Menyoal Kompensasi Kecelakaan Penerbangan
Jum'at, 15 Januari 2021 - 05:10 WIB
Permenhub ini, selain merupakan turunan dari UU Nomor 1 Tahun 2009, juga merupakan bentuk turunan dari Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan, “Hak Konsumen adalah: hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa”.
Martono (2000) menjelaskan bahwa hak konsumen ini harus dipenuhi oleh perusahaan pengangkutan udara. Alasan utama calon penumpang melakukan perjanjian pengangkutan udara karena adanya jaminan keamanan dan keselamatan. Hal tersebut telah berlaku umum dalam hukum pengangkutan bahwa tanggung jawab atau kewajiban pengangkut adalah memberikan atau menjaga keamanan dan keselamatan selama dalam perjalanan dan juga merupakan objek yang diperjanjikan dalam hubungan kontraktual penumpang sebagai konsumen dan maskapai sebagai penyedia jasa penerbangan komersial.
Dalam hal ini terdapat regulasi yang inkonsisten antara UU Nomor 1 Tahun 2009 dan UU Nomor 8 Tahun 1999 dengan Permenhub Nomor 77 Tahun 2011. Sebab dalam Pasal 19 Permenhub tersebut disebutkan bahwa maskapai penerbangan dapat terlepas dari kewajibannya membayarkan ganti rugi apabila dapat dibuktikan kecelakaan maupun kerugian yang diderita konsumen tersebut bukan kesalahan daripada maskapai penerbangan.
Demikian juga Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 menyatakan bahwa maskapai dapat mengalihkan risikonya pada asuransi. Hal ini bertentangan dengan pertanggungjawaban mutlak strict liability yang terkandung dalam UU Nomor 1 Tahun 2009 dan UU Nomor 8 Tahun 1999 mengingat hubungan kontraktual antara maskapai dan penumpang berdasarkan penyelenggaraan penerbangan yang selamat dan aman sebagaimana diatur UU Nomor 1 Tahun 2009.
Inkonsistensi ini kembali pada persoalan pembuktian penyebab kecelakaan dan penentuan pihak yang bertanggung jawab ketika terjadi kecelakaan penerbangan sehingga mengesampingkan pembayaran kompensasi dan ganti rugi kepada penumpang. Hal ini terjadi mengingat asuransi akan membayarkan kompensasi setelah penyelidikan mengenai penyebab kecelakaan selesai dilakukan. Kondisi inilah yang sering kali menyebabkan klaim pembayaran kompensasi dan ganti rugi memakan waktu, bahkan bisa tidak terlaksana.
Seharusnya, jika pemerintah konsisten dengan semangat mewujudkan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksudkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2009, maka pemerintah perlu segera merevisi Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 untuk menyesuaikan agar aturan teknis terkait pertanggungjawaban maskapai sebagai penyelenggara penerbangan kembali pada model pertanggungjawaban strict liability sebagaimana diatur dalam UU Penerbangan dan UU Perlindungan Konsumen.
Model pertanggungjawaban strict liability mengharuskan maskapai bertanggung jawab mutlak pada setiap terjadinya kecelakaan terlepas apa pun sebabnya. Implementasinya adalah maskapai harus membayarkan ganti kerugian dan kompensasi kepada penumpang yang menjadi korban dengan segera (meskipun di kemudian hari maskapai dapat mengalihkan pada asuransi). Jika dalam Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 hubungan perusahaan asuransi adalah dengan konsumen, maka seharusnya dalam model pertanggungjawaban strict liability hubungan perusahaan asuransi adalah dengan maskapai.
Dengan demikian, selain dapat mempercepat pembayaran kompensasi dan ganti rugi tanpa menunggu penyelidikan penyebab kecelakaan pesawat udara, model pertanggungjawaban strict liability juga dapat mengoptimalkan kehati-hatian maskapai dalam operasionalnya sehingga dapat meminimalkan tingkat kecelakaan pesawat udara.
Martono (2000) menjelaskan bahwa hak konsumen ini harus dipenuhi oleh perusahaan pengangkutan udara. Alasan utama calon penumpang melakukan perjanjian pengangkutan udara karena adanya jaminan keamanan dan keselamatan. Hal tersebut telah berlaku umum dalam hukum pengangkutan bahwa tanggung jawab atau kewajiban pengangkut adalah memberikan atau menjaga keamanan dan keselamatan selama dalam perjalanan dan juga merupakan objek yang diperjanjikan dalam hubungan kontraktual penumpang sebagai konsumen dan maskapai sebagai penyedia jasa penerbangan komersial.
Dalam hal ini terdapat regulasi yang inkonsisten antara UU Nomor 1 Tahun 2009 dan UU Nomor 8 Tahun 1999 dengan Permenhub Nomor 77 Tahun 2011. Sebab dalam Pasal 19 Permenhub tersebut disebutkan bahwa maskapai penerbangan dapat terlepas dari kewajibannya membayarkan ganti rugi apabila dapat dibuktikan kecelakaan maupun kerugian yang diderita konsumen tersebut bukan kesalahan daripada maskapai penerbangan.
Demikian juga Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 menyatakan bahwa maskapai dapat mengalihkan risikonya pada asuransi. Hal ini bertentangan dengan pertanggungjawaban mutlak strict liability yang terkandung dalam UU Nomor 1 Tahun 2009 dan UU Nomor 8 Tahun 1999 mengingat hubungan kontraktual antara maskapai dan penumpang berdasarkan penyelenggaraan penerbangan yang selamat dan aman sebagaimana diatur UU Nomor 1 Tahun 2009.
Inkonsistensi ini kembali pada persoalan pembuktian penyebab kecelakaan dan penentuan pihak yang bertanggung jawab ketika terjadi kecelakaan penerbangan sehingga mengesampingkan pembayaran kompensasi dan ganti rugi kepada penumpang. Hal ini terjadi mengingat asuransi akan membayarkan kompensasi setelah penyelidikan mengenai penyebab kecelakaan selesai dilakukan. Kondisi inilah yang sering kali menyebabkan klaim pembayaran kompensasi dan ganti rugi memakan waktu, bahkan bisa tidak terlaksana.
Seharusnya, jika pemerintah konsisten dengan semangat mewujudkan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksudkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2009, maka pemerintah perlu segera merevisi Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 untuk menyesuaikan agar aturan teknis terkait pertanggungjawaban maskapai sebagai penyelenggara penerbangan kembali pada model pertanggungjawaban strict liability sebagaimana diatur dalam UU Penerbangan dan UU Perlindungan Konsumen.
Model pertanggungjawaban strict liability mengharuskan maskapai bertanggung jawab mutlak pada setiap terjadinya kecelakaan terlepas apa pun sebabnya. Implementasinya adalah maskapai harus membayarkan ganti kerugian dan kompensasi kepada penumpang yang menjadi korban dengan segera (meskipun di kemudian hari maskapai dapat mengalihkan pada asuransi). Jika dalam Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 hubungan perusahaan asuransi adalah dengan konsumen, maka seharusnya dalam model pertanggungjawaban strict liability hubungan perusahaan asuransi adalah dengan maskapai.
Dengan demikian, selain dapat mempercepat pembayaran kompensasi dan ganti rugi tanpa menunggu penyelidikan penyebab kecelakaan pesawat udara, model pertanggungjawaban strict liability juga dapat mengoptimalkan kehati-hatian maskapai dalam operasionalnya sehingga dapat meminimalkan tingkat kecelakaan pesawat udara.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda