihatkan perlawanan terhadap asas kepastian hukum dan aturan main pemilihan. Di mana sudah jelas ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan persiapan dan penyelenggaraan pemilihan menurut UU Pemilihan diatur dengan PKPU. Selain bahwa berdasar Putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010, KPU, Bawaslu, dan DKPP merupakan satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan pemilu. Maka, sudah seharusnya Bawaslu dalam membuat putusan sengketa memedomani PKPU sebagai rujukan pengaturan teknis pemilihan.
Kalau Bawaslu tidak menyetujui isi PKPU telah tersedia mekanisme dalam undang-undang. Bawaslu bisa menempuh upaya hukum uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung. Bukan malah menggunakan forum penyelesaian sengketa pemilihan untuk melakukan pengujian atas isi PKPU. Terutama mengingat Bawaslu bukan hakim atau pengadilan yang bisa berdalih melakukan penemuan hukum berdasarkan asas kemandirian kekuasaan kehakiman. Lagipula, tidak ada penemuan hukum yang perlu dilakukan karena tidak ada kekosongan hukum apa pun dalam hal ini.
Karena itu, dalam proses PHP yang ditangani MK saat ini, amat strategis dan penting bagi MK untuk menegaskan soal jangka waktu pencalonan bagi mantan terpidana sebagaimana pernah diputuskan MK. Apalagi, ternyata ada mantan terpidana yang sebelumnya diloloskan oleh Bawaslu menjadi peserta pemilihan, saat ini juga mengajukan permohonan perselisihan hasil ke MK.
Melalui putusannya, MK perlu meluruskan dan memastikan bahwa hanya mereka yang berhak dan memenuhi syarat untuk dipilih saja yang bisa menjadi peserta pemilihan. Sebab, bila hal itu sampai disimpangi, berarti kita telah dengan sengaja membiarkan terjadinya pelanggaran atas integritas pemilihan dan tercederainya keadilan elektoral. Selain itu, putusan MK juga menjadi modalitas pembenahan elektoral kita. Agar ke depan tidak lagi terjadi berebut kewenangan di antara penyelenggara pemilu dengan dalih paling punya otoritas dalam membuat tafsir aturan.Titi Anggraini
Pegiat Pemilu, Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum UI
Akan tetapi, praktiknya substansi putusan MK dan PKPU tersebut mengalami distorsi oleh beberapa putusan sengketa pencalonan Bawaslu daerah. Tercatat Bawaslu Bengkulu, Lampung Selatan, Dompu, dan Boven Digoel, melalui putusan yang dibuatnya menyatakan bahwa penghitungan masa jeda bagi calon yang berstatus mantan terpidana adalah dimulai sejak si calon keluar dari penjara atau sudah tidak berada di dalam penjara. Termasuk dalam hal ini keluar dari penjara karena mendapat pembebasan bersyarat. Bawaslu mengesampingkan ketentuan dalam PKPU karena berdalih langsung merujuk pada putusan MK. Padahal, rujukan Bawaslu itu dilakukan parsial, dengan memotong dan membatasi frasa “selesai menjalani pidana penjara” dan mengabaikan adanya frasa “mantan terpidana” sebagai satu kesatuan persyaratan dalam putusan MK.
Alih-alih menangkap maksud putusan MK dengan utuh, yang terjadi justru penyempitan makna. Bawaslu menerjemahkan “selesai menjalani pidana penjara” sebagai “keluar dari penjara”. Padahal keluar dari penjara tidak otomatis membuat seseorang bebas penuh dan menjadi berstatus mantan terpidana, terutama apabila masih menjalani pembebasan bersyarat. Status mantan terpidana baru bisa diperoleh ketika sudah menyelesaikan masa pembebasan bersyarat tersebut.
Dampak dari putusan Bawaslu yang meloloskan pencalonan mantan terpidana dengan penghitungan jangka waktu yang keluar dari putusan MK dan ketentuan PKPU tentang Pencalonan, membuat pemilihan diikuti oleh peserta yang dipertanyakan legitimasi dan konstitusionalitasnya. Selain mencederai keadilan elektoral, hal itu juga bisa berdampak pada kerugian negara. Akibat implikasi teknis dan anggaran yang harus ditanggung karena menyertakan calon yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan.
Kesatuan Fungsi
Tindakan Bawaslu yang menegasikan PKPU dalam memutus sengketa merupakan preseden buruk. Karena memperlihatkan perlawanan terhadap asas kepastian hukum dan aturan main pemilihan. Di mana sudah jelas ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan persiapan dan penyelenggaraan pemilihan menurut UU Pemilihan diatur dengan PKPU. Selain bahwa berdasar Putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010, KPU, Bawaslu, dan DKPP merupakan satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan pemilu. Maka, sudah seharusnya Bawaslu dalam membuat putusan sengketa memedomani PKPU sebagai rujukan pengaturan teknis pemilihan.
Kalau Bawaslu tidak menyetujui isi PKPU telah tersedia mekanisme dalam undang-undang. Bawaslu bisa menempuh upaya hukum uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung. Bukan malah menggunakan forum penyelesaian sengketa pemilihan untuk melakukan pengujian atas isi PKPU. Terutama mengingat Bawaslu bukan hakim atau pengadilan yang bisa berdalih melakukan penemuan hukum berdasarkan asas kemandirian kekuasaan kehakiman. Lagipula, tidak ada penemuan hukum yang perlu dilakukan karena tidak ada kekosongan hukum apa pun dalam hal ini.
Karena itu, dalam proses PHP yang ditangani MK saat ini, amat strategis dan penting bagi MK untuk menegaskan soal jangka waktu pencalonan bagi mantan terpidana sebagaimana pernah diputuskan MK. Apalagi, ternyata ada mantan terpidana yang sebelumnya diloloskan oleh Bawaslu menjadi peserta pemilihan, saat ini juga mengajukan permohonan perselisihan hasil ke MK.
Melalui putusannya, MK perlu meluruskan dan memastikan bahwa hanya mereka yang berhak dan memenuhi syarat untuk dipilih saja yang bisa menjadi peserta pemilihan. Sebab, bila hal itu sampai disimpangi, berarti kita telah dengan sengaja membiarkan terjadinya pelanggaran atas integritas pemilihan dan tercederainya keadilan elektoral. Selain itu, putusan MK juga menjadi modalitas pembenahan elektoral kita. Agar ke depan tidak lagi terjadi berebut kewenangan di antara penyelenggara pemilu dengan dalih paling punya otoritas dalam membuat tafsir aturan.Titi Anggraini
Pegiat Pemilu, Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum UI
Lihat Juga :
tulis komentar anda