Vaksin Covid-19: Efektivitas dan Akseptabilitas
Selasa, 17 November 2020 - 05:15 WIB
Kalau hanya disuntik satu kali atau vaksinnya rusak karena suhu tidak terjaga, tentu tidak akan efektif. Uji klinis vaksin produksi Pfizer ini melibatkan 43.538 relawan peserta uji.
Pada waktu diumumkan beberapa hari lalu bahwa efektivitas vaksin lebih dari 90%, sudah ada 38.955 relawan yang selesai disuntik dua kali. Sebagian dapat vaksin dan sebagian lainnya plasebo. Dalam laporan sementara/interim ini tercatat 94 kasus terkonfirmasi Covid-19 pada relawan peserta uji klinik, 62 orang di antaranya dianalisis dan didapatkan nilai efektivitas lebih dari 90% ini. Kurang lebih artinya adalah lebih dari 90% kasus positif Covid-19 terjadi pada kelompok yang hanya mendapat plasebo. Penelitian ini dikabarkan masih akan dilanjutkan sampai didapat 164 kasus konfirmasi Covid-19 dan analisis akhir/final akan disajikan kemudian.
Kedua, berapa lama proteksi akan bertahan di dalam tubuh orang yang sudah divaksin. Hal ini memang sulit dijawab karena Covid-19 baru sekitar 10 bulan ada di muka bumi. Yang jelas, sudah ada beberapa laporan ilmiah yang membuktikan bahwa mereka yang sudah sembuh dari Covid-19 dan diasumsikan sudah ada antibodi/kekebalan, tetapi kemudian ternyata jatuh sakit lagi dan bahkan ada yang sakitnya lebih berat seperti di laporkan di Belanda dan Amerika Serikat.
Kejadian infeksi ulang juga pernah dilaporkan antara lain di Hong Kong, tapi sakit keduanya tidaklah lebih berat dari kejadian pertama. Juga ada laporan dari India, Ekuador, dan Belgia. Fenomena ini masih dikaji mendalam oleh para ahli dan setidaknya tentu akan memengaruhi analisis tentang berapa lama kekebalan akibat vaksinasi akan bertahan.
Ketiga, hal yang ditunggu dari hasil uji klinis fase tiga adalah keamanan. Artinya, jangan sampai ada orang yang disuntik vaksin lalu malah mendapat gangguan kesehatan lain yang serius. Ini hal yang amat penting dan benar-benar harus terjamin. Ini pulalah yang menyebabkan ada beberapa uji klinis kandidat vaksin Covid-19 yang dihentikan sementara beberapa waktu lalu, walaupun memang sesudah analisis mendalam, uji klinis dinyatakan dapat diteruskan karena ternyata tidak ada hubungan antara gangguan kesehatan dengan vaksinasi yang diberikan.
Harus disadari bahwa penghentian sementara uji klinis vaksin memang dapat saja dilakukan. Bahkan, justru ini menunjukkan unsur kehati-hatian yang sangat tinggi dalam menjamin keamanan sebuah vaksin. Tegasnya, keamanan sebuah vaksin adalah hal yang mutlak.
Akseptabilitas Masyarakat
Tersedianya vaksin yang efektif dan aman tentu belum menjamin sepenuhnya bahwa program vaksinasi akan berjalan baik dan memberi hasil maksimal. Selain manajemen distribusi vaksin yang cukup rumit dan harus dipersiapkan dan dikerjakan dengan amat teliti—serta melibatkan sampai jutaan petugas—faktor akseptabilitas masyarakat juga harus ditangani dengan baik dan cermat.
Salah satu faktornya adalah kelompok masyarakat yang karena berbagai alasan menolak divaksin. Fenomena ini sudah lama terjadi untuk vaksin secara umum. Tentu kita perlu mengantisipasi lebih ketat lagi untuk vaksin Covid-19 yang sejak awal memang sudah ramai dibicarakan dari berbagai aspek.
Perlu diketahui juga bahwa perkembangan penolakan vaksin bukan hanya masalah Indonesia, melainkan persoalan dunia yang juga jadi perhatian WHO. Dari berbagai kajian selama ini diketahui bahwa alasan orang menolak dan atau ragu-ragu divaksin dapat amat beragam. Bisa jadi kurangnya informasi tentang perlunya vaksin atau salah persepsi tentang kandungan vaksin, aspek kehalalan, dan pertimbangan pribadi/kelompok tertentu yang mungkin berkembang. Selain juga hal-hal yang lebih spesifik dalam kaitan sosial politik.
Pada waktu diumumkan beberapa hari lalu bahwa efektivitas vaksin lebih dari 90%, sudah ada 38.955 relawan yang selesai disuntik dua kali. Sebagian dapat vaksin dan sebagian lainnya plasebo. Dalam laporan sementara/interim ini tercatat 94 kasus terkonfirmasi Covid-19 pada relawan peserta uji klinik, 62 orang di antaranya dianalisis dan didapatkan nilai efektivitas lebih dari 90% ini. Kurang lebih artinya adalah lebih dari 90% kasus positif Covid-19 terjadi pada kelompok yang hanya mendapat plasebo. Penelitian ini dikabarkan masih akan dilanjutkan sampai didapat 164 kasus konfirmasi Covid-19 dan analisis akhir/final akan disajikan kemudian.
Kedua, berapa lama proteksi akan bertahan di dalam tubuh orang yang sudah divaksin. Hal ini memang sulit dijawab karena Covid-19 baru sekitar 10 bulan ada di muka bumi. Yang jelas, sudah ada beberapa laporan ilmiah yang membuktikan bahwa mereka yang sudah sembuh dari Covid-19 dan diasumsikan sudah ada antibodi/kekebalan, tetapi kemudian ternyata jatuh sakit lagi dan bahkan ada yang sakitnya lebih berat seperti di laporkan di Belanda dan Amerika Serikat.
Kejadian infeksi ulang juga pernah dilaporkan antara lain di Hong Kong, tapi sakit keduanya tidaklah lebih berat dari kejadian pertama. Juga ada laporan dari India, Ekuador, dan Belgia. Fenomena ini masih dikaji mendalam oleh para ahli dan setidaknya tentu akan memengaruhi analisis tentang berapa lama kekebalan akibat vaksinasi akan bertahan.
Ketiga, hal yang ditunggu dari hasil uji klinis fase tiga adalah keamanan. Artinya, jangan sampai ada orang yang disuntik vaksin lalu malah mendapat gangguan kesehatan lain yang serius. Ini hal yang amat penting dan benar-benar harus terjamin. Ini pulalah yang menyebabkan ada beberapa uji klinis kandidat vaksin Covid-19 yang dihentikan sementara beberapa waktu lalu, walaupun memang sesudah analisis mendalam, uji klinis dinyatakan dapat diteruskan karena ternyata tidak ada hubungan antara gangguan kesehatan dengan vaksinasi yang diberikan.
Harus disadari bahwa penghentian sementara uji klinis vaksin memang dapat saja dilakukan. Bahkan, justru ini menunjukkan unsur kehati-hatian yang sangat tinggi dalam menjamin keamanan sebuah vaksin. Tegasnya, keamanan sebuah vaksin adalah hal yang mutlak.
Akseptabilitas Masyarakat
Tersedianya vaksin yang efektif dan aman tentu belum menjamin sepenuhnya bahwa program vaksinasi akan berjalan baik dan memberi hasil maksimal. Selain manajemen distribusi vaksin yang cukup rumit dan harus dipersiapkan dan dikerjakan dengan amat teliti—serta melibatkan sampai jutaan petugas—faktor akseptabilitas masyarakat juga harus ditangani dengan baik dan cermat.
Salah satu faktornya adalah kelompok masyarakat yang karena berbagai alasan menolak divaksin. Fenomena ini sudah lama terjadi untuk vaksin secara umum. Tentu kita perlu mengantisipasi lebih ketat lagi untuk vaksin Covid-19 yang sejak awal memang sudah ramai dibicarakan dari berbagai aspek.
Perlu diketahui juga bahwa perkembangan penolakan vaksin bukan hanya masalah Indonesia, melainkan persoalan dunia yang juga jadi perhatian WHO. Dari berbagai kajian selama ini diketahui bahwa alasan orang menolak dan atau ragu-ragu divaksin dapat amat beragam. Bisa jadi kurangnya informasi tentang perlunya vaksin atau salah persepsi tentang kandungan vaksin, aspek kehalalan, dan pertimbangan pribadi/kelompok tertentu yang mungkin berkembang. Selain juga hal-hal yang lebih spesifik dalam kaitan sosial politik.
tulis komentar anda