Perpres ini Bisa Mengembalikan TNI ke era Orde Baru
Kamis, 14 Mei 2020 - 16:03 WIB
Di sini banyak aspek HAM akan terlanggar, misalnya bagaimana mungkin TNI yang tak punya otoritas menangani terorisme bisa melakukan penggalangan orang, mencari informasi yang bisa jadi dengan penyadapan dan sebagainya. “Itu sangat serius bertentangan dengan UU terorisme, UU TNI dan UU HAM,” ujarnya.
Nah, dalam soal penangkalan ini, salah satu yang sangat penting adalah tidak ada klausul bagaimana pertanggungjawabannya. Padahal, jika bandingkan dengan UU terorisme yang baru, polisi sangat ketat jika ada anggotanya yang melanggar. “Polisi harus dibawa ke pengadilan, tidak boleh melanggar HAM, dan sebagainya,” cetusnya.
Atas berbagai alasan itu,”Perpres ini ada baiknya tidak disahkan oleh presiden dan ditolak oleh DPR.” Ia khawatir, jika Perpres ini akhirnya disahkan, pemerintah akan mengulang kesalahan di masa lalu, banyak melakukan pelanggaran HAM. Kisah-kisah kelam itu beberapa diantaranya bahkan belum terpecahkan hingga kini.
Komnas HAM mencatat ada 12 pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum terselesaikan oleh pemerintah. Yakni peristiwa 1965-1966; peristiwa penembakan misterius (petrus) 1982; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999; dan peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Kemudian, penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998; peristiwa Wamena dan Wasior 2001-2003; peristiwa Aceh-Jambo Keupok 2003; peristiwa Aceh-Simpang KKA 1998; peristiwa Aceh Rumoh Geudong 1989; serta peristiwa dukun santet di Jawa Timur 1998-1999.
Cukup Diatur dengan PP
Menurut Choirul, pelibatan TNI tidak perlu diatur dalam UU No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kalau mau, katanya, cukup bikin Peraturan Pemerintah di bawah UU TNI yang mengacu pada Pasal 7 tentang operasi militer non perang.
“Itu bisa, jadi bukan dalam koridor UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,” ujarnya. Sebab, tentara bukan penegak hukum. Dan,”Sampai kapan pun tidak boleh bertindak sebagai penegak hukum.”
Pandangan Choirul sejalan dengan pikiran Al Araf. Direktur Imparsial (LSM yang bergerak di bidang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran HAM di Indonesia) ini menyatakan secara substansi Rancangan Perpres itu banyak melanggar UU, termasuk UU TNI sendiri.
Perpres menyebut pengerahan TNI hanya berdasar atas perintah presiden, sementara menurut UU TNI no 34/2004 pasal 7 dalam hal TNI akan dilibatkan selain perang, salah satunya menangani terorisme itu harus berdasarkan Keputusan Presiden dengan persetujuan DPR.
Nah, dalam soal penangkalan ini, salah satu yang sangat penting adalah tidak ada klausul bagaimana pertanggungjawabannya. Padahal, jika bandingkan dengan UU terorisme yang baru, polisi sangat ketat jika ada anggotanya yang melanggar. “Polisi harus dibawa ke pengadilan, tidak boleh melanggar HAM, dan sebagainya,” cetusnya.
Atas berbagai alasan itu,”Perpres ini ada baiknya tidak disahkan oleh presiden dan ditolak oleh DPR.” Ia khawatir, jika Perpres ini akhirnya disahkan, pemerintah akan mengulang kesalahan di masa lalu, banyak melakukan pelanggaran HAM. Kisah-kisah kelam itu beberapa diantaranya bahkan belum terpecahkan hingga kini.
Komnas HAM mencatat ada 12 pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum terselesaikan oleh pemerintah. Yakni peristiwa 1965-1966; peristiwa penembakan misterius (petrus) 1982; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999; dan peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Kemudian, penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998; peristiwa Wamena dan Wasior 2001-2003; peristiwa Aceh-Jambo Keupok 2003; peristiwa Aceh-Simpang KKA 1998; peristiwa Aceh Rumoh Geudong 1989; serta peristiwa dukun santet di Jawa Timur 1998-1999.
Cukup Diatur dengan PP
Menurut Choirul, pelibatan TNI tidak perlu diatur dalam UU No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kalau mau, katanya, cukup bikin Peraturan Pemerintah di bawah UU TNI yang mengacu pada Pasal 7 tentang operasi militer non perang.
“Itu bisa, jadi bukan dalam koridor UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,” ujarnya. Sebab, tentara bukan penegak hukum. Dan,”Sampai kapan pun tidak boleh bertindak sebagai penegak hukum.”
Pandangan Choirul sejalan dengan pikiran Al Araf. Direktur Imparsial (LSM yang bergerak di bidang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran HAM di Indonesia) ini menyatakan secara substansi Rancangan Perpres itu banyak melanggar UU, termasuk UU TNI sendiri.
Perpres menyebut pengerahan TNI hanya berdasar atas perintah presiden, sementara menurut UU TNI no 34/2004 pasal 7 dalam hal TNI akan dilibatkan selain perang, salah satunya menangani terorisme itu harus berdasarkan Keputusan Presiden dengan persetujuan DPR.
Lihat Juga :
tulis komentar anda