Perpres ini Bisa Mengembalikan TNI ke era Orde Baru

Kamis, 14 Mei 2020 - 16:03 WIB
Tak luput dari perhatiannya, soal alokasi dana yang diatur di rancangan perpres tersebut. Dalam hal ini TNI disebutkan bisa mendapat dana dari APBN dan APBD. Padahal dalam UU 3 Nomor 2002 tentang Pertahanan Negara mengatur anggaran TNI hanya dari APBN. “Karena fungsi pertahanan sifatnya terpusat, tidak didesentralisasikan,” ujarnya.

Tentu saja, ini juga melanggar mekanisme dari KUHAP. TNI bukan bagian dari penegak hukum. Sehingga pemberian kewenangan kepada TNI akan merusak dan mengganggu mekanisme dan sistem penegakan hukum. TNI adalah alat pertahanan negara, sehingga tidak bisa memiliki fungsi penindakan sebagaimana dimiliki oleh aparat kepolisian.

“Nah ini sesuatu yang akan merusak sistem dan menjadi ancaman serius bagi kebebasan sipil,” cetusnya kepada SINDOnews.

Hal kedua yang ia soroti adalah rancangan perpres ini memberi kewenangan yang sangat luas, mulai aspek penangkalan penindakan, pemulihan. Ia mengingatkan, fungsi penangkalan sangat luas.

Terutama jika pemberlakuan operasi militer di tengah masyarakat di dalam negeri dengan kewenangan luas. Tapi dalam operasi tidak ada pattern untuk tunduk pada peradilan umum.

“Jika sebuah operasi di dalam negeri berdampak pada warga negara dan terjadi suatu kesalahan, maka pertanggugjawabannya tidak jelas, mengingat militer tunduk pada sistem peradilan militer, tidak tunduk pada sistem peradilan umum,” katanya.

Tak ayal, ia menyatakan, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme akan membuka ruang impunitas baru, kekebalan. “Ini akan menimbulkan masalah. Tentu akan bisa mengembalikan format seperti di masa lalu,’ katanya.

Tak luput dari sorotannya adalah bakal overlapping-nya kewenangan TNI dengan dengan Kepolisian, BNPT dan Intelijen. “Ini akan menimbulkan konflik antar Lembaga,” kecamnya. Dalam operasi intelijen, operasi territorial dan sebagainya pada fungsi penangkapan akan menimbulkan overlapping dengan kepolisian dan penegak hukum.

Dalam konteks pemulihan rehabilitasi akan menimbulkan konflik dengan BNPT. “Jadi ini akan menimbulkan konflik kewenangan, sesuatu yang tidak baik dalam tata kelola pemerintahan,” tuturnya.

Namun dimatanya problem paling utama dari rancangan perpres ini adalah pemberian kewenangan pemulihan dan penindakan. “Itu berbahaya bagi kehidupan HAM di Indonesia. Ini bisa mengembalikan format kewenangan seperti di masa orde baru yang memiliki fungsi-fungsi keamanan dalam negeri atas nama mengatasi terorisme.

Al Araf tidak menutup kemungkinan TNI bisa dilibatkan dalam penanganan terorisme. Sebut saja sebuah ancaman terorisme di sebuah negara sudah tidak bisa ditangani aparat penegak hukum, maka militer dimungkinkan utuk terlibat. Tapi ini harus jelas ukurannya apa, bahwa tindak terorisme itu terjadi secara sitematis, meluas, dan memberi dampak pada kedaulatan negara.

Dan tidak boleh diabaikan, bahwa ancaman terorisme sudah tidak bisa ditangani melalui mekanisme penegakan hukum. Lalu, penentuan ekskalasi itu harus ditetapkan oleh Presiden. “Nah itu yang seharusnya dibuat,” paparnya.

Bagaimana tanggapan TNI atas desakan penolakan tersebut? Dalam sebuah kesempatan, Kapuspen TNI Mayor Jenderal Sisriadi menyatakan pihaknya membutuhkan kehadiran perpres itu agar semakin hati-hati dalam melaksanakan tugas bertindak. Baik untuk operasi tempur maupun non tempur.

Dan selama ini TNI terikat pada Rules Of Engagement (ROE) yang berisi aturan (larangan dan kewajiban) hukum humaniter. “Hukum humaniter memberi jaminan atas penghormatan TNI atas Hak Asasi Manusia dan sejarah umat manusia," katanya. Manusia dan sejarah umat manusia," kata dia.

Menurutnya, pelibatan TNI dalam memberantas terorisme justru menambah opsi bagi pemerintah dalam menanggulangi ancaman terorisme. "Terorisme saat ini sudah menjadi musuh bersama, bukan hanya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia saja tetapi menjadi musuh bersama masyarakat global, karena aksi-aksi terorisme selalu menebar ketakutan dalam masyarakat,” paparnya.

Tak lupa ia menyampaikan dengan Perpres ini, memudahkan TNI yang secara struktural memiliki kemampuan penanggulangan terorisme, dapat dikerahkan secara legal oleh pemerintah dengan batas-batas hukum positif yang berlaku dalam sistem penanggulangan terorisme.

TNI minta kewenangan-kewenangan baru

Sesungguhnya keinginan TNI untuk dilibatkan di ranah non militer bukan sesuatu yang baru. Dalam catatan Al Araf, ada 30 lebih memorandum of understanding (MOU) pelibatan TNI, seperti terlibat dalam cetak sawah, Keluarga Berencana, penanganan buruh, pengawasan gudang Bulog, pengenalan lingkungan sekolah.

Sebagian dari pelibatan itu berdasarkan MoU yang dibuat TNI dengan kementerian atau lembaga (K/L) tertentu, seperti MoU TNI dengan Kementerian Pertanian guna mendukung swasembada pangan, dan MoU TNI-AD dengan Bulog yang juga pada 2015.

Kemudian, terkait dengan restrukturisasi dan reorganisasi TNI. Salah satunya, dengan penempatan militer ke jabatan-jabatan sipil yang tentu bertentangan dengan Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang mengharuskan prajurit untuk mengundurkan diri atau pensiun dini dari dinas aktif keprajuritan, kecuali untuk jabatan-jabatan yang dikecualikan.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More