Normalisasi Jadwal Pilkada
loading...
A
A
A
Titi Anggraini
Pembina Perludem, Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum UI
PEMUNGUTAN suara Pilkada 2020 telah tuntas terselenggara. Saat ini tahapan beranjak memasuki penyelesaian perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi. Tentu banyak hal yang harus dievaluasi, baik dari sisi kerangka hukum, pelaksanaan teknis tahapan, partisipasi pemilih, maupun pengawasan dan penegakan hukum pemilihan.
Beranjak dari Pilkada 2020, juga ada isu krusial untuk kita diskusikan, yaitu terkait pelaksanaan pilkada gelombang berikutnya. Berdasarkan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pemungutan suara serentak nasional untuk pilkada di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024. Implikasi ketentuan tersebut, sebagaimana diatur pasal yang sama, maka kepala daerah hasil pemilihan 2017 (101 daerah) dan 2018 (170 daerah), yang akan berakhir masa jabatan pada 2022 dan 2023 tidak akan diselenggarakan pilkada di daerahnya pada tahun tersebut. Sedangkan kepala daerah hasil pemilihan 2020 hanya akan menjabat sampai 2024.
Provinsi yang masa jabatan gubernurnya berakhir pada 2022 meliputi Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sedangkan pada 2023 ada 17 provinsi yang gubernurnya akan berakhir masa jabatan antara lain Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Maluku, serta Papua. Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, akan diangkat penjabat gubernur, bupati, dan wali kota sampai dengan terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif melalui pilkada serentak nasional pada 2024.
Bila ditelusuri, konsep pilkada serentak nasional 2024 ini sesungguhnya bergeser dari pengaturan awal yang terdapat dalam UU Nomor 8/2015. Di mana pemungutan suara pilkada serentak nasional terjadwal dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada 2027. Dalam rancangan ini, di daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala pemerintahannya pada 2022 dan 2023 tetap diselenggarakan pemungutan suara pada tahun-tahun tersebut.
Ada beberapa pertimbangan yang membuat jadwal pilkada serentak nasional diselenggarakan 2027 berubah ke 2024, yang notabene juga akan berbarengan dengan pelaksanaan siklus lima tahunan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Antara lain, agar tidak terlalu sering ada pemilu dan pilkada sehingga stabilitas pembangunan dan ekonomi bisa terjaga baik, tanpa interupsi aktivitas politik yang terlalu intens. Selain juga untuk memastikan bahwa tidak banyak aktor politik yang lompat pagar dalam pencalonan jabatan politik akibat jadwal pemilu dan pilkada yang tidak bersamaan.
Selama ini memang ada kecenderungan anggota DPR, DPD, atau DPRD pada saat pelaksanaan pilkada mengundurkan diri dari jabatannya untuk maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Bila tahapan pemilihan beririsan waktunya, maka hal itu akan bisa dihindari. Termasuk pula bagi mereka yang ingin maju sebagai calon gubernur tentu tidak bisa di saat bersamaan maju sebagai calon presiden. Dikarenakan pencalonan akan berlangsung pada masa yang sama. Mereka yang ingin berkontes harus memilih salah satu saja dari jabatan politik yang diperebutkan saat pemilihan, baik di eksekutif maupun legislatif.
Ancaman Elektoral
Akan tetapi, di balik pertimbangan-pertimbangan tersebut, ada ancaman elektoral cukup besar kalau pemungutan suara pilkada serentak nasional tetap dilaksanakan pada November 2024, pada tahun yang sama dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Pertama, beban teknis berlebih membuat penyelenggaraan pemilu potensial tidak terkelola dengan baik. Berdasarkan hasil kajian lintas disiplin atas meninggal dan sakitnya petugas Pemilu 2019 yang dilakukan oleh Fisipol Universitas Gadjah Mada (2019), ditemukan bahwa meninggal dan sakitnya petugas tidak lepas dari rata-rata beban kerja petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang sangat tinggi. Sebelum, selama, dan sesudah hari pemilihan dalam menyelenggarakan pemungutan suara untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan lima surat suara. Selain itu, ada pula kendala terkait bimtek, logistik, dan kesehatan akibat kompleksitas pemilihan yang dilaksanakan.
Meskipun pemungutan suara pemilu dan pilkada pada 2024 direncanakan tidak bersamaan harinya, pemilu biasanya di bulan April, sementara pilkada pada November, namun tahapan-tahapannya akan beririsan satu sama lain. Sebab menuju pemungutan suara harus ada sejumlah tahapan persiapan yang dilakukan, dari pemutakhiran data pemilih, pencalonan, kampanye, dan distribusi logistik pemilihan. Tentu hal itu akan membuat beban petugas semakin berlipat ganda. Artinya, bukan tidak mungkin fenomena kelelahan petugas seperti Pemilu 2019 akan kembali terulang.
Kedua, politik gagasan bisa semakin menjauh dari diskursus pemilih karena terlalu banyak calon dan isu yang tersebar dari tiga jenis pemilihan yang berbarengan. Hal ini bisa menimbulkan ekses digunakannya cara-cara ilegal dalam berkampanye sebagai jalan pintas untuk menang. Misalnya politik uang, hegemoni identitas, dan hoaks. Padahal, melalui pemilu dan pilkada kita berharap ada internalisasi visi, misi, dan program yang dilakukan oleh calon kepada pemilih sebagai bagian dari aktivitas kampanye yang mengedukasi. Namun, hal itu akan sulit terealisasi karena substansi kampanye yang tidak fokus. Akibat bercampurnya isu nasional dan daerah karena pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada yang bersamaan pelaksanaannya.
Pengalaman Pemilu 2019, bahkan kampanye legislatif tenggelam oleh hiruk-pikuk pemilu presiden. Ini pula yang ditengarai berdampak pada tingginya suara tidak sah (invalid votes) pemilu anggota DPD yang mencapai 29.710.175 atau 19,02% dari jumlah pengguna hak pilih. Kajian Perludem atas evaluasi Pemilu 2019 menemukan bahwa pendidikan pemilih yang tidak maksimal serta tenggelamnya sosialisasi pemilu anggota DPD membuat pemilih kurang punya pengetahuan soal calon dan prosedur pemilihan DPD. Bayangkan, kalau kerumitan itu lantas ditambah lagi dengan pelaksanaan pilkada di waktu sama.
Ketiga, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang mengubah pendiriannya soal konstitusionalitas pemilu serentak 5 kotak sebagai satu-satunya pilihan yang konstitusional, sebagaimana termuat dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 (23 Januari 2014), sesungguhnya merupakan refleksi atas kompleksitas Pemilu 2019. Semestinya tidak kita tambah dengan kerumitan baru lagi. Apalagi dalam Putusan tersebut MK mengingatkan agar dalam memilih desain pemilu serentak pembuat undang-undang mengaitkan antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD 1945, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.
Pilkada Serentak 2027
Maka, dengan mempertimbangkan hal di atas, demi pelaksanaan pemilihan yang logis, jujur, adil dan demokratis, semestinya pilkada tidak digelar secara nasional pada 2024, guna menghindari kekacauan dan tragedi dalam demokrasi elektoral kita. Desain pilkada serentak nasional pada 2027 jauh lebih realistis dan sejalan dengan rancang bangun ketatanegaraan kita.
Daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala pemerintahannya pada 2022 dan 2023 tetap diselenggarakan pilkada pada 2022 dan 2023. Untuk daerah yang melaksanakan pilkada pada 2020, kepala daerah terpilih tetap menjabat selama lima tahun sampai akhir masa jabatannya. Dengan demikian, penjabat pun tidak terlalu lama mengisi posisi yang mestinya dipegang oleh kepala daerah definitif hasil pemilihan langsung oleh rakyat.
Terpenting, kita harus menghindari jatuhnya korban jiwa petugas pemilihan seperti Pemilu 2019. Pemilih pun lebih bisa berorientasi pada politik gagasan dan program, karena desain pemilihan yang tidak membuat mereka kelebihan beban. Semoga.
Pembina Perludem, Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum UI
PEMUNGUTAN suara Pilkada 2020 telah tuntas terselenggara. Saat ini tahapan beranjak memasuki penyelesaian perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi. Tentu banyak hal yang harus dievaluasi, baik dari sisi kerangka hukum, pelaksanaan teknis tahapan, partisipasi pemilih, maupun pengawasan dan penegakan hukum pemilihan.
Beranjak dari Pilkada 2020, juga ada isu krusial untuk kita diskusikan, yaitu terkait pelaksanaan pilkada gelombang berikutnya. Berdasarkan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pemungutan suara serentak nasional untuk pilkada di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024. Implikasi ketentuan tersebut, sebagaimana diatur pasal yang sama, maka kepala daerah hasil pemilihan 2017 (101 daerah) dan 2018 (170 daerah), yang akan berakhir masa jabatan pada 2022 dan 2023 tidak akan diselenggarakan pilkada di daerahnya pada tahun tersebut. Sedangkan kepala daerah hasil pemilihan 2020 hanya akan menjabat sampai 2024.
Provinsi yang masa jabatan gubernurnya berakhir pada 2022 meliputi Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sedangkan pada 2023 ada 17 provinsi yang gubernurnya akan berakhir masa jabatan antara lain Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Maluku, serta Papua. Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, akan diangkat penjabat gubernur, bupati, dan wali kota sampai dengan terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif melalui pilkada serentak nasional pada 2024.
Bila ditelusuri, konsep pilkada serentak nasional 2024 ini sesungguhnya bergeser dari pengaturan awal yang terdapat dalam UU Nomor 8/2015. Di mana pemungutan suara pilkada serentak nasional terjadwal dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada 2027. Dalam rancangan ini, di daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala pemerintahannya pada 2022 dan 2023 tetap diselenggarakan pemungutan suara pada tahun-tahun tersebut.
Ada beberapa pertimbangan yang membuat jadwal pilkada serentak nasional diselenggarakan 2027 berubah ke 2024, yang notabene juga akan berbarengan dengan pelaksanaan siklus lima tahunan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Antara lain, agar tidak terlalu sering ada pemilu dan pilkada sehingga stabilitas pembangunan dan ekonomi bisa terjaga baik, tanpa interupsi aktivitas politik yang terlalu intens. Selain juga untuk memastikan bahwa tidak banyak aktor politik yang lompat pagar dalam pencalonan jabatan politik akibat jadwal pemilu dan pilkada yang tidak bersamaan.
Selama ini memang ada kecenderungan anggota DPR, DPD, atau DPRD pada saat pelaksanaan pilkada mengundurkan diri dari jabatannya untuk maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Bila tahapan pemilihan beririsan waktunya, maka hal itu akan bisa dihindari. Termasuk pula bagi mereka yang ingin maju sebagai calon gubernur tentu tidak bisa di saat bersamaan maju sebagai calon presiden. Dikarenakan pencalonan akan berlangsung pada masa yang sama. Mereka yang ingin berkontes harus memilih salah satu saja dari jabatan politik yang diperebutkan saat pemilihan, baik di eksekutif maupun legislatif.
Ancaman Elektoral
Akan tetapi, di balik pertimbangan-pertimbangan tersebut, ada ancaman elektoral cukup besar kalau pemungutan suara pilkada serentak nasional tetap dilaksanakan pada November 2024, pada tahun yang sama dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Pertama, beban teknis berlebih membuat penyelenggaraan pemilu potensial tidak terkelola dengan baik. Berdasarkan hasil kajian lintas disiplin atas meninggal dan sakitnya petugas Pemilu 2019 yang dilakukan oleh Fisipol Universitas Gadjah Mada (2019), ditemukan bahwa meninggal dan sakitnya petugas tidak lepas dari rata-rata beban kerja petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang sangat tinggi. Sebelum, selama, dan sesudah hari pemilihan dalam menyelenggarakan pemungutan suara untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan lima surat suara. Selain itu, ada pula kendala terkait bimtek, logistik, dan kesehatan akibat kompleksitas pemilihan yang dilaksanakan.
Meskipun pemungutan suara pemilu dan pilkada pada 2024 direncanakan tidak bersamaan harinya, pemilu biasanya di bulan April, sementara pilkada pada November, namun tahapan-tahapannya akan beririsan satu sama lain. Sebab menuju pemungutan suara harus ada sejumlah tahapan persiapan yang dilakukan, dari pemutakhiran data pemilih, pencalonan, kampanye, dan distribusi logistik pemilihan. Tentu hal itu akan membuat beban petugas semakin berlipat ganda. Artinya, bukan tidak mungkin fenomena kelelahan petugas seperti Pemilu 2019 akan kembali terulang.
Kedua, politik gagasan bisa semakin menjauh dari diskursus pemilih karena terlalu banyak calon dan isu yang tersebar dari tiga jenis pemilihan yang berbarengan. Hal ini bisa menimbulkan ekses digunakannya cara-cara ilegal dalam berkampanye sebagai jalan pintas untuk menang. Misalnya politik uang, hegemoni identitas, dan hoaks. Padahal, melalui pemilu dan pilkada kita berharap ada internalisasi visi, misi, dan program yang dilakukan oleh calon kepada pemilih sebagai bagian dari aktivitas kampanye yang mengedukasi. Namun, hal itu akan sulit terealisasi karena substansi kampanye yang tidak fokus. Akibat bercampurnya isu nasional dan daerah karena pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada yang bersamaan pelaksanaannya.
Pengalaman Pemilu 2019, bahkan kampanye legislatif tenggelam oleh hiruk-pikuk pemilu presiden. Ini pula yang ditengarai berdampak pada tingginya suara tidak sah (invalid votes) pemilu anggota DPD yang mencapai 29.710.175 atau 19,02% dari jumlah pengguna hak pilih. Kajian Perludem atas evaluasi Pemilu 2019 menemukan bahwa pendidikan pemilih yang tidak maksimal serta tenggelamnya sosialisasi pemilu anggota DPD membuat pemilih kurang punya pengetahuan soal calon dan prosedur pemilihan DPD. Bayangkan, kalau kerumitan itu lantas ditambah lagi dengan pelaksanaan pilkada di waktu sama.
Ketiga, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang mengubah pendiriannya soal konstitusionalitas pemilu serentak 5 kotak sebagai satu-satunya pilihan yang konstitusional, sebagaimana termuat dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 (23 Januari 2014), sesungguhnya merupakan refleksi atas kompleksitas Pemilu 2019. Semestinya tidak kita tambah dengan kerumitan baru lagi. Apalagi dalam Putusan tersebut MK mengingatkan agar dalam memilih desain pemilu serentak pembuat undang-undang mengaitkan antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD 1945, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.
Pilkada Serentak 2027
Maka, dengan mempertimbangkan hal di atas, demi pelaksanaan pemilihan yang logis, jujur, adil dan demokratis, semestinya pilkada tidak digelar secara nasional pada 2024, guna menghindari kekacauan dan tragedi dalam demokrasi elektoral kita. Desain pilkada serentak nasional pada 2027 jauh lebih realistis dan sejalan dengan rancang bangun ketatanegaraan kita.
Daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala pemerintahannya pada 2022 dan 2023 tetap diselenggarakan pilkada pada 2022 dan 2023. Untuk daerah yang melaksanakan pilkada pada 2020, kepala daerah terpilih tetap menjabat selama lima tahun sampai akhir masa jabatannya. Dengan demikian, penjabat pun tidak terlalu lama mengisi posisi yang mestinya dipegang oleh kepala daerah definitif hasil pemilihan langsung oleh rakyat.
Terpenting, kita harus menghindari jatuhnya korban jiwa petugas pemilihan seperti Pemilu 2019. Pemilih pun lebih bisa berorientasi pada politik gagasan dan program, karena desain pemilihan yang tidak membuat mereka kelebihan beban. Semoga.
(bmm)