Vaksin Covid-19: Efektivitas dan Akseptabilitas

Selasa, 17 November 2020 - 05:15 WIB
loading...
Vaksin Covid-19: Efektivitas dan Akseptabilitas
Prof Tjandra Yoga Aditama
A A A
Prof Tjandra Yoga Aditama
Guru Besar Paru-paru FKUI, Mantan Direktur WHO SEARO, Mantan Dirjen P2P dan Kepala Balitbangkes

SALAH satu kunci penting penanggulangan Covid-19 adalah vaksinasi yang dapat memberi kekebalan kepada masyarakat. Hal ini pula yang menyebabkan negara-negara di dunia, badan internasional, para pakar dan perusahaan produsen berupaya amat keras agar vaksin dapat segera tersedia.

Di sisi lain, kita tahu bahwa ada dua aspek utama dari sebuah vaksin, yaitu pertama, efektivitas proteksinya agar orang yang mendapat vaksin memang bisa terlindung sehingga tidak sakit. Kedua, keamanan bagi orang yang divaksin agar tidak ada hal membahayakan yang terjadi.

Status kedua aspek ini harus jelas dulu secara menyeluruh sebelum program vaksinasi dilaksanakan. Ditambah lagi satu faktor lain yang amat penting, yaitu akseptabilitas masyarakat.

Efektivitas dan Keamanan
Uji klinik vaksin Covid-19 kini tengah berlangsung di berbagai negara. Setidaknya ada tiga hal penting yang perlu diketahui dari hasil uji klinis ini nantinya. Pertama, soal berapa besar tingkat efektivitas proteksi. Artinya, dari mereka yang dapat vaksin akan dilihat seberapa besar yang benar-benar terlindungi dan tidak jatuh sakit. Kalau efektivitasnya 70%, artinya ada 30% penduduk yang walaupun sudah divaksin, tetap mungkin tertular penyakit ini. Kalau efektivitasnya 50%, tentu separuh akan terlindungi dan separuh lagi tidak. Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini maka mungkin saja nilai cut off efektivitas ini tidak begitu tinggi. Tujuannya agar segera ada vaksin di dunia walaupun mungkin efektivitasnya belum ideal sekali.

Beberapa waktu ini ada laporan sementara bahwa salah satu vaksin Covid-19 yang efektivitasnya disebut lebih dari 90% dalam tujuh hari evaluasi sesudah penyuntikan kedua. Sebuah berita yang menjanjikan. Tapi, ada beberapa informasi terkait lain yang perlu dievaluasi lebih lanjut. Proses pembuatan vaksin dengan teknologi modern menggunakan RNA sintetis untuk mengaktifkan sistem imun/kekebalan ini ternyata membawa tantangan berat. Tantangannya adalah vaksin harus disimpan dalam suhu minus 70 derajat Celsius (-94 F) atau kurang lebih sama dengan suhu Antartika ketika musim dingin. Karenanya, ia disebut pula dengan “ultra-cold vaccine”. Informasi menyebutkan bahwa vaksin akan rusak kalau suhu pendingin tidak memenuhi standar.

Nah, hal ini tentu jadi masalah besar untuk Indonesia dan negara tropis lainnya, bahkan juga di negara yang lebih dingin suhunya, karena akan memerlukan “a very complex distribution plan”. Apalagi, kalau diingat bahwa vaksin ini harus diberikan dua kali dalam rentang waktu beberapa pekan. Artinya, petugas harus datang ke lokasi penyuntikan (yang mungkin desa di pulau terpencil misalnya) dengan vaksin yang tersimpan dalam suhu minus 70 derajat Celsius, lalu balik lagi beberapa pekan kemudian dengan suhu “ultra cold” yang tetap terjaga.

Kalau hanya disuntik satu kali atau vaksinnya rusak karena suhu tidak terjaga, tentu tidak akan efektif. Uji klinis vaksin produksi Pfizer ini melibatkan 43.538 relawan peserta uji.

Pada waktu diumumkan beberapa hari lalu bahwa efektivitas vaksin lebih dari 90%, sudah ada 38.955 relawan yang selesai disuntik dua kali. Sebagian dapat vaksin dan sebagian lainnya plasebo. Dalam laporan sementara/interim ini tercatat 94 kasus terkonfirmasi Covid-19 pada relawan peserta uji klinik, 62 orang di antaranya dianalisis dan didapatkan nilai efektivitas lebih dari 90% ini. Kurang lebih artinya adalah lebih dari 90% kasus positif Covid-19 terjadi pada kelompok yang hanya mendapat plasebo. Penelitian ini dikabarkan masih akan dilanjutkan sampai didapat 164 kasus konfirmasi Covid-19 dan analisis akhir/final akan disajikan kemudian.

Kedua, berapa lama proteksi akan bertahan di dalam tubuh orang yang sudah divaksin. Hal ini memang sulit dijawab karena Covid-19 baru sekitar 10 bulan ada di muka bumi. Yang jelas, sudah ada beberapa laporan ilmiah yang membuktikan bahwa mereka yang sudah sembuh dari Covid-19 dan diasumsikan sudah ada antibodi/kekebalan, tetapi kemudian ternyata jatuh sakit lagi dan bahkan ada yang sakitnya lebih berat seperti di laporkan di Belanda dan Amerika Serikat.

Kejadian infeksi ulang juga pernah dilaporkan antara lain di Hong Kong, tapi sakit keduanya tidaklah lebih berat dari kejadian pertama. Juga ada laporan dari India, Ekuador, dan Belgia. Fenomena ini masih dikaji mendalam oleh para ahli dan setidaknya tentu akan memengaruhi analisis tentang berapa lama kekebalan akibat vaksinasi akan bertahan.

Ketiga, hal yang ditunggu dari hasil uji klinis fase tiga adalah keamanan. Artinya, jangan sampai ada orang yang disuntik vaksin lalu malah mendapat gangguan kesehatan lain yang serius. Ini hal yang amat penting dan benar-benar harus terjamin. Ini pulalah yang menyebabkan ada beberapa uji klinis kandidat vaksin Covid-19 yang dihentikan sementara beberapa waktu lalu, walaupun memang sesudah analisis mendalam, uji klinis dinyatakan dapat diteruskan karena ternyata tidak ada hubungan antara gangguan kesehatan dengan vaksinasi yang diberikan.

Harus disadari bahwa penghentian sementara uji klinis vaksin memang dapat saja dilakukan. Bahkan, justru ini menunjukkan unsur kehati-hatian yang sangat tinggi dalam menjamin keamanan sebuah vaksin. Tegasnya, keamanan sebuah vaksin adalah hal yang mutlak.

Akseptabilitas Masyarakat
Tersedianya vaksin yang efektif dan aman tentu belum menjamin sepenuhnya bahwa program vaksinasi akan berjalan baik dan memberi hasil maksimal. Selain manajemen distribusi vaksin yang cukup rumit dan harus dipersiapkan dan dikerjakan dengan amat teliti—serta melibatkan sampai jutaan petugas—faktor akseptabilitas masyarakat juga harus ditangani dengan baik dan cermat.

Salah satu faktornya adalah kelompok masyarakat yang karena berbagai alasan menolak divaksin. Fenomena ini sudah lama terjadi untuk vaksin secara umum. Tentu kita perlu mengantisipasi lebih ketat lagi untuk vaksin Covid-19 yang sejak awal memang sudah ramai dibicarakan dari berbagai aspek.

Perlu diketahui juga bahwa perkembangan penolakan vaksin bukan hanya masalah Indonesia, melainkan persoalan dunia yang juga jadi perhatian WHO. Dari berbagai kajian selama ini diketahui bahwa alasan orang menolak dan atau ragu-ragu divaksin dapat amat beragam. Bisa jadi kurangnya informasi tentang perlunya vaksin atau salah persepsi tentang kandungan vaksin, aspek kehalalan, dan pertimbangan pribadi/kelompok tertentu yang mungkin berkembang. Selain juga hal-hal yang lebih spesifik dalam kaitan sosial politik.

Tentu kita perlu menyiapkan program dan komunikasi yang tepat dan menyeluruh untuk meningkatkan akseptabilitas masyarakat. Setidaknya ada tiga kelompok pendekatan yang mungkin bisa dilakukan untuk membangun pemahaman yang benar tentang vaksinasi ini (vaccine literacy) sehingga masyarakat siap divaksin. Pertama, soal informasi yang jelas dan berbasis ilmiah tentang efektivitas dan keamanan vaksin, seperti sudah dibahas di atas. Jadi, pendekatan pertama lebih ke aspek kesehatan. Kedua, perumusan bentuk komunikasi yang lengkap, benar, dan terarah. Artinya, aspek komunikasi publik yang mencakup apa pesannya, siapa yang menyampaikan, bagaimana media penyampaiannya, siapa sasarannya dll. Dalam hal ini harus diingat bahwa pesan yang perlu disampaikan harus cukup luas, termasuk misalnya mengapa vaksin sudah dapat ditemukan dalam waktu sekitar setahun, sementara vaksin untuk penyakit lain butuh waktu puluhan tahun bahkan lebih dan bahkan ada penyakit yang belum ditemukan vaksinnya sampai sekarang.

Ketiga, pendekatan khusus, termasuk menyelesaikan aspek kehalalan vaksin yang jadi hal penting dan sensitif di negara kita. Aspek lain dari pendekatan khusus ini mungkin saja juga menyangkut sisi keamanan, politis, ekonomi, dan lain-lain.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1078 seconds (0.1#10.140)