Papua: Deforestasi dan Kejahatan Ekosida
Kamis, 18 Februari 2021 - 06:05 WIB
Kebiadaban Ekologis
Pemerintah Indonesia telah di ingatkan bahwa tingkat kehilangan tutupan hutan di Papua mencapai puncaknya pada 2015. Bahkan, beberapa hari lalu, 10 LSM yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Memantau, kembali merilis laporan deforestasi di Indonesia, di mana Papua menjadi fokus sorotan karena tingkat deforestasi pada wilayah paling timur Indonesia ini ditengarai semakin parah dan mengkhawatirkan.
KLHK tidak menyangkal hal tersebut, namun instansi ini membantah keras tudingan beberapa pihak, perihal obral izin yang disebut terjadi di era Presiden Joko Widodo dan Menteri LHK Siti Nurbaya.
Pasalnya, selama periode 1984-2020 terdapat izin kebun melalui pelepasan kawasan hutan seluas 7,3 juta ha, di mana 746 izin seluas 6,7 juta ha atau lebih 91% diberikan sebelum Presiden Jokowi memulai pemerintahan pada akhir Oktober 2014.
Bagi masyarakat adat Papua, bukan soal sedikit dan banyaknya izin dikeluarkan oleh pemerintah kepada korporasi. Izin dianggap bentuk dari penegasan dan penyingkiran terhadap hak atas hidup, bahkan berkonsekuensi pada banyak hal seperti ketimpangan, kekerasan, konflik, kriminalisasi, hingga sigmatisasi, apalagi proses perizinan diakui umumnya dilakukan tanpa ada konsultasi yang memadai dan transparan terhadap masyarakat adat.
Deforestasi di Papua tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Di benak banyak pihak, utamanya pemerintah, deforestasi lebih disebabkan atau diasosiasikan sebagai tindakan ilegal dari cukong kayu dan masyarakat perambah hutan. Tidak semuanya itu benar. Jika merujuk pada data yang disampaikan oleh KLHK, deforestasi di Indonesia sejak dulu hingga sekarang lebih disebabkan oleh tindakan legal, dilakukan secara terstruktur atau sistematis melalui mekanisme perizinan.
Dengan demikian, deforestasi artinya pengubahan area hutan menjadi lahan tidak berhutan secara permanen. Secara tidak langsung, deforestasi mengubah fungsi yang awalnya untuk pelestarian lingkungan serta ekosistem hutan menjadi aktivitas lain umumnya untuk perkebunan dan pertambangan.
Selain menyebabkan bencana ekologis, deforestasi juga memicu konflik dan pelanggaran HAM. Itulah sebabnya, deforestasi dikategorikan sebagai bentuk dari tindakan kebiadaban ekologis karena merupakan tindakan destruktif yang utama dari penyelamatan ekologis, menjaga kelestarian lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan Tuhan.
Jika diletakkan dalam konteks masyarakat adat Papua, deforestasi dapat dikategorikan sebagai tindakan pemusnahan budaya (culture genocide). Sebab, hutan bagi orang Papua, selain sebagai identitas budaya dan ruang kehidupan, juga menyimpan berbagi nilai-nilai sejarah kehidupan dan sosial.
Pemusnahan budaya yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah suatu tindakan perusakan dilakukan secara sistematis terhadap sumber kehidupan dan kebudayaan kelompok masyarakat adat tertentu yang mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan di mana sumber penghidupan masyarakat tersebut secara sosial budaya menjadi bahagian identitas budayanya.
Pemerintah Indonesia telah di ingatkan bahwa tingkat kehilangan tutupan hutan di Papua mencapai puncaknya pada 2015. Bahkan, beberapa hari lalu, 10 LSM yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Memantau, kembali merilis laporan deforestasi di Indonesia, di mana Papua menjadi fokus sorotan karena tingkat deforestasi pada wilayah paling timur Indonesia ini ditengarai semakin parah dan mengkhawatirkan.
KLHK tidak menyangkal hal tersebut, namun instansi ini membantah keras tudingan beberapa pihak, perihal obral izin yang disebut terjadi di era Presiden Joko Widodo dan Menteri LHK Siti Nurbaya.
Pasalnya, selama periode 1984-2020 terdapat izin kebun melalui pelepasan kawasan hutan seluas 7,3 juta ha, di mana 746 izin seluas 6,7 juta ha atau lebih 91% diberikan sebelum Presiden Jokowi memulai pemerintahan pada akhir Oktober 2014.
Bagi masyarakat adat Papua, bukan soal sedikit dan banyaknya izin dikeluarkan oleh pemerintah kepada korporasi. Izin dianggap bentuk dari penegasan dan penyingkiran terhadap hak atas hidup, bahkan berkonsekuensi pada banyak hal seperti ketimpangan, kekerasan, konflik, kriminalisasi, hingga sigmatisasi, apalagi proses perizinan diakui umumnya dilakukan tanpa ada konsultasi yang memadai dan transparan terhadap masyarakat adat.
Deforestasi di Papua tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Di benak banyak pihak, utamanya pemerintah, deforestasi lebih disebabkan atau diasosiasikan sebagai tindakan ilegal dari cukong kayu dan masyarakat perambah hutan. Tidak semuanya itu benar. Jika merujuk pada data yang disampaikan oleh KLHK, deforestasi di Indonesia sejak dulu hingga sekarang lebih disebabkan oleh tindakan legal, dilakukan secara terstruktur atau sistematis melalui mekanisme perizinan.
Dengan demikian, deforestasi artinya pengubahan area hutan menjadi lahan tidak berhutan secara permanen. Secara tidak langsung, deforestasi mengubah fungsi yang awalnya untuk pelestarian lingkungan serta ekosistem hutan menjadi aktivitas lain umumnya untuk perkebunan dan pertambangan.
Selain menyebabkan bencana ekologis, deforestasi juga memicu konflik dan pelanggaran HAM. Itulah sebabnya, deforestasi dikategorikan sebagai bentuk dari tindakan kebiadaban ekologis karena merupakan tindakan destruktif yang utama dari penyelamatan ekologis, menjaga kelestarian lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan Tuhan.
Jika diletakkan dalam konteks masyarakat adat Papua, deforestasi dapat dikategorikan sebagai tindakan pemusnahan budaya (culture genocide). Sebab, hutan bagi orang Papua, selain sebagai identitas budaya dan ruang kehidupan, juga menyimpan berbagi nilai-nilai sejarah kehidupan dan sosial.
Pemusnahan budaya yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah suatu tindakan perusakan dilakukan secara sistematis terhadap sumber kehidupan dan kebudayaan kelompok masyarakat adat tertentu yang mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan di mana sumber penghidupan masyarakat tersebut secara sosial budaya menjadi bahagian identitas budayanya.
tulis komentar anda