Ide Positif Menag Yaqut soal Borobudur
Selasa, 02 Februari 2021 - 06:30 WIB
MENTERI Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas melontarkan gagasan menarik, Kamis (28/1) lalu. Saat berdiskusi dengan Dirjen Bimas Kementerian Agama (Kemenag) Buddha Caliadi, Menag Yaqut melontarkan ide menjadikan Candi Borobudur sebagai rumah ibadah umat Buddha seluruh dunia.
Ini ide cemerlang. Selama ini, tercatat belum ada Menag yang berani menyampaikan rencana seperti itu. Tak hanya disambut baik oleh umat Buddha, gagasan besar ini banyak mendapat respons positif dari berbagai kalangan. Mereka antara lain Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, forum-forum kerukunan antarumat beragama, dan komunitas internasional.
Keberanian Menag Yaqut mengemukakan gagasan ini juga makin menegaskan atas komitmen tingginya terhadap aspek pluralisme. Menag ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang menghormati semua agama. Sejak mulai menjabat pada akhir Desember 2020 lalu, Menag Yaqut tak berupaya menjadikan satu agama pun pada posisi paling berkuasa. Di level institusinya, Menag pun berulang kali menegaskan prinsipnya itu dengan menyatakan bahwa Kemenag adalah rumah untuk semua agama. Penegasan ini relevan karena munculnya hegemoni atas stigma sangat rawan menggerus hak-hak bagi penganut agama lain.
Keberanian Menag Yaqut soal Candi Borobudur ini patut diapresiasi. Namun begitu, sejauh mana konsep rumah ibadah yang diimpikannya masih perlu diuji. Sejatinya, grand design untuk menjadikan Candi Borobudur sebagai rumah ibadah umat Buddha telah muncul dalam satu dekade terakhir. Pada 2016, pengelola kawasan candi, yakni PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Boko mulai menggelar kegiatan internasional bertajuk Borobudur International Buddhist Conference. Acara ini rutin digelar tiap tahun hingga 2019. Bahkan, selain menampilkan para tokoh agama Buddha berkelas internasional, kegiatan ini juga mendatangkan tokoh agama lintas agama seperti kiai dan pendeta. Lantaran serangan pandemi Covid-19, tahun lalu, acara ditiadakan.
Umat Buddha dunia tampak antusias atas event ini. Bahkan, mereka memberi masukan agar identitas Buddhist dihapus diganti dengan Borobudur saja. Tujuannya agar lebih mengokohkan candi peninggalan wangsa Syailendra ini sebagai simbol kedamaian dan harmoni.
Empat kali digelar, kesemarakan kegiatan ini begitu terasa. Selain banyak pengunjung dengan tujuan spiritual, ribuan pelancong, baik dalam maupun luar negeri, juga datang berbondong-bondong.
Namun, ajang Borobudur International Conference belum sepenuhnya optimal dan hakikatnya juga bukan final. Masih banyak event lain yang bisa dijadikan penegasan bahwa Borobudur layak menjadi episentrum umat Buddha dunia.
Dan, upaya menjadikan Borobudur pusat ibadah layaknya Kakbah bagi umat muslim di dunia juga tak mudah. Selama ini, umat Buddha menilai Candi Borobudur bukanlah tempat yang wajib dikunjungi untuk ibadah. Dus, dengan fakta ini, mereka merasa tidak memiliki kewajiban (obligations) kuat harus jauh-jauh meninggalkan negaranya untuk berkunjung ke Magelang demi bersembahyang di candi terbesar di dunia tersebut.
Toh begitu, fakta ini juga bukankah menjadi penghalang untuk kian mempromosikan Borobudur ke pentas global. Kemenag bisa menyiasati situasi tersebut dengan mengusung konsep ziarah misalnya, layaknya sebagian umat Islam yang berdoa-doa ke makan wali, sunan, dan sebagainya. Tentu, konsep ini harus dikemas baik agar benar-benar bisa menarik minat orang untuk datang seperti dengan tujuan berdoa, meditasi, yoga, atau lainnya. Bukan hal yang mustahil langkah ini dilakukan. Apalagi, selama ini Indonesia juga dikenal sebagai pusat pengajaran Buddha tertua di Asia, tepatnya di Candi Muaro Jambi, Kota Jambi. Kompleks candi yang dibangun abad ke-7 ini sangat luas mencapai sekitar lima desa dan melebihi Angkor Wat di Kamboja.
Ini ide cemerlang. Selama ini, tercatat belum ada Menag yang berani menyampaikan rencana seperti itu. Tak hanya disambut baik oleh umat Buddha, gagasan besar ini banyak mendapat respons positif dari berbagai kalangan. Mereka antara lain Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, forum-forum kerukunan antarumat beragama, dan komunitas internasional.
Keberanian Menag Yaqut mengemukakan gagasan ini juga makin menegaskan atas komitmen tingginya terhadap aspek pluralisme. Menag ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang menghormati semua agama. Sejak mulai menjabat pada akhir Desember 2020 lalu, Menag Yaqut tak berupaya menjadikan satu agama pun pada posisi paling berkuasa. Di level institusinya, Menag pun berulang kali menegaskan prinsipnya itu dengan menyatakan bahwa Kemenag adalah rumah untuk semua agama. Penegasan ini relevan karena munculnya hegemoni atas stigma sangat rawan menggerus hak-hak bagi penganut agama lain.
Keberanian Menag Yaqut soal Candi Borobudur ini patut diapresiasi. Namun begitu, sejauh mana konsep rumah ibadah yang diimpikannya masih perlu diuji. Sejatinya, grand design untuk menjadikan Candi Borobudur sebagai rumah ibadah umat Buddha telah muncul dalam satu dekade terakhir. Pada 2016, pengelola kawasan candi, yakni PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Boko mulai menggelar kegiatan internasional bertajuk Borobudur International Buddhist Conference. Acara ini rutin digelar tiap tahun hingga 2019. Bahkan, selain menampilkan para tokoh agama Buddha berkelas internasional, kegiatan ini juga mendatangkan tokoh agama lintas agama seperti kiai dan pendeta. Lantaran serangan pandemi Covid-19, tahun lalu, acara ditiadakan.
Umat Buddha dunia tampak antusias atas event ini. Bahkan, mereka memberi masukan agar identitas Buddhist dihapus diganti dengan Borobudur saja. Tujuannya agar lebih mengokohkan candi peninggalan wangsa Syailendra ini sebagai simbol kedamaian dan harmoni.
Empat kali digelar, kesemarakan kegiatan ini begitu terasa. Selain banyak pengunjung dengan tujuan spiritual, ribuan pelancong, baik dalam maupun luar negeri, juga datang berbondong-bondong.
Namun, ajang Borobudur International Conference belum sepenuhnya optimal dan hakikatnya juga bukan final. Masih banyak event lain yang bisa dijadikan penegasan bahwa Borobudur layak menjadi episentrum umat Buddha dunia.
Dan, upaya menjadikan Borobudur pusat ibadah layaknya Kakbah bagi umat muslim di dunia juga tak mudah. Selama ini, umat Buddha menilai Candi Borobudur bukanlah tempat yang wajib dikunjungi untuk ibadah. Dus, dengan fakta ini, mereka merasa tidak memiliki kewajiban (obligations) kuat harus jauh-jauh meninggalkan negaranya untuk berkunjung ke Magelang demi bersembahyang di candi terbesar di dunia tersebut.
Toh begitu, fakta ini juga bukankah menjadi penghalang untuk kian mempromosikan Borobudur ke pentas global. Kemenag bisa menyiasati situasi tersebut dengan mengusung konsep ziarah misalnya, layaknya sebagian umat Islam yang berdoa-doa ke makan wali, sunan, dan sebagainya. Tentu, konsep ini harus dikemas baik agar benar-benar bisa menarik minat orang untuk datang seperti dengan tujuan berdoa, meditasi, yoga, atau lainnya. Bukan hal yang mustahil langkah ini dilakukan. Apalagi, selama ini Indonesia juga dikenal sebagai pusat pengajaran Buddha tertua di Asia, tepatnya di Candi Muaro Jambi, Kota Jambi. Kompleks candi yang dibangun abad ke-7 ini sangat luas mencapai sekitar lima desa dan melebihi Angkor Wat di Kamboja.
Lihat Juga :
tulis komentar anda