MK: Pemberian Tunjangan Guru-Dosen Hak Konstitusional dan Kewajiban Presiden
Kamis, 14 Januari 2021 - 19:26 WIB
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memastikan pemberian tunjangan bagi guru dan dosen serta guru besar merupakan hak konstitusional sekaligus kewajiban Presiden. Hal ini merupakan bagian dari pertimbangan MK dalam putusan Nomor: 94/PUU-XVIII/2020 atas perkara uji materiil yang diajukan PNS Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng) Ahmad Amin.
Secara spesifik Ahmad Amin menguji Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terhadap UUD 1945. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang tunjangan profesi bagi guru, tunjangan profesi bagi dosen, tunjangan khusus bagi dosen, dan tunjangan kehormatan kepada profesor. (Baca juga: Soal UU Asuransi Usaha Bersama, MK: DPR dan Presiden Tidak Taat Hukum)
Hakim konstitusi MK Suhartoyo menyatakan, Mahkamah berwenang mengadili perkara a quo. Meskipun begitu, ujar Suhartoyo, permohonan pemohon dalam hal ini Ahmad Amin yang mengajukan dalil bahwa Ahmad Amin sebagai PNS tidak memperoleh kenaikan gaji akibat berlakunya ketentuan tunjangan profesi dan profesi bagi guru dan dosen serta tunjangan kehormatan bagi profesor mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional pemohon tidak jelas. (Baca juga: Perludem: Ada 136 Permohonan Sengketa Pilkada 2020 di MK)
Sebaliknya argumentasi pemohon dalam permohonannya justru mendalilkan adanya ketidakpastian hukum kewenangan antar-lembaga tinggi negara dalam menetapkan besaran yang dimaksud. Apabila dihubungkan dengan kewajiban menjelaskan kerugian hak konstitusional pemohon, tutur Suhartoyo, sebagai salah satu syarat formal tidak terpenuhi. "Maka sesungguhnya dalam kapasitas apa pemohon menjelaskan keberadaan norma yang dimohonkan pengujian telah mengintervensi hak konstitusional Presiden dan sekaligus telah merugikan hak konstitusional Presiden dalam merencanakan pelaksanaan pengelolaan keuangan negara," tegas hakim konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan dalam sidang pleno pembacaan putusan, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (14/1/2021).
Suhartoyo membeberkan, selain itu merujuk norma yang diuji konstitusionalitasnya yaitu norma Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) UU Guru dan Dosen yang dimohonkan sebagaimana dimohonkan dalam petitum yaitu agar dinyatakan konstitusional bersyarat conditionally sepanjang tidak ada perintah kepada Presiden atas ketetapan APBN sehingga setara dengan satu kali gaji pokok atau dua kali gaji pokok agar pasal dan ayat tersebut tidak berkekuatan hukum mengikat, adalah kehendak yang saling bertentangan.
Pasalnya, pada satu sisi pemohon menyatakan norma-norma a quo konstitusional bersyarat tetap di sisi lain memohon agar norma-norma a quo bertentangan dengan UUD 1945. Tidak hanya itu lanjut Suhartoyo, jika pemohon menghendaki setara dengan setara satu kali gaji pokok dan setara dua kali gaji pokok diberikan pemaknaan baru, maka mestinya dikemukakan makna baru yang dikehendaki pemohon sehingga norma tersebut menjadi konstitusional sesuai dengan penalaran pemohon.
Tapi dalam posita pemohon tidak dikemukakan rumusan norma baru tersebut terhadap setara setara dengan satu kali gaji pokok atau dua kali gaji pokok. Suhartoyo mengungkapkan, pemohon malah menghendaki Presiden tidak berkewajiban memenuhi kewajiban sebagaimana Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) UU Guru dan Dosen. "Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, permohonan pemohon adalah tidak jelas atau kabur, karena tidak memenuhi syarat formal permohonan," ujar Suhartoyo.
Ketua MK Anwar Usman menyatakan, dari pemeriksaan persidangan dan pertimbangan hukum sebagaimana disebutkan di atas maka atas permohonan pemohon Mahkamah menyimpulkan tiga hal. Satu, Mahkamah berwenang mengadili perkara q quo. Dua, permohonan pemohon tidak jelas atau kabur. Tiga, pokok permohonan pemohon tidak dipertimbangkan. "Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," tegas hakim konstitusi Anwar saat pengucapan amar putusan.
Secara spesifik Ahmad Amin menguji Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terhadap UUD 1945. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang tunjangan profesi bagi guru, tunjangan profesi bagi dosen, tunjangan khusus bagi dosen, dan tunjangan kehormatan kepada profesor. (Baca juga: Soal UU Asuransi Usaha Bersama, MK: DPR dan Presiden Tidak Taat Hukum)
Hakim konstitusi MK Suhartoyo menyatakan, Mahkamah berwenang mengadili perkara a quo. Meskipun begitu, ujar Suhartoyo, permohonan pemohon dalam hal ini Ahmad Amin yang mengajukan dalil bahwa Ahmad Amin sebagai PNS tidak memperoleh kenaikan gaji akibat berlakunya ketentuan tunjangan profesi dan profesi bagi guru dan dosen serta tunjangan kehormatan bagi profesor mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional pemohon tidak jelas. (Baca juga: Perludem: Ada 136 Permohonan Sengketa Pilkada 2020 di MK)
Sebaliknya argumentasi pemohon dalam permohonannya justru mendalilkan adanya ketidakpastian hukum kewenangan antar-lembaga tinggi negara dalam menetapkan besaran yang dimaksud. Apabila dihubungkan dengan kewajiban menjelaskan kerugian hak konstitusional pemohon, tutur Suhartoyo, sebagai salah satu syarat formal tidak terpenuhi. "Maka sesungguhnya dalam kapasitas apa pemohon menjelaskan keberadaan norma yang dimohonkan pengujian telah mengintervensi hak konstitusional Presiden dan sekaligus telah merugikan hak konstitusional Presiden dalam merencanakan pelaksanaan pengelolaan keuangan negara," tegas hakim konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan dalam sidang pleno pembacaan putusan, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (14/1/2021).
Suhartoyo membeberkan, selain itu merujuk norma yang diuji konstitusionalitasnya yaitu norma Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) UU Guru dan Dosen yang dimohonkan sebagaimana dimohonkan dalam petitum yaitu agar dinyatakan konstitusional bersyarat conditionally sepanjang tidak ada perintah kepada Presiden atas ketetapan APBN sehingga setara dengan satu kali gaji pokok atau dua kali gaji pokok agar pasal dan ayat tersebut tidak berkekuatan hukum mengikat, adalah kehendak yang saling bertentangan.
Pasalnya, pada satu sisi pemohon menyatakan norma-norma a quo konstitusional bersyarat tetap di sisi lain memohon agar norma-norma a quo bertentangan dengan UUD 1945. Tidak hanya itu lanjut Suhartoyo, jika pemohon menghendaki setara dengan setara satu kali gaji pokok dan setara dua kali gaji pokok diberikan pemaknaan baru, maka mestinya dikemukakan makna baru yang dikehendaki pemohon sehingga norma tersebut menjadi konstitusional sesuai dengan penalaran pemohon.
Tapi dalam posita pemohon tidak dikemukakan rumusan norma baru tersebut terhadap setara setara dengan satu kali gaji pokok atau dua kali gaji pokok. Suhartoyo mengungkapkan, pemohon malah menghendaki Presiden tidak berkewajiban memenuhi kewajiban sebagaimana Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) UU Guru dan Dosen. "Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, permohonan pemohon adalah tidak jelas atau kabur, karena tidak memenuhi syarat formal permohonan," ujar Suhartoyo.
Ketua MK Anwar Usman menyatakan, dari pemeriksaan persidangan dan pertimbangan hukum sebagaimana disebutkan di atas maka atas permohonan pemohon Mahkamah menyimpulkan tiga hal. Satu, Mahkamah berwenang mengadili perkara q quo. Dua, permohonan pemohon tidak jelas atau kabur. Tiga, pokok permohonan pemohon tidak dipertimbangkan. "Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," tegas hakim konstitusi Anwar saat pengucapan amar putusan.
(cip)
tulis komentar anda