Masa Depan Pekerjaan Pascapandemi
Rabu, 04 November 2020 - 06:33 WIB
Sama persis dengan prognosis awal saya tentang pekerjaan yang terdampak oleh karena pandemi, laporan WEF meyakinkan kita semua bahwa teknologi menjadi kunci terpenting dalam mendefinisikan ulang apa itu “kerja”. Empat bulan lalu ketika kita sedang memasuki tahap awal pandemi, saya sudah memperkirakan bahwa perubahan teknologi telah menciptakan situasi normal baru. Artinya, teknologi telah menghadirkan new normal itu sendiri, mau karena ada pandemi ataupun tidak. Inovasi dan pengembangan teknologi, tidak akan berhenti. Itu karena karakter teknologi tidak dapat dihentikan atau diperlambat. Maka, dari sudut pandang tersebut, akan terjadi suatu normal baru-normal baru berikutnya yang dipicu oleh kehadiran teknologi baru.
Otomasi yang menjadi pilihan paling masuk akal bagi para eksekutif dan pemilik bisnis menyiasati pandemi Covid-19 dan resesi yang ditimbulkannya, akan menghasilkan disrupsi lanjutan bagi kalangan pekerja. Kekhawatiran bahwa pekerja akan kehilangan pekerjaan akibat adanya otomasi akan terus membesar, yang dalam skala setiap level –mulai perusahaan hingga level negara—memerlukan pengelolaan dan komunikasi yang tidak mudah.
Pada entitas perusahaan, fungsi-fungsi tradisional pekerja yang tergantikan oleh mekanisme otomasi, masih dimungkinkan untuk dilakukan reskilling dan upskilling bagi pekerjanya. Mekanisme pragmatis dapat ditempuh oleh setiap perusahaan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) misalnya. Namun, bagaimana mengelola efek otomasi pada level negara, menjadi pekerjaan yang sangat menantang, karena otomasi akan menghasilkan agregat di mana ratusan ribu atau jutaan orang akan kehilangan pekerjaan pada kurun waktu yang sama.
Otomasi yang bersumber pada penerapan teknologi juga akan mendefinisikan ulang kesenjangan antara kelompok-kelompok pekerja di dalam suatu ekosistem, entah itu perusahaan kecil, perusahaan jasa, perusahaan manufaktur, atau bahkan birokrasi sekalipun. Apa itu artinya? Kesenjangan akan semakin lebar antartingkat di dalam organisasi. Jurang kesenjangan keterampilan –dan dengan demikian jurang pendapatan— antara pekerja yang terdongkrak ke atas dengan mereka yang terdegradasi akan semakin besar dan butuh jalan keluar yang memerlukan intervensi negara dalam bentuk regulasi atau undang-undang.
Peran Negara
Laporan WEF terbaru yang sebagian saya kutip tersebut menyatakan dengan jelas dan terang-benderang perlunya peran sentral negara dalam menciptakan keseimbangan baru dalam dunia kerja. Peran tersebut salah satunya dinyatakan melalui upaya-upaya reskilling dan upskilling. Reskilling (pengahlian ulang) diperlukan karena instrumen, perangkat, sistem bekerja, dengan seluruh rantai pasokan mulai dari hulu hingga hilir telah berubah. Sementara upskilling (peningkatan keahlian) juga menjadi langkah mendesak karena teknologi yang terus diperbarui tetap akan muncul dari waktu ke waktu dan berubah semakin cepat dan maju.
Kita akan segera memasuki tahun yang baru, dan semangat zaman yang baru setelah berbulan-bulan dihajar oleh pandemi yang melumpuhkan. Setiap kita yang masih bekerja dan membutuhkan kerja, perlu menyiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi masa depan yang makin kompleks tersebut. Intervensi dan peran negara yang optimum dan tepat sasaran akan membuat setiap pekerja dapat beradaptasi dengan output yang makin tinggi dan outcome yang makin produktif. Sebaliknya, jika meleset, masa depan “kerja” adalah masa yang sangat muram.
Otomasi yang menjadi pilihan paling masuk akal bagi para eksekutif dan pemilik bisnis menyiasati pandemi Covid-19 dan resesi yang ditimbulkannya, akan menghasilkan disrupsi lanjutan bagi kalangan pekerja. Kekhawatiran bahwa pekerja akan kehilangan pekerjaan akibat adanya otomasi akan terus membesar, yang dalam skala setiap level –mulai perusahaan hingga level negara—memerlukan pengelolaan dan komunikasi yang tidak mudah.
Pada entitas perusahaan, fungsi-fungsi tradisional pekerja yang tergantikan oleh mekanisme otomasi, masih dimungkinkan untuk dilakukan reskilling dan upskilling bagi pekerjanya. Mekanisme pragmatis dapat ditempuh oleh setiap perusahaan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) misalnya. Namun, bagaimana mengelola efek otomasi pada level negara, menjadi pekerjaan yang sangat menantang, karena otomasi akan menghasilkan agregat di mana ratusan ribu atau jutaan orang akan kehilangan pekerjaan pada kurun waktu yang sama.
Otomasi yang bersumber pada penerapan teknologi juga akan mendefinisikan ulang kesenjangan antara kelompok-kelompok pekerja di dalam suatu ekosistem, entah itu perusahaan kecil, perusahaan jasa, perusahaan manufaktur, atau bahkan birokrasi sekalipun. Apa itu artinya? Kesenjangan akan semakin lebar antartingkat di dalam organisasi. Jurang kesenjangan keterampilan –dan dengan demikian jurang pendapatan— antara pekerja yang terdongkrak ke atas dengan mereka yang terdegradasi akan semakin besar dan butuh jalan keluar yang memerlukan intervensi negara dalam bentuk regulasi atau undang-undang.
Peran Negara
Laporan WEF terbaru yang sebagian saya kutip tersebut menyatakan dengan jelas dan terang-benderang perlunya peran sentral negara dalam menciptakan keseimbangan baru dalam dunia kerja. Peran tersebut salah satunya dinyatakan melalui upaya-upaya reskilling dan upskilling. Reskilling (pengahlian ulang) diperlukan karena instrumen, perangkat, sistem bekerja, dengan seluruh rantai pasokan mulai dari hulu hingga hilir telah berubah. Sementara upskilling (peningkatan keahlian) juga menjadi langkah mendesak karena teknologi yang terus diperbarui tetap akan muncul dari waktu ke waktu dan berubah semakin cepat dan maju.
Kita akan segera memasuki tahun yang baru, dan semangat zaman yang baru setelah berbulan-bulan dihajar oleh pandemi yang melumpuhkan. Setiap kita yang masih bekerja dan membutuhkan kerja, perlu menyiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi masa depan yang makin kompleks tersebut. Intervensi dan peran negara yang optimum dan tepat sasaran akan membuat setiap pekerja dapat beradaptasi dengan output yang makin tinggi dan outcome yang makin produktif. Sebaliknya, jika meleset, masa depan “kerja” adalah masa yang sangat muram.
(bmm)
tulis komentar anda