Lusa Masa Tenang Pilkada 2020, Catat Sejumlah Potensi Pelanggaran Ini
Kamis, 03 Desember 2020 - 08:59 WIB
JAKARTA - Peneliti Perludem , Nurul Amalia Salabi mengingatkan kembali bahwa potensi dugaan pelanggaran Pilkada 2020 lebih tinggi di masa tenang dibandingkan masa kampanye Pilkada 2020 . Di masa tenang, pasangan calon ingin memastikan siapa yang akan memilih dan tidak memilih mereka.
"Masa tenang juga menjadi waktu bagi paslon untuk mengkonsolidasikan para saksi agar saksi bisa bekerja maksimal mengamankan suara paslon. Biasanya, dilakukan juga pemetaan wilayah mana yang sudah menunjukkan dukungannya untuk paslon," ujar Nurul saat dihubungi SINDOnews, Jumat (4/12/2020).
(Baca: Waspadai Kerumunan Akhir Kampanye)
Untuk itu, Nurul meminta pengawasan Gakkumdu khususnya Bawaslu harus makin diperketat, karena bisa jadi ada politik uang di wilayah-wilayah yang berdasarkan pemetaan paslon, pemilihnya masih gamang atau belum menunjukkan dukungan kuat untuk palon tertentu.
Nurul mengungkapkan, beberapa potensi pelanggaran di masa tenang yang dimulai pada 6 Desember antara lain politik uang. Masalah politik uang harus menjadi perhatian Bawaslu karena survei Perludem pada 12 Oktober- 10 November terhadap 9.000 kaum muda berusia 17-30 tahun, membuktikan 61 persen responden mengaku belum mengetahui rekam jejak calon.
Mantan Kepala BIN Beri Peringatan Keras kepada Pengepung Rumah Ibu Mahfud MD
(Baca juga : Mantan Kepala BIN Beri Peringatan Keras kepada Pengepung Rumah Ibu Mahfud MD)
Nah, ketidaktahuan pemilih ini bisa jadi tanda akan sedikit orang datang ke TPS untuk memilih. Apalagi di masa pandemi. "Kami khawatir, situasi itu akan dimanfaatkan oleh paslon untuk memobilisasi pemilih dengan politik uang," katanya.
Dengan begitu, KPU dan Bawaslu harus sosialisasi lagi lebih gencar soal bahaya dan dampak politik uang, apalagi di UU Pilkada No.10/2016 itu ada sanksi pidana dan denda bagi pemilih yang menerima politik uang. Di Pilkada calon tunggal juga lebih memiliki resiko tinggi soal potensi politik uangnya.
"Masa tenang juga menjadi waktu bagi paslon untuk mengkonsolidasikan para saksi agar saksi bisa bekerja maksimal mengamankan suara paslon. Biasanya, dilakukan juga pemetaan wilayah mana yang sudah menunjukkan dukungannya untuk paslon," ujar Nurul saat dihubungi SINDOnews, Jumat (4/12/2020).
(Baca: Waspadai Kerumunan Akhir Kampanye)
Untuk itu, Nurul meminta pengawasan Gakkumdu khususnya Bawaslu harus makin diperketat, karena bisa jadi ada politik uang di wilayah-wilayah yang berdasarkan pemetaan paslon, pemilihnya masih gamang atau belum menunjukkan dukungan kuat untuk palon tertentu.
Nurul mengungkapkan, beberapa potensi pelanggaran di masa tenang yang dimulai pada 6 Desember antara lain politik uang. Masalah politik uang harus menjadi perhatian Bawaslu karena survei Perludem pada 12 Oktober- 10 November terhadap 9.000 kaum muda berusia 17-30 tahun, membuktikan 61 persen responden mengaku belum mengetahui rekam jejak calon.
Mantan Kepala BIN Beri Peringatan Keras kepada Pengepung Rumah Ibu Mahfud MD
(Baca juga : Mantan Kepala BIN Beri Peringatan Keras kepada Pengepung Rumah Ibu Mahfud MD)
Nah, ketidaktahuan pemilih ini bisa jadi tanda akan sedikit orang datang ke TPS untuk memilih. Apalagi di masa pandemi. "Kami khawatir, situasi itu akan dimanfaatkan oleh paslon untuk memobilisasi pemilih dengan politik uang," katanya.
Dengan begitu, KPU dan Bawaslu harus sosialisasi lagi lebih gencar soal bahaya dan dampak politik uang, apalagi di UU Pilkada No.10/2016 itu ada sanksi pidana dan denda bagi pemilih yang menerima politik uang. Di Pilkada calon tunggal juga lebih memiliki resiko tinggi soal potensi politik uangnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda