Papua: Deforestasi dan Kejahatan Ekosida

Kamis, 18 Februari 2021 - 06:05 WIB
loading...
Papua: Deforestasi dan Kejahatan Ekosida
M Ridha Saleh (Foto: Istimewa)
A A A
M Ridha Saleh
Peneliti Senior Walhi Institut

LUAS lahan berhutan seluruh daratan Indonesia pada 2019 adalah 94,1 juta hektare (ha) atau 50,1% dari total daratan, sedangkan 40% hutan primer yang tersisa di Indonesia berada di Papua (Papua dan Papua Barat).

Hutan Papua memiliki tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dengan 20.000 spesies tanaman, 602 jenis burung, 125 mamalia, dan 223 reptil. Hutan juga menjadi sumber utama mata pencaharian bagi banyak masyarakat adat setempat.

Rencana Kehutanan Nasional (RKN) 2011-2030 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Peraturan Menteri Nomor P.41/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 menyebutkan, jumlah kampung/desa yang berada di dalam kawasan hutan sebanyak 1.394, di tepi dan sekitar hutan sebanyak 4.070, sementara di luar hutan sebanyak 2.075. RKN juga menegaskan, ada 118,963 kepala keluarga (KK) masyarakat adat Papua masih di kategori sebagai pemungut hasil hutan dan 137,672 KK sudah masuk dalam kategori usaha di bidang kehutanan.

Dari data tersebut menggambarkan betapa kehidupan masyarakat adat di Papua secara turun-temurun saling bergantung dengan ekosistem hutan. Bagi masyarakat adat Papua, tanah dan hutan adalah ibu yang harus dibakti sekaligus warisan leluhur yang harus dijaga.

Sebagai ibu dan warisan leluhur, hutan tidak saja harus dijaga dan dipertahankan sebagai sumber-sumber penghidupan, lebih dari itu, dalam pengetahuan lokal masyarakat adat Papua, hutan merupakan ekosistem kehidupan yang mencirikan kebudayaan bangsa.

Dalam ekosistem kehidupan, hutan ditempatkan sebagai subjek yang diyakini memiliki nilai esensi melengkapi harkat dan martabat serta merupakan eksistensi bagi hak-hak masyarakat adat. Oleh karena itu, hutan diyakini telah menyerahkan perlindungan dan hak atas pembelaannya kepada masyarakat adat untuk dijaga, dipelihara, dan diperjuangkan keamanan, kelestarian, dan keberlanjutannya bagi kehidupan saat ini dan generasi akan datang.

Itulah sebabnya, ekonomi subsisten dalam kehidupan masyarakat berada dalam dan sekitar saat mengelola dan memanfaatkan hutan dibatasi oleh tradisi dan hukum adat karena hutan diyakini sebagai identitas budaya (culture identity).

Kebiadaban Ekologis
Pemerintah Indonesia telah di ingatkan bahwa tingkat kehilangan tutupan hutan di Papua mencapai puncaknya pada 2015. Bahkan, beberapa hari lalu, 10 LSM yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Memantau, kembali merilis laporan deforestasi di Indonesia, di mana Papua menjadi fokus sorotan karena tingkat deforestasi pada wilayah paling timur Indonesia ini ditengarai semakin parah dan mengkhawatirkan.

KLHK tidak menyangkal hal tersebut, namun instansi ini membantah keras tudingan beberapa pihak, perihal obral izin yang disebut terjadi di era Presiden Joko Widodo dan Menteri LHK Siti Nurbaya.

Pasalnya, selama periode 1984-2020 terdapat izin kebun melalui pelepasan kawasan hutan seluas 7,3 juta ha, di mana 746 izin seluas 6,7 juta ha atau lebih 91% diberikan sebelum Presiden Jokowi memulai pemerintahan pada akhir Oktober 2014.

Bagi masyarakat adat Papua, bukan soal sedikit dan banyaknya izin dikeluarkan oleh pemerintah kepada korporasi. Izin dianggap bentuk dari penegasan dan penyingkiran terhadap hak atas hidup, bahkan berkonsekuensi pada banyak hal seperti ketimpangan, kekerasan, konflik, kriminalisasi, hingga sigmatisasi, apalagi proses perizinan diakui umumnya dilakukan tanpa ada konsultasi yang memadai dan transparan terhadap masyarakat adat.

Deforestasi di Papua tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Di benak banyak pihak, utamanya pemerintah, deforestasi lebih disebabkan atau diasosiasikan sebagai tindakan ilegal dari cukong kayu dan masyarakat perambah hutan. Tidak semuanya itu benar. Jika merujuk pada data yang disampaikan oleh KLHK, deforestasi di Indonesia sejak dulu hingga sekarang lebih disebabkan oleh tindakan legal, dilakukan secara terstruktur atau sistematis melalui mekanisme perizinan.

Dengan demikian, deforestasi artinya pengubahan area hutan menjadi lahan tidak berhutan secara permanen. Secara tidak langsung, deforestasi mengubah fungsi yang awalnya untuk pelestarian lingkungan serta ekosistem hutan menjadi aktivitas lain umumnya untuk perkebunan dan pertambangan.

Selain menyebabkan bencana ekologis, deforestasi juga memicu konflik dan pelanggaran HAM. Itulah sebabnya, deforestasi dikategorikan sebagai bentuk dari tindakan kebiadaban ekologis karena merupakan tindakan destruktif yang utama dari penyelamatan ekologis, menjaga kelestarian lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan Tuhan.

Jika diletakkan dalam konteks masyarakat adat Papua, deforestasi dapat dikategorikan sebagai tindakan pemusnahan budaya (culture genocide). Sebab, hutan bagi orang Papua, selain sebagai identitas budaya dan ruang kehidupan, juga menyimpan berbagi nilai-nilai sejarah kehidupan dan sosial.

Pemusnahan budaya yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah suatu tindakan perusakan dilakukan secara sistematis terhadap sumber kehidupan dan kebudayaan kelompok masyarakat adat tertentu yang mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan di mana sumber penghidupan masyarakat tersebut secara sosial budaya menjadi bahagian identitas budayanya.

Ekosida di Papua
Menteri KLHK tidak boleh menutup mata dengan hanya menilai bahwa deforestasi di Papua lebih disebabkan oleh banyaknya izin yang dikeluarkan sebelum masa pemerintahannya. Demikian pula KLHK harus terus melakukan pemantauan terhadap pergerakan deforestasi di Papua, baik melalui pemantauan berbasis satelit maupun dengan observasi lapangan pada tingkatan tertentu terhadap 1,26 juta ha hutan alam yang masih tersebar pada areal Pelepasan Kawasan Hutan yang peruntukannya untuk perkebunan sawit tersebut. (Laporan deforestasi KLHK 2021)

Namun, semua itu harus diletakkan dalam suatu kerangka yang utuh ketika melihat deforestasi di Papua. Sebab, praktik kejahatan ekosida merupakan praktik yang amat serius di sana. Ciri utama dari kejahatan tersebut adalah actus rius (tindakan) perusakan dan perampasan atas lingkungan hidup dan sumber daya alam diikuti oleh kekerasan fisik dan mental yang dilakukan secara sistematis dan luas serta berlangsung lama.

Laporan penelitian dan berita media menunjukkan banyak sekali fakta sejarah bahwa eksploitasi sumber daya alam di Papua selalu diikuti oleh tindakan-tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia.

Papua harus dipahami dari pendekatan yang lebih khusus, karena ekosistem budaya dan latar belakang ekologi politik Papua punya perbedaan dengan wilayah Indonesia lainnya. Papua merupakan wilayah Indonesia yang sepanjang integrasinya memiliki luka politik dan duka ekologis.

Luka politik karena banyak kebijakan, sebut saja lingkungan hidup dan sumber daya alam yang diimplementasikan di luar dari prinsip yang mengakui dan melindungi hak sipil politik. Demikian pula duka ekologis yang disebabkan oleh pengabaian terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Pengelolaan sumber daya alam yang menghormati hak-hak masyarakat adat dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bisa menjadi bagian dari upaya untuk memperbaiki hubungan sosial politik masyarakat adat Papua dengan penguasa.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1261 seconds (0.1#10.140)