Normalisasi Jadwal Pilkada
Rabu, 06 Januari 2021 - 05:45 WIB
Akan tetapi, di balik pertimbangan-pertimbangan tersebut, ada ancaman elektoral cukup besar kalau pemungutan suara pilkada serentak nasional tetap dilaksanakan pada November 2024, pada tahun yang sama dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Pertama, beban teknis berlebih membuat penyelenggaraan pemilu potensial tidak terkelola dengan baik. Berdasarkan hasil kajian lintas disiplin atas meninggal dan sakitnya petugas Pemilu 2019 yang dilakukan oleh Fisipol Universitas Gadjah Mada (2019), ditemukan bahwa meninggal dan sakitnya petugas tidak lepas dari rata-rata beban kerja petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang sangat tinggi. Sebelum, selama, dan sesudah hari pemilihan dalam menyelenggarakan pemungutan suara untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan lima surat suara. Selain itu, ada pula kendala terkait bimtek, logistik, dan kesehatan akibat kompleksitas pemilihan yang dilaksanakan.
Meskipun pemungutan suara pemilu dan pilkada pada 2024 direncanakan tidak bersamaan harinya, pemilu biasanya di bulan April, sementara pilkada pada November, namun tahapan-tahapannya akan beririsan satu sama lain. Sebab menuju pemungutan suara harus ada sejumlah tahapan persiapan yang dilakukan, dari pemutakhiran data pemilih, pencalonan, kampanye, dan distribusi logistik pemilihan. Tentu hal itu akan membuat beban petugas semakin berlipat ganda. Artinya, bukan tidak mungkin fenomena kelelahan petugas seperti Pemilu 2019 akan kembali terulang.
Kedua, politik gagasan bisa semakin menjauh dari diskursus pemilih karena terlalu banyak calon dan isu yang tersebar dari tiga jenis pemilihan yang berbarengan. Hal ini bisa menimbulkan ekses digunakannya cara-cara ilegal dalam berkampanye sebagai jalan pintas untuk menang. Misalnya politik uang, hegemoni identitas, dan hoaks. Padahal, melalui pemilu dan pilkada kita berharap ada internalisasi visi, misi, dan program yang dilakukan oleh calon kepada pemilih sebagai bagian dari aktivitas kampanye yang mengedukasi. Namun, hal itu akan sulit terealisasi karena substansi kampanye yang tidak fokus. Akibat bercampurnya isu nasional dan daerah karena pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada yang bersamaan pelaksanaannya.
Pengalaman Pemilu 2019, bahkan kampanye legislatif tenggelam oleh hiruk-pikuk pemilu presiden. Ini pula yang ditengarai berdampak pada tingginya suara tidak sah (invalid votes) pemilu anggota DPD yang mencapai 29.710.175 atau 19,02% dari jumlah pengguna hak pilih. Kajian Perludem atas evaluasi Pemilu 2019 menemukan bahwa pendidikan pemilih yang tidak maksimal serta tenggelamnya sosialisasi pemilu anggota DPD membuat pemilih kurang punya pengetahuan soal calon dan prosedur pemilihan DPD. Bayangkan, kalau kerumitan itu lantas ditambah lagi dengan pelaksanaan pilkada di waktu sama.
Ketiga, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang mengubah pendiriannya soal konstitusionalitas pemilu serentak 5 kotak sebagai satu-satunya pilihan yang konstitusional, sebagaimana termuat dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 (23 Januari 2014), sesungguhnya merupakan refleksi atas kompleksitas Pemilu 2019. Semestinya tidak kita tambah dengan kerumitan baru lagi. Apalagi dalam Putusan tersebut MK mengingatkan agar dalam memilih desain pemilu serentak pembuat undang-undang mengaitkan antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD 1945, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.
Pilkada Serentak 2027
Maka, dengan mempertimbangkan hal di atas, demi pelaksanaan pemilihan yang logis, jujur, adil dan demokratis, semestinya pilkada tidak digelar secara nasional pada 2024, guna menghindari kekacauan dan tragedi dalam demokrasi elektoral kita. Desain pilkada serentak nasional pada 2027 jauh lebih realistis dan sejalan dengan rancang bangun ketatanegaraan kita.
Daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala pemerintahannya pada 2022 dan 2023 tetap diselenggarakan pilkada pada 2022 dan 2023. Untuk daerah yang melaksanakan pilkada pada 2020, kepala daerah terpilih tetap menjabat selama lima tahun sampai akhir masa jabatannya. Dengan demikian, penjabat pun tidak terlalu lama mengisi posisi yang mestinya dipegang oleh kepala daerah definitif hasil pemilihan langsung oleh rakyat.
Terpenting, kita harus menghindari jatuhnya korban jiwa petugas pemilihan seperti Pemilu 2019. Pemilih pun lebih bisa berorientasi pada politik gagasan dan program, karena desain pemilihan yang tidak membuat mereka kelebihan beban. Semoga.
Pertama, beban teknis berlebih membuat penyelenggaraan pemilu potensial tidak terkelola dengan baik. Berdasarkan hasil kajian lintas disiplin atas meninggal dan sakitnya petugas Pemilu 2019 yang dilakukan oleh Fisipol Universitas Gadjah Mada (2019), ditemukan bahwa meninggal dan sakitnya petugas tidak lepas dari rata-rata beban kerja petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang sangat tinggi. Sebelum, selama, dan sesudah hari pemilihan dalam menyelenggarakan pemungutan suara untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan lima surat suara. Selain itu, ada pula kendala terkait bimtek, logistik, dan kesehatan akibat kompleksitas pemilihan yang dilaksanakan.
Meskipun pemungutan suara pemilu dan pilkada pada 2024 direncanakan tidak bersamaan harinya, pemilu biasanya di bulan April, sementara pilkada pada November, namun tahapan-tahapannya akan beririsan satu sama lain. Sebab menuju pemungutan suara harus ada sejumlah tahapan persiapan yang dilakukan, dari pemutakhiran data pemilih, pencalonan, kampanye, dan distribusi logistik pemilihan. Tentu hal itu akan membuat beban petugas semakin berlipat ganda. Artinya, bukan tidak mungkin fenomena kelelahan petugas seperti Pemilu 2019 akan kembali terulang.
Kedua, politik gagasan bisa semakin menjauh dari diskursus pemilih karena terlalu banyak calon dan isu yang tersebar dari tiga jenis pemilihan yang berbarengan. Hal ini bisa menimbulkan ekses digunakannya cara-cara ilegal dalam berkampanye sebagai jalan pintas untuk menang. Misalnya politik uang, hegemoni identitas, dan hoaks. Padahal, melalui pemilu dan pilkada kita berharap ada internalisasi visi, misi, dan program yang dilakukan oleh calon kepada pemilih sebagai bagian dari aktivitas kampanye yang mengedukasi. Namun, hal itu akan sulit terealisasi karena substansi kampanye yang tidak fokus. Akibat bercampurnya isu nasional dan daerah karena pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada yang bersamaan pelaksanaannya.
Pengalaman Pemilu 2019, bahkan kampanye legislatif tenggelam oleh hiruk-pikuk pemilu presiden. Ini pula yang ditengarai berdampak pada tingginya suara tidak sah (invalid votes) pemilu anggota DPD yang mencapai 29.710.175 atau 19,02% dari jumlah pengguna hak pilih. Kajian Perludem atas evaluasi Pemilu 2019 menemukan bahwa pendidikan pemilih yang tidak maksimal serta tenggelamnya sosialisasi pemilu anggota DPD membuat pemilih kurang punya pengetahuan soal calon dan prosedur pemilihan DPD. Bayangkan, kalau kerumitan itu lantas ditambah lagi dengan pelaksanaan pilkada di waktu sama.
Ketiga, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang mengubah pendiriannya soal konstitusionalitas pemilu serentak 5 kotak sebagai satu-satunya pilihan yang konstitusional, sebagaimana termuat dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 (23 Januari 2014), sesungguhnya merupakan refleksi atas kompleksitas Pemilu 2019. Semestinya tidak kita tambah dengan kerumitan baru lagi. Apalagi dalam Putusan tersebut MK mengingatkan agar dalam memilih desain pemilu serentak pembuat undang-undang mengaitkan antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD 1945, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.
Pilkada Serentak 2027
Maka, dengan mempertimbangkan hal di atas, demi pelaksanaan pemilihan yang logis, jujur, adil dan demokratis, semestinya pilkada tidak digelar secara nasional pada 2024, guna menghindari kekacauan dan tragedi dalam demokrasi elektoral kita. Desain pilkada serentak nasional pada 2027 jauh lebih realistis dan sejalan dengan rancang bangun ketatanegaraan kita.
Daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala pemerintahannya pada 2022 dan 2023 tetap diselenggarakan pilkada pada 2022 dan 2023. Untuk daerah yang melaksanakan pilkada pada 2020, kepala daerah terpilih tetap menjabat selama lima tahun sampai akhir masa jabatannya. Dengan demikian, penjabat pun tidak terlalu lama mengisi posisi yang mestinya dipegang oleh kepala daerah definitif hasil pemilihan langsung oleh rakyat.
Terpenting, kita harus menghindari jatuhnya korban jiwa petugas pemilihan seperti Pemilu 2019. Pemilih pun lebih bisa berorientasi pada politik gagasan dan program, karena desain pemilihan yang tidak membuat mereka kelebihan beban. Semoga.
tulis komentar anda