MK dan Mantan Terpidana
loading...
A
A
A
Titi Anggraini
Pegiat Pemilu, Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum UI
Pemilihan langsung merupakan aktivitas politik yang kompleks. Proses ini tidak hanya bergantung pada prosedur pemilihan, tetapi juga sekumpulan hak asasi manusia dan politik, aktivitas masyarakat sipil, berfungsinya partai politik, serta penyelenggaraan supremasi hukum dan keadilan (ACE Project, 2020). Dalam rangka memastikan semua tindakan yang diambil dalam proses pemilihan selalu sesuai dengan kerangka hukum demi menjamin dan menegakkan hak pilih dan hak untuk dipilih, maka diciptakanlah suatu sistem yang mengatur keadilan elektoral (International IDEA, 2010).
Melalui sistem keadilan elektoral, pihak-pihak yang meyakini bahwa hak pilih dan hak untuk dipilih mereka telah dilanggar dimungkinkan untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan menerima putusan. Undang-undang sudah pula menyediakan skema penyelesaian masalah-masalah hukum pemilihan sebagai upaya mewujudkan keadilan elektoral dimaksud. Ada enam masalah hukum yang bisa terjadi saat pilkada. Meliputi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi, penyelesaian sengketa, tindak pidana pemilihan, sengketa tata usaha negara, dan puncaknya berupa perselisihan hasil pemilihan (PHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan data yang dirilis situs MK, tercatat ada 134 perkara perselisihan hasil yang diterima MK. Mencakup 7 PHP gubernur, 114 bupati, dan 13 wali kota. Dari 134 perkara tersebut, 32 di antaranya berlanjut ke tahap pembuktian dengan menyisakan 2 PHP gubernur, 28 bupati, 2 wali kota.
Sehubungan dengan proses PHP tersebut dan dikaitkan dengan soliditas keadilan elektoral, maka terdapat masalah krusial yang perlu memperoleh penyelesaian dari MK. Khususnya menyangkut pencalonan mantan terpidana yang dilakukan berdasarkan penghitungan masa jeda yang tidak sesuai dengan putusan MK maupun ketentuan dalam Peraturan KPU (PKPU) mengenai pencalonan.
Mantan Terpidana
Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah yang berstatus mantan terpidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, harus memenuhi persyaratan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, yang bersangkutan juga harus secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang dirinya sebagai mantan terpidana, serta bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Putusan MK ini merupakan buah dari pengujian undang-undang pemilihan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Perludem, sebagai upaya mengakhiri perdebatan terkait konstitusionalitas pencalonan mantan terpidana. Upaya hukum itu juga bertujuan untuk menghindari pencalonan figur bermasalah guna mengeliminir peluang terpilihnya pemimpin korup melalui pilkada. Putusan MK itu secara teknis diatur lebih lanjut dalam PKPU 1/2020 tentang Pencalonan. Disebutkan bahwa mantan terpidana adalah orang yang sudah selesai menjalani pidana dan tidak ada hubungan secara teknis (pidana) dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pengertian mantan terpidana tersebut sejatinya merupakan duplikasi dari pengaturan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dengan demikian, pemenuhan persyaratan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara, harus dihitung dimulai sejak si calon berstatus bebas penuh. Artinya, untuk bisa disebut sebagai mantan terpidana, sudah menjalani keseluruhan hukuman termasuk pula sudah selesai menjalani pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, atau cuti menjelang bebas.
Akan tetapi, praktiknya substansi putusan MK dan PKPU tersebut mengalami distorsi oleh beberapa putusan sengketa pencalonan Bawaslu daerah. Tercatat Bawaslu Bengkulu, Lampung Selatan, Dompu, dan Boven Digoel, melalui putusan yang dibuatnya menyatakan bahwa penghitungan masa jeda bagi calon yang berstatus mantan terpidana adalah dimulai sejak si calon keluar dari penjara atau sudah tidak berada di dalam penjara. Termasuk dalam hal ini keluar dari penjara karena mendapat pembebasan bersyarat. Bawaslu mengesampingkan ketentuan dalam PKPU karena berdalih langsung merujuk pada putusan MK. Padahal, rujukan Bawaslu itu dilakukan parsial, dengan memotong dan membatasi frasa “selesai menjalani pidana penjara” dan mengabaikan adanya frasa “mantan terpidana” sebagai satu kesatuan persyaratan dalam putusan MK.
Alih-alih menangkap maksud putusan MK dengan utuh, yang terjadi justru penyempitan makna. Bawaslu menerjemahkan “selesai menjalani pidana penjara” sebagai “keluar dari penjara”. Padahal keluar dari penjara tidak otomatis membuat seseorang bebas penuh dan menjadi berstatus mantan terpidana, terutama apabila masih menjalani pembebasan bersyarat. Status mantan terpidana baru bisa diperoleh ketika sudah menyelesaikan masa pembebasan bersyarat tersebut.
Dampak dari putusan Bawaslu yang meloloskan pencalonan mantan terpidana dengan penghitungan jangka waktu yang keluar dari putusan MK dan ketentuan PKPU tentang Pencalonan, membuat pemilihan diikuti oleh peserta yang dipertanyakan legitimasi dan konstitusionalitasnya. Selain mencederai keadilan elektoral, hal itu juga bisa berdampak pada kerugian negara. Akibat implikasi teknis dan anggaran yang harus ditanggung karena menyertakan calon yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan.
Kesatuan Fungsi
Tindakan Bawaslu yang menegasikan PKPU dalam memutus sengketa merupakan preseden buruk. Karena memperlihatkan perlawanan terhadap asas kepastian hukum dan aturan main pemilihan. Di mana sudah jelas ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan persiapan dan penyelenggaraan pemilihan menurut UU Pemilihan diatur dengan PKPU. Selain bahwa berdasar Putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010, KPU, Bawaslu, dan DKPP merupakan satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan pemilu. Maka, sudah seharusnya Bawaslu dalam membuat putusan sengketa memedomani PKPU sebagai rujukan pengaturan teknis pemilihan.
Kalau Bawaslu tidak menyetujui isi PKPU telah tersedia mekanisme dalam undang-undang. Bawaslu bisa menempuh upaya hukum uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung. Bukan malah menggunakan forum penyelesaian sengketa pemilihan untuk melakukan pengujian atas isi PKPU. Terutama mengingat Bawaslu bukan hakim atau pengadilan yang bisa berdalih melakukan penemuan hukum berdasarkan asas kemandirian kekuasaan kehakiman. Lagipula, tidak ada penemuan hukum yang perlu dilakukan karena tidak ada kekosongan hukum apa pun dalam hal ini.
Karena itu, dalam proses PHP yang ditangani MK saat ini, amat strategis dan penting bagi MK untuk menegaskan soal jangka waktu pencalonan bagi mantan terpidana sebagaimana pernah diputuskan MK. Apalagi, ternyata ada mantan terpidana yang sebelumnya diloloskan oleh Bawaslu menjadi peserta pemilihan, saat ini juga mengajukan permohonan perselisihan hasil ke MK.
Melalui putusannya, MK perlu meluruskan dan memastikan bahwa hanya mereka yang berhak dan memenuhi syarat untuk dipilih saja yang bisa menjadi peserta pemilihan. Sebab, bila hal itu sampai disimpangi, berarti kita telah dengan sengaja membiarkan terjadinya pelanggaran atas integritas pemilihan dan tercederainya keadilan elektoral. Selain itu, putusan MK juga menjadi modalitas pembenahan elektoral kita. Agar ke depan tidak lagi terjadi berebut kewenangan di antara penyelenggara pemilu dengan dalih paling punya otoritas dalam membuat tafsir aturan.Titi Anggraini
Pegiat Pemilu, Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum UI
Pemilihan langsung merupakan aktivitas politik yang kompleks. Proses ini tidak hanya bergantung pada prosedur pemilihan, tetapi juga sekumpulan hak asasi manusia dan politik, aktivitas masyarakat sipil, berfungsinya partai politik, serta penyelenggaraan supremasi hukum dan keadilan (ACE Project, 2020). Dalam rangka memastikan semua tindakan yang diambil dalam proses pemilihan selalu sesuai dengan kerangka hukum demi menjamin dan menegakkan hak pilih dan hak untuk dipilih, maka diciptakanlah suatu sistem yang mengatur keadilan elektoral (International IDEA, 2010).
Melalui sistem keadilan elektoral, pihak-pihak yang meyakini bahwa hak pilih dan hak untuk dipilih mereka telah dilanggar dimungkinkan untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan menerima putusan. Undang-undang sudah pula menyediakan skema penyelesaian masalah-masalah hukum pemilihan sebagai upaya mewujudkan keadilan elektoral dimaksud. Ada enam masalah hukum yang bisa terjadi saat pilkada. Meliputi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi, penyelesaian sengketa, tindak pidana pemilihan, sengketa tata usaha negara, dan puncaknya berupa perselisihan hasil pemilihan (PHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan data yang dirilis situs MK, tercatat ada 134 perkara perselisihan hasil yang diterima MK. Mencakup 7 PHP gubernur, 114 bupati, dan 13 wali kota. Dari 134 perkara tersebut, 32 di antaranya berlanjut ke tahap pembuktian dengan menyisakan 2 PHP gubernur, 28 bupati, 2 wali kota.
Sehubungan dengan proses PHP tersebut dan dikaitkan dengan soliditas keadilan elektoral, maka terdapat masalah krusial yang perlu memperoleh penyelesaian dari MK. Khususnya menyangkut pencalonan mantan terpidana yang dilakukan berdasarkan penghitungan masa jeda yang tidak sesuai dengan putusan MK maupun ketentuan dalam Peraturan KPU (PKPU) mengenai pencalonan.
Mantan Terpidana
Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah yang berstatus mantan terpidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, harus memenuhi persyaratan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, yang bersangkutan juga harus secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang dirinya sebagai mantan terpidana, serta bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Putusan MK ini merupakan buah dari pengujian undang-undang pemilihan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Perludem, sebagai upaya mengakhiri perdebatan terkait konstitusionalitas pencalonan mantan terpidana. Upaya hukum itu juga bertujuan untuk menghindari pencalonan figur bermasalah guna mengeliminir peluang terpilihnya pemimpin korup melalui pilkada. Putusan MK itu secara teknis diatur lebih lanjut dalam PKPU 1/2020 tentang Pencalonan. Disebutkan bahwa mantan terpidana adalah orang yang sudah selesai menjalani pidana dan tidak ada hubungan secara teknis (pidana) dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pengertian mantan terpidana tersebut sejatinya merupakan duplikasi dari pengaturan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dengan demikian, pemenuhan persyaratan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara, harus dihitung dimulai sejak si calon berstatus bebas penuh. Artinya, untuk bisa disebut sebagai mantan terpidana, sudah menjalani keseluruhan hukuman termasuk pula sudah selesai menjalani pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, atau cuti menjelang bebas.
Akan tetapi, praktiknya substansi putusan MK dan PKPU tersebut mengalami distorsi oleh beberapa putusan sengketa pencalonan Bawaslu daerah. Tercatat Bawaslu Bengkulu, Lampung Selatan, Dompu, dan Boven Digoel, melalui putusan yang dibuatnya menyatakan bahwa penghitungan masa jeda bagi calon yang berstatus mantan terpidana adalah dimulai sejak si calon keluar dari penjara atau sudah tidak berada di dalam penjara. Termasuk dalam hal ini keluar dari penjara karena mendapat pembebasan bersyarat. Bawaslu mengesampingkan ketentuan dalam PKPU karena berdalih langsung merujuk pada putusan MK. Padahal, rujukan Bawaslu itu dilakukan parsial, dengan memotong dan membatasi frasa “selesai menjalani pidana penjara” dan mengabaikan adanya frasa “mantan terpidana” sebagai satu kesatuan persyaratan dalam putusan MK.
Alih-alih menangkap maksud putusan MK dengan utuh, yang terjadi justru penyempitan makna. Bawaslu menerjemahkan “selesai menjalani pidana penjara” sebagai “keluar dari penjara”. Padahal keluar dari penjara tidak otomatis membuat seseorang bebas penuh dan menjadi berstatus mantan terpidana, terutama apabila masih menjalani pembebasan bersyarat. Status mantan terpidana baru bisa diperoleh ketika sudah menyelesaikan masa pembebasan bersyarat tersebut.
Dampak dari putusan Bawaslu yang meloloskan pencalonan mantan terpidana dengan penghitungan jangka waktu yang keluar dari putusan MK dan ketentuan PKPU tentang Pencalonan, membuat pemilihan diikuti oleh peserta yang dipertanyakan legitimasi dan konstitusionalitasnya. Selain mencederai keadilan elektoral, hal itu juga bisa berdampak pada kerugian negara. Akibat implikasi teknis dan anggaran yang harus ditanggung karena menyertakan calon yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan.
Kesatuan Fungsi
Tindakan Bawaslu yang menegasikan PKPU dalam memutus sengketa merupakan preseden buruk. Karena memperlihatkan perlawanan terhadap asas kepastian hukum dan aturan main pemilihan. Di mana sudah jelas ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan persiapan dan penyelenggaraan pemilihan menurut UU Pemilihan diatur dengan PKPU. Selain bahwa berdasar Putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010, KPU, Bawaslu, dan DKPP merupakan satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan pemilu. Maka, sudah seharusnya Bawaslu dalam membuat putusan sengketa memedomani PKPU sebagai rujukan pengaturan teknis pemilihan.
Kalau Bawaslu tidak menyetujui isi PKPU telah tersedia mekanisme dalam undang-undang. Bawaslu bisa menempuh upaya hukum uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung. Bukan malah menggunakan forum penyelesaian sengketa pemilihan untuk melakukan pengujian atas isi PKPU. Terutama mengingat Bawaslu bukan hakim atau pengadilan yang bisa berdalih melakukan penemuan hukum berdasarkan asas kemandirian kekuasaan kehakiman. Lagipula, tidak ada penemuan hukum yang perlu dilakukan karena tidak ada kekosongan hukum apa pun dalam hal ini.
Karena itu, dalam proses PHP yang ditangani MK saat ini, amat strategis dan penting bagi MK untuk menegaskan soal jangka waktu pencalonan bagi mantan terpidana sebagaimana pernah diputuskan MK. Apalagi, ternyata ada mantan terpidana yang sebelumnya diloloskan oleh Bawaslu menjadi peserta pemilihan, saat ini juga mengajukan permohonan perselisihan hasil ke MK.
Melalui putusannya, MK perlu meluruskan dan memastikan bahwa hanya mereka yang berhak dan memenuhi syarat untuk dipilih saja yang bisa menjadi peserta pemilihan. Sebab, bila hal itu sampai disimpangi, berarti kita telah dengan sengaja membiarkan terjadinya pelanggaran atas integritas pemilihan dan tercederainya keadilan elektoral. Selain itu, putusan MK juga menjadi modalitas pembenahan elektoral kita. Agar ke depan tidak lagi terjadi berebut kewenangan di antara penyelenggara pemilu dengan dalih paling punya otoritas dalam membuat tafsir aturan.
Pegiat Pemilu, Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum UI
Pemilihan langsung merupakan aktivitas politik yang kompleks. Proses ini tidak hanya bergantung pada prosedur pemilihan, tetapi juga sekumpulan hak asasi manusia dan politik, aktivitas masyarakat sipil, berfungsinya partai politik, serta penyelenggaraan supremasi hukum dan keadilan (ACE Project, 2020). Dalam rangka memastikan semua tindakan yang diambil dalam proses pemilihan selalu sesuai dengan kerangka hukum demi menjamin dan menegakkan hak pilih dan hak untuk dipilih, maka diciptakanlah suatu sistem yang mengatur keadilan elektoral (International IDEA, 2010).
Melalui sistem keadilan elektoral, pihak-pihak yang meyakini bahwa hak pilih dan hak untuk dipilih mereka telah dilanggar dimungkinkan untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan menerima putusan. Undang-undang sudah pula menyediakan skema penyelesaian masalah-masalah hukum pemilihan sebagai upaya mewujudkan keadilan elektoral dimaksud. Ada enam masalah hukum yang bisa terjadi saat pilkada. Meliputi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi, penyelesaian sengketa, tindak pidana pemilihan, sengketa tata usaha negara, dan puncaknya berupa perselisihan hasil pemilihan (PHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan data yang dirilis situs MK, tercatat ada 134 perkara perselisihan hasil yang diterima MK. Mencakup 7 PHP gubernur, 114 bupati, dan 13 wali kota. Dari 134 perkara tersebut, 32 di antaranya berlanjut ke tahap pembuktian dengan menyisakan 2 PHP gubernur, 28 bupati, 2 wali kota.
Sehubungan dengan proses PHP tersebut dan dikaitkan dengan soliditas keadilan elektoral, maka terdapat masalah krusial yang perlu memperoleh penyelesaian dari MK. Khususnya menyangkut pencalonan mantan terpidana yang dilakukan berdasarkan penghitungan masa jeda yang tidak sesuai dengan putusan MK maupun ketentuan dalam Peraturan KPU (PKPU) mengenai pencalonan.
Mantan Terpidana
Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah yang berstatus mantan terpidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, harus memenuhi persyaratan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, yang bersangkutan juga harus secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang dirinya sebagai mantan terpidana, serta bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Putusan MK ini merupakan buah dari pengujian undang-undang pemilihan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Perludem, sebagai upaya mengakhiri perdebatan terkait konstitusionalitas pencalonan mantan terpidana. Upaya hukum itu juga bertujuan untuk menghindari pencalonan figur bermasalah guna mengeliminir peluang terpilihnya pemimpin korup melalui pilkada. Putusan MK itu secara teknis diatur lebih lanjut dalam PKPU 1/2020 tentang Pencalonan. Disebutkan bahwa mantan terpidana adalah orang yang sudah selesai menjalani pidana dan tidak ada hubungan secara teknis (pidana) dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pengertian mantan terpidana tersebut sejatinya merupakan duplikasi dari pengaturan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dengan demikian, pemenuhan persyaratan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara, harus dihitung dimulai sejak si calon berstatus bebas penuh. Artinya, untuk bisa disebut sebagai mantan terpidana, sudah menjalani keseluruhan hukuman termasuk pula sudah selesai menjalani pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, atau cuti menjelang bebas.
Akan tetapi, praktiknya substansi putusan MK dan PKPU tersebut mengalami distorsi oleh beberapa putusan sengketa pencalonan Bawaslu daerah. Tercatat Bawaslu Bengkulu, Lampung Selatan, Dompu, dan Boven Digoel, melalui putusan yang dibuatnya menyatakan bahwa penghitungan masa jeda bagi calon yang berstatus mantan terpidana adalah dimulai sejak si calon keluar dari penjara atau sudah tidak berada di dalam penjara. Termasuk dalam hal ini keluar dari penjara karena mendapat pembebasan bersyarat. Bawaslu mengesampingkan ketentuan dalam PKPU karena berdalih langsung merujuk pada putusan MK. Padahal, rujukan Bawaslu itu dilakukan parsial, dengan memotong dan membatasi frasa “selesai menjalani pidana penjara” dan mengabaikan adanya frasa “mantan terpidana” sebagai satu kesatuan persyaratan dalam putusan MK.
Alih-alih menangkap maksud putusan MK dengan utuh, yang terjadi justru penyempitan makna. Bawaslu menerjemahkan “selesai menjalani pidana penjara” sebagai “keluar dari penjara”. Padahal keluar dari penjara tidak otomatis membuat seseorang bebas penuh dan menjadi berstatus mantan terpidana, terutama apabila masih menjalani pembebasan bersyarat. Status mantan terpidana baru bisa diperoleh ketika sudah menyelesaikan masa pembebasan bersyarat tersebut.
Dampak dari putusan Bawaslu yang meloloskan pencalonan mantan terpidana dengan penghitungan jangka waktu yang keluar dari putusan MK dan ketentuan PKPU tentang Pencalonan, membuat pemilihan diikuti oleh peserta yang dipertanyakan legitimasi dan konstitusionalitasnya. Selain mencederai keadilan elektoral, hal itu juga bisa berdampak pada kerugian negara. Akibat implikasi teknis dan anggaran yang harus ditanggung karena menyertakan calon yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan.
Kesatuan Fungsi
Tindakan Bawaslu yang menegasikan PKPU dalam memutus sengketa merupakan preseden buruk. Karena memperlihatkan perlawanan terhadap asas kepastian hukum dan aturan main pemilihan. Di mana sudah jelas ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan persiapan dan penyelenggaraan pemilihan menurut UU Pemilihan diatur dengan PKPU. Selain bahwa berdasar Putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010, KPU, Bawaslu, dan DKPP merupakan satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan pemilu. Maka, sudah seharusnya Bawaslu dalam membuat putusan sengketa memedomani PKPU sebagai rujukan pengaturan teknis pemilihan.
Kalau Bawaslu tidak menyetujui isi PKPU telah tersedia mekanisme dalam undang-undang. Bawaslu bisa menempuh upaya hukum uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung. Bukan malah menggunakan forum penyelesaian sengketa pemilihan untuk melakukan pengujian atas isi PKPU. Terutama mengingat Bawaslu bukan hakim atau pengadilan yang bisa berdalih melakukan penemuan hukum berdasarkan asas kemandirian kekuasaan kehakiman. Lagipula, tidak ada penemuan hukum yang perlu dilakukan karena tidak ada kekosongan hukum apa pun dalam hal ini.
Karena itu, dalam proses PHP yang ditangani MK saat ini, amat strategis dan penting bagi MK untuk menegaskan soal jangka waktu pencalonan bagi mantan terpidana sebagaimana pernah diputuskan MK. Apalagi, ternyata ada mantan terpidana yang sebelumnya diloloskan oleh Bawaslu menjadi peserta pemilihan, saat ini juga mengajukan permohonan perselisihan hasil ke MK.
Melalui putusannya, MK perlu meluruskan dan memastikan bahwa hanya mereka yang berhak dan memenuhi syarat untuk dipilih saja yang bisa menjadi peserta pemilihan. Sebab, bila hal itu sampai disimpangi, berarti kita telah dengan sengaja membiarkan terjadinya pelanggaran atas integritas pemilihan dan tercederainya keadilan elektoral. Selain itu, putusan MK juga menjadi modalitas pembenahan elektoral kita. Agar ke depan tidak lagi terjadi berebut kewenangan di antara penyelenggara pemilu dengan dalih paling punya otoritas dalam membuat tafsir aturan.Titi Anggraini
Pegiat Pemilu, Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum UI
Pemilihan langsung merupakan aktivitas politik yang kompleks. Proses ini tidak hanya bergantung pada prosedur pemilihan, tetapi juga sekumpulan hak asasi manusia dan politik, aktivitas masyarakat sipil, berfungsinya partai politik, serta penyelenggaraan supremasi hukum dan keadilan (ACE Project, 2020). Dalam rangka memastikan semua tindakan yang diambil dalam proses pemilihan selalu sesuai dengan kerangka hukum demi menjamin dan menegakkan hak pilih dan hak untuk dipilih, maka diciptakanlah suatu sistem yang mengatur keadilan elektoral (International IDEA, 2010).
Melalui sistem keadilan elektoral, pihak-pihak yang meyakini bahwa hak pilih dan hak untuk dipilih mereka telah dilanggar dimungkinkan untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan menerima putusan. Undang-undang sudah pula menyediakan skema penyelesaian masalah-masalah hukum pemilihan sebagai upaya mewujudkan keadilan elektoral dimaksud. Ada enam masalah hukum yang bisa terjadi saat pilkada. Meliputi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi, penyelesaian sengketa, tindak pidana pemilihan, sengketa tata usaha negara, dan puncaknya berupa perselisihan hasil pemilihan (PHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan data yang dirilis situs MK, tercatat ada 134 perkara perselisihan hasil yang diterima MK. Mencakup 7 PHP gubernur, 114 bupati, dan 13 wali kota. Dari 134 perkara tersebut, 32 di antaranya berlanjut ke tahap pembuktian dengan menyisakan 2 PHP gubernur, 28 bupati, 2 wali kota.
Sehubungan dengan proses PHP tersebut dan dikaitkan dengan soliditas keadilan elektoral, maka terdapat masalah krusial yang perlu memperoleh penyelesaian dari MK. Khususnya menyangkut pencalonan mantan terpidana yang dilakukan berdasarkan penghitungan masa jeda yang tidak sesuai dengan putusan MK maupun ketentuan dalam Peraturan KPU (PKPU) mengenai pencalonan.
Mantan Terpidana
Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah yang berstatus mantan terpidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, harus memenuhi persyaratan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, yang bersangkutan juga harus secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang dirinya sebagai mantan terpidana, serta bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Putusan MK ini merupakan buah dari pengujian undang-undang pemilihan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Perludem, sebagai upaya mengakhiri perdebatan terkait konstitusionalitas pencalonan mantan terpidana. Upaya hukum itu juga bertujuan untuk menghindari pencalonan figur bermasalah guna mengeliminir peluang terpilihnya pemimpin korup melalui pilkada. Putusan MK itu secara teknis diatur lebih lanjut dalam PKPU 1/2020 tentang Pencalonan. Disebutkan bahwa mantan terpidana adalah orang yang sudah selesai menjalani pidana dan tidak ada hubungan secara teknis (pidana) dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pengertian mantan terpidana tersebut sejatinya merupakan duplikasi dari pengaturan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dengan demikian, pemenuhan persyaratan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara, harus dihitung dimulai sejak si calon berstatus bebas penuh. Artinya, untuk bisa disebut sebagai mantan terpidana, sudah menjalani keseluruhan hukuman termasuk pula sudah selesai menjalani pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, atau cuti menjelang bebas.
Akan tetapi, praktiknya substansi putusan MK dan PKPU tersebut mengalami distorsi oleh beberapa putusan sengketa pencalonan Bawaslu daerah. Tercatat Bawaslu Bengkulu, Lampung Selatan, Dompu, dan Boven Digoel, melalui putusan yang dibuatnya menyatakan bahwa penghitungan masa jeda bagi calon yang berstatus mantan terpidana adalah dimulai sejak si calon keluar dari penjara atau sudah tidak berada di dalam penjara. Termasuk dalam hal ini keluar dari penjara karena mendapat pembebasan bersyarat. Bawaslu mengesampingkan ketentuan dalam PKPU karena berdalih langsung merujuk pada putusan MK. Padahal, rujukan Bawaslu itu dilakukan parsial, dengan memotong dan membatasi frasa “selesai menjalani pidana penjara” dan mengabaikan adanya frasa “mantan terpidana” sebagai satu kesatuan persyaratan dalam putusan MK.
Alih-alih menangkap maksud putusan MK dengan utuh, yang terjadi justru penyempitan makna. Bawaslu menerjemahkan “selesai menjalani pidana penjara” sebagai “keluar dari penjara”. Padahal keluar dari penjara tidak otomatis membuat seseorang bebas penuh dan menjadi berstatus mantan terpidana, terutama apabila masih menjalani pembebasan bersyarat. Status mantan terpidana baru bisa diperoleh ketika sudah menyelesaikan masa pembebasan bersyarat tersebut.
Dampak dari putusan Bawaslu yang meloloskan pencalonan mantan terpidana dengan penghitungan jangka waktu yang keluar dari putusan MK dan ketentuan PKPU tentang Pencalonan, membuat pemilihan diikuti oleh peserta yang dipertanyakan legitimasi dan konstitusionalitasnya. Selain mencederai keadilan elektoral, hal itu juga bisa berdampak pada kerugian negara. Akibat implikasi teknis dan anggaran yang harus ditanggung karena menyertakan calon yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan.
Kesatuan Fungsi
Tindakan Bawaslu yang menegasikan PKPU dalam memutus sengketa merupakan preseden buruk. Karena memperlihatkan perlawanan terhadap asas kepastian hukum dan aturan main pemilihan. Di mana sudah jelas ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan persiapan dan penyelenggaraan pemilihan menurut UU Pemilihan diatur dengan PKPU. Selain bahwa berdasar Putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010, KPU, Bawaslu, dan DKPP merupakan satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan pemilu. Maka, sudah seharusnya Bawaslu dalam membuat putusan sengketa memedomani PKPU sebagai rujukan pengaturan teknis pemilihan.
Kalau Bawaslu tidak menyetujui isi PKPU telah tersedia mekanisme dalam undang-undang. Bawaslu bisa menempuh upaya hukum uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung. Bukan malah menggunakan forum penyelesaian sengketa pemilihan untuk melakukan pengujian atas isi PKPU. Terutama mengingat Bawaslu bukan hakim atau pengadilan yang bisa berdalih melakukan penemuan hukum berdasarkan asas kemandirian kekuasaan kehakiman. Lagipula, tidak ada penemuan hukum yang perlu dilakukan karena tidak ada kekosongan hukum apa pun dalam hal ini.
Karena itu, dalam proses PHP yang ditangani MK saat ini, amat strategis dan penting bagi MK untuk menegaskan soal jangka waktu pencalonan bagi mantan terpidana sebagaimana pernah diputuskan MK. Apalagi, ternyata ada mantan terpidana yang sebelumnya diloloskan oleh Bawaslu menjadi peserta pemilihan, saat ini juga mengajukan permohonan perselisihan hasil ke MK.
Melalui putusannya, MK perlu meluruskan dan memastikan bahwa hanya mereka yang berhak dan memenuhi syarat untuk dipilih saja yang bisa menjadi peserta pemilihan. Sebab, bila hal itu sampai disimpangi, berarti kita telah dengan sengaja membiarkan terjadinya pelanggaran atas integritas pemilihan dan tercederainya keadilan elektoral. Selain itu, putusan MK juga menjadi modalitas pembenahan elektoral kita. Agar ke depan tidak lagi terjadi berebut kewenangan di antara penyelenggara pemilu dengan dalih paling punya otoritas dalam membuat tafsir aturan.
(war)