MK dan Mantan Terpidana

Senin, 01 Maret 2021 - 06:15 WIB
MK dan Mantan Terpidana
Titi Anggraini

Pegiat Pemilu, Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum UI

Pemilihan langsung merupakan aktivitas politik yang kompleks. Proses ini tidak hanya bergantung pada prosedur pemilihan, tetapi juga sekumpulan hak asasi manusia dan politik, aktivitas masyarakat sipil, berfungsinya partai politik, serta penyelenggaraan supremasi hukum dan keadilan (ACE Project, 2020). Dalam rangka memastikan semua tindakan yang diambil dalam proses pemilihan selalu sesuai dengan kerangka hukum demi menjamin dan menegakkan hak pilih dan hak untuk dipilih, maka diciptakanlah suatu sistem yang mengatur keadilan elektoral (International IDEA, 2010).

Melalui sistem keadilan elektoral, pihak-pihak yang meyakini bahwa hak pilih dan hak untuk dipilih mereka telah dilanggar dimungkinkan untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan menerima putusan. Undang-undang sudah pula menyediakan skema penyelesaian masalah-masalah hukum pemilihan sebagai upaya mewujudkan keadilan elektoral dimaksud. Ada enam masalah hukum yang bisa terjadi saat pilkada. Meliputi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi, penyelesaian sengketa, tindak pidana pemilihan, sengketa tata usaha negara, dan puncaknya berupa perselisihan hasil pemilihan (PHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Berdasarkan data yang dirilis situs MK, tercatat ada 134 perkara perselisihan hasil yang diterima MK. Mencakup 7 PHP gubernur, 114 bupati, dan 13 wali kota. Dari 134 perkara tersebut, 32 di antaranya berlanjut ke tahap pembuktian dengan menyisakan 2 PHP gubernur, 28 bupati, 2 wali kota.



Sehubungan dengan proses PHP tersebut dan dikaitkan dengan soliditas keadilan elektoral, maka terdapat masalah krusial yang perlu memperoleh penyelesaian dari MK. Khususnya menyangkut pencalonan mantan terpidana yang dilakukan berdasarkan penghitungan masa jeda yang tidak sesuai dengan putusan MK maupun ketentuan dalam Peraturan KPU (PKPU) mengenai pencalonan.

Mantan Terpidana

Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah yang berstatus mantan terpidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, harus memenuhi persyaratan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, yang bersangkutan juga harus secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang dirinya sebagai mantan terpidana, serta bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Putusan MK ini merupakan buah dari pengujian undang-undang pemilihan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Perludem, sebagai upaya mengakhiri perdebatan terkait konstitusionalitas pencalonan mantan terpidana. Upaya hukum itu juga bertujuan untuk menghindari pencalonan figur bermasalah guna mengeliminir peluang terpilihnya pemimpin korup melalui pilkada. Putusan MK itu secara teknis diatur lebih lanjut dalam PKPU 1/2020 tentang Pencalonan. Disebutkan bahwa mantan terpidana adalah orang yang sudah selesai menjalani pidana dan tidak ada hubungan secara teknis (pidana) dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pengertian mantan terpidana tersebut sejatinya merupakan duplikasi dari pengaturan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More