Quo Vadis Bahasa Gaul

Rabu, 28 Oktober 2020 - 06:17 WIB
Ariani Selviana Pardosi
Ariani Selviana Pardosi

Ahli Bahasa, Pengajar BIPA di Tiongkok, dan Pengurus Kampung Bahasa Bloombank Indonesia

MOMENTUM Sumpah Pemuda 1928 sebuah pembuktian jati diri bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa. Menetapkan bahasa Indonesia sebagai lingua franca diyakini dapat membangkitkan spirit persatuan antarsuku bangsa dan bahasa. Pada 28 Oktober 1928, para jong utusan daerah lantang mengakui tiga identitas kebangsaan, “bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia”.

Kala itu, memiliki bahasa pemersatu menimbulkan kebanggaan dan nasionalisme. Dasar pemilihan bahasa Melayu rendah sebagai lingua franca di bumi Nusantara karena sebarannya luas, penuturnya banyak, dan kesederhanaannya secara spirit menumbuhkan rasa sebagai bangsa yang satu. Pemberian gelar baru “Bahasa Nasional” untuk bahasa Melayu membungkus spirit keindonesian yang sangat kental.

Bahasa Indonesia telah memantapkan kedudukannya selama 92 tahun dalam mempersatukan bangsa Indonesia bahkan pada era milenial ini, bahasa Indonesia mampu mengukuhkan pamornya sebagai bahasa yang layak dipelajari oleh penutur asing. Dalam menghadapi era globalisasi, pemerintah pun tak luput mengantisipasinya dengan menelurkan kebijakan wajib memiliki paspor bahasa bagi tenaga kerja dan investor asing yang akan berinvestasi dan bekerja di Indonesia.



Sebagaimana pentingnya sebuah paspor untuk perizinan memasuki sebuah negara, paspor bahasa kurang lebih memiliki fungsi yang sama. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia inferior di rumahnya sendiri mendorong pemerintah dalam hal ini Badan Bahasa yang bernaung dalam Kementerian Pendidikan Nasional untuk mengangkat martabat bahasa Indonesia untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri melalui penetapan paspor bahasa. Badan Bahasa mengusulkan hal tersebut juga dalam kaitan mengusulkan bahasa Indonesia sebagai lingua franca di ASEAN.

Paspor bahasa memang menyasar penutur asing yang akan datang ke Indonesia. sebagai analogi, mahasiswa atau pekerja asing yang akan belajar atau bekerja di sebuah negara dituntut untuk menguasai bahasa setempat dengan standar tertentu. Untuk bahasa Inggris, ada TOEFL, bahasa Korea dengan Test of Proficiency in Korean (TOPIK) , bahasa Mandarin dengan Hanyu Shuiping Kaoshi (HSK). Selain memenuhi fungsi teknis untuk memenuhi persyaratan akademik, tes-tes standar bahasa asing itu secara filosofis merupakan sebuah proklamasi bahwa bahasa tersebut adalah bahasa tuan rumah negara itu. Penguasaan bahasa sebagai syarat mutlak melenggang ke negara-negara tersebut.

Saat tercetus ide penetapan paspor bahasa, para ahli, pemerhati, dan pencinta bahasa Indonesia sangat bergembira. Akhirnya selama bertahun-tahun menjadi jongos bahasa asing, bahasa Indonesia naik kelas menjadi majikan. Namun, ide itu masih merupakan mimpi di siang bolong yang terhempas oleh kenyataan bahasa Indonesia kurang pendukung. Kurang pembela yang mau berjuang untuk mengantarnya ke tempat terhormat. Kebijakan ini harus mengalah pada pertimbangan untung-rugi finansial daripada penerapan idealisme. Kebijakan ini terpaksa ditunda untuk waktu yang tak berbatas.

Daya Pikat Bahasa Indonesia
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More