Defisit Anggaran Tembus Rp764 Triliun
Rabu, 25 November 2020 - 05:02 WIB
ANGKA defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 semakin bengkak. Tengok saja, angka defisit telah menembus Rp764 triliun atau sekitar 4,67% terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga Oktober lalu. Hal itu menunjukkan penerimaan negara melambat, sementara belanja negara kian besar. Data publikasi terbaru dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan penerimaan negara sebesar Rp1.276,9 triliun per Oktober 2020 atau mengalami kontraksi hingga 15,4%.
Adapun penerimaan negara itu berasal dari realisasi perpajakan (pajak dan bea cukai) sebesar Rp991 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp278,8 triliun, dan penerimaan hibah sebesar Rp542 triliun. Sebaliknya, belanja negara telah mencapai Rp2.041,8 triliun atau tumbuh sekitar 13,6% hingga Oktober tahun ini. Rinciannya, meliputi belanja pemerintah pusat Rp1.343,8 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp698 triliun.
Sementara itu, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp826,9 triliun hingga Oktober 2020 atau sekitar 69% dari target sebesar Rp1.198,8 triliun yang dipatok dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72/2020. Apakah pemerintah bisa menutup kekurangan target realisasi pajak itu sebesar Rp371 triliun dalam waktu dua bulan? Jelas sulit, atau dengan kata lain target tidak tercapai. Walau demikian, pemerintah tak berkecil hati, tetap berusaha menggenjot penerimaan pajak melalui program ekstensifikasi dan intensifikasi.
Konsekuensi dari realisasi penerimaan pajak yang rendah sebagai sumber utama penerimaan anggaran negara di saat belanja anggaran melambung, maka defisit APBN pun semakin lebar. Lalu, mengatasi kesenjangan antara penerimaan dan belanja anggaran negara jalan pintasnya adalah menambah utang. Mengutip data dari Kemenkeu, terungkap bahwa pemerintah telah menarik utang baru Rp958,6 triliun hingga akhir Oktober 2020. Adapun defisit APBN 2020 sebesar 4,67% terhadap PDB atau setara Rp764,9 triliun sampai akhir Oktober 2020.
Sementara itu, pemerintah mematok defisit anggaran tahun ini pada level 6,34% terhadap PDB atau Rp1.039,2 triliun. Utang tersebut bersumber dari surat berharga negara (SBN) neto Rp943,5 triliun dan pinjaman Rp15,2 triliun.
Benar bahwa pandemi Covid-19 ini telah memicu kenaikan utang semua negara, tidak sebatas utang Indonesia. Sebagaimana dibeberkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, utang negara-negara G-20 mengalami peningkatan rata-rata 30% hingga 50%. Saat ini, rasio utang pemerintah berada di kisaran 36% hingga 37% terhadap PDB. Meski rasio utang terhadap PDB meningkat, namun masih lebih rendah dibandingkan sejumlah negara lain. Hanya, pemerintah tetap harus diingatkan untuk selalu waspada dalam urusan utang. Juga maksimalkan pemanfaatan utang agar perekonomian nasional bisa segera bangkit dari resesi ekonomi.
Adapun penerimaan negara itu berasal dari realisasi perpajakan (pajak dan bea cukai) sebesar Rp991 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp278,8 triliun, dan penerimaan hibah sebesar Rp542 triliun. Sebaliknya, belanja negara telah mencapai Rp2.041,8 triliun atau tumbuh sekitar 13,6% hingga Oktober tahun ini. Rinciannya, meliputi belanja pemerintah pusat Rp1.343,8 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp698 triliun.
Sementara itu, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp826,9 triliun hingga Oktober 2020 atau sekitar 69% dari target sebesar Rp1.198,8 triliun yang dipatok dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72/2020. Apakah pemerintah bisa menutup kekurangan target realisasi pajak itu sebesar Rp371 triliun dalam waktu dua bulan? Jelas sulit, atau dengan kata lain target tidak tercapai. Walau demikian, pemerintah tak berkecil hati, tetap berusaha menggenjot penerimaan pajak melalui program ekstensifikasi dan intensifikasi.
Konsekuensi dari realisasi penerimaan pajak yang rendah sebagai sumber utama penerimaan anggaran negara di saat belanja anggaran melambung, maka defisit APBN pun semakin lebar. Lalu, mengatasi kesenjangan antara penerimaan dan belanja anggaran negara jalan pintasnya adalah menambah utang. Mengutip data dari Kemenkeu, terungkap bahwa pemerintah telah menarik utang baru Rp958,6 triliun hingga akhir Oktober 2020. Adapun defisit APBN 2020 sebesar 4,67% terhadap PDB atau setara Rp764,9 triliun sampai akhir Oktober 2020.
Sementara itu, pemerintah mematok defisit anggaran tahun ini pada level 6,34% terhadap PDB atau Rp1.039,2 triliun. Utang tersebut bersumber dari surat berharga negara (SBN) neto Rp943,5 triliun dan pinjaman Rp15,2 triliun.
Benar bahwa pandemi Covid-19 ini telah memicu kenaikan utang semua negara, tidak sebatas utang Indonesia. Sebagaimana dibeberkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, utang negara-negara G-20 mengalami peningkatan rata-rata 30% hingga 50%. Saat ini, rasio utang pemerintah berada di kisaran 36% hingga 37% terhadap PDB. Meski rasio utang terhadap PDB meningkat, namun masih lebih rendah dibandingkan sejumlah negara lain. Hanya, pemerintah tetap harus diingatkan untuk selalu waspada dalam urusan utang. Juga maksimalkan pemanfaatan utang agar perekonomian nasional bisa segera bangkit dari resesi ekonomi.
(bmm)
tulis komentar anda