UU Ciptaker: Sederhanakan dan Percepat Penyelenggaraan Penataan Ruang
Minggu, 25 Oktober 2020 - 07:46 WIB
Poin pertama, mengenai percepatan penyelesaian produk RTR, terdapat empat langkah dalam upaya mewujudkan itu yang tertera dalam UU Ciptaker, yaitu penyederhanaan produk RTR, pemberian bantuan teknis dan bimbingan teknis, pemenuhan peta dasar untuk rencana tata ruang wilayah/rencana detail tata ruang (RTRW/RDTR), dan penetapan RTR.
Dalam proses penyederhanaan produk RTR yang tertera pada Pasal 15 ayat 3 UU Ciptaker; Pasal 17 (poin 3) UU Ciptaker: Pasal 6 Ayat 2, 3, 4 UU Nomor 26/2007 UU Ciptaker menghilangkan istilah-istilah turunan dan non-substantif dalam UU 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, istilah-istilah yang dihilangkan adalah rencana tata ruang kawasan strategis provinsi (RTR KSP), dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota (RTR KS kab/kota), rencana tata ruang kawasan megapolitan (RTR kawasan metropolitan), rencana tata ruang kawasan perdesaan (RTR kawasan perdesaan); rencana tata ruang kawasan agropolitan (RTR kawasan agropolitan).
Ada dua tujuan mengapa istilah-istilah turunan dan non-substantif ini dihapus, yaitu pertama agar pemerintah daerah (pemda) menyelesaikan hal yang pokok untuk diselesaikan terlebih dahulu, yaitu RDTR. Sejak UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang disahkan, masih banyak pemda dan DPRD belum melegalisasikan hal pokok, yaitu RDTR.
Namun, dalam UU Ciptaker disebutkan istilah tersebut dihilangkan namun tidak menghapus penataan ruangnya. Penataan ruang dalam konteks istilah turunan yang dihilangkan tersebut tetap ada namun seluruhnya dimasukkan kedalam RDTR. Kedua, penghapusan RTR kawasan strategis (KS) provinsi dan kabupaten/kota adalah dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindih antar produk RTR. Dengan demikian, ke depan hanya mengenal satu bentuk rencana umum sesuai hierarki, yaitu nasional, provinsi dan kabupaten/kota) dan 2 rencana RTR, yaitu kawasan strategis nasional (KSN) dan RDTR.
Selanjutnya dalam proses pemberian bantuan teknis dan bimbingan teknis, pada Pasal 17 (poin 4) UU Ciptaker: Pasal 8 Ayat 1 huruf b dan c UU 26/2007, Sebagai upaya percepatan penyelesaian RTR, pemerintah pusat memberikan bantuan teknis dan bimbingan teknis kepada pemda. Bantuan teknis merupakan bantuan dari pemerintah pusat (berupa anggaran, tenaga ahli perencana dan geographic information system (GIS)) kepada pemda untuk menyusun RTR.
Bimbingan teknis merupakan proses pembinaan kepada pemerintah daerah dalam menyusun tata ruang melalui sosialisasi, klinik, pendampingan dan asistensi/konsultansi, sehingga bunyi pasal ini akan memastikan adanya bantuan dari pemerintah pusat sebagai wujud perhatian kepada pemda dalam penyusunan RTR.
Sebagai tambahan, hal ini penting sebagai wujud Pemerintah Pusat dalam memback-up kapasitas sumer daya manusia (SDM) di daerah sehingga akan ada knowledge transfer dari SDM pemerintah pusat kepada SDM di pemda.
Kemudian dalam proses pemenuhan peta dasar untuk RTRW/RDTR, Pasal 17 (poin 9) UU Ciptaker: Pasal 14 A Ayat 4 UU 26/2007, untuk percepatan pemenuhan peta dasar dalam penyusunan RDTR, dapat mempergunakan peta dasar lainnya dengan ketelitian detail informasi sesuai dengan skala perencanaan RTR, jika peta rupa bumi Indonesia (RBI) tidak tersedia.
Terakhir dalam proses penetapan RTR, pada Pasal 17 UU Ciptaker: Pasal 18 Ayat 3, Pasal 23 Ayat 7, 8, 9, Pasal 26 Ayat 8, 9, 10 UU 26/2007. Terdapat dua terobosan, yaitu pertama, terobosan penetapan RDTR kabupaten/kota dari peraturan daerah (perda) ke peraturan kepala daerah/bupati/wali kota. Kedua, untuk mempercepat penetapan RTR, diatur mengenai kewenangan penetapan RTR oleh pemerintah pusat, hal ini dapat dilakukan jika pemda tidak melegalisasi RTR tepat waktu pasca persetujuan substansi. Dengan UU Ciptaker ini, penetapan RTR dapat dipastikan akan terwujud paling lambat maksimal empat bulan setelah persetujuan substansi.
Ada hak prerogatif pemerintah pusat di sini yang secara otomatis dapat menetapkan RTR jika Pemerintah Daerah, dalam hal ini Kepala Daerah tidak melegalisasi RTR secara tepat waktu. Sehingga secara durasi waktu, penetapan RTR lebih memiliki kepastian.
Dalam proses penyederhanaan produk RTR yang tertera pada Pasal 15 ayat 3 UU Ciptaker; Pasal 17 (poin 3) UU Ciptaker: Pasal 6 Ayat 2, 3, 4 UU Nomor 26/2007 UU Ciptaker menghilangkan istilah-istilah turunan dan non-substantif dalam UU 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, istilah-istilah yang dihilangkan adalah rencana tata ruang kawasan strategis provinsi (RTR KSP), dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota (RTR KS kab/kota), rencana tata ruang kawasan megapolitan (RTR kawasan metropolitan), rencana tata ruang kawasan perdesaan (RTR kawasan perdesaan); rencana tata ruang kawasan agropolitan (RTR kawasan agropolitan).
Ada dua tujuan mengapa istilah-istilah turunan dan non-substantif ini dihapus, yaitu pertama agar pemerintah daerah (pemda) menyelesaikan hal yang pokok untuk diselesaikan terlebih dahulu, yaitu RDTR. Sejak UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang disahkan, masih banyak pemda dan DPRD belum melegalisasikan hal pokok, yaitu RDTR.
Namun, dalam UU Ciptaker disebutkan istilah tersebut dihilangkan namun tidak menghapus penataan ruangnya. Penataan ruang dalam konteks istilah turunan yang dihilangkan tersebut tetap ada namun seluruhnya dimasukkan kedalam RDTR. Kedua, penghapusan RTR kawasan strategis (KS) provinsi dan kabupaten/kota adalah dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindih antar produk RTR. Dengan demikian, ke depan hanya mengenal satu bentuk rencana umum sesuai hierarki, yaitu nasional, provinsi dan kabupaten/kota) dan 2 rencana RTR, yaitu kawasan strategis nasional (KSN) dan RDTR.
Selanjutnya dalam proses pemberian bantuan teknis dan bimbingan teknis, pada Pasal 17 (poin 4) UU Ciptaker: Pasal 8 Ayat 1 huruf b dan c UU 26/2007, Sebagai upaya percepatan penyelesaian RTR, pemerintah pusat memberikan bantuan teknis dan bimbingan teknis kepada pemda. Bantuan teknis merupakan bantuan dari pemerintah pusat (berupa anggaran, tenaga ahli perencana dan geographic information system (GIS)) kepada pemda untuk menyusun RTR.
Bimbingan teknis merupakan proses pembinaan kepada pemerintah daerah dalam menyusun tata ruang melalui sosialisasi, klinik, pendampingan dan asistensi/konsultansi, sehingga bunyi pasal ini akan memastikan adanya bantuan dari pemerintah pusat sebagai wujud perhatian kepada pemda dalam penyusunan RTR.
Sebagai tambahan, hal ini penting sebagai wujud Pemerintah Pusat dalam memback-up kapasitas sumer daya manusia (SDM) di daerah sehingga akan ada knowledge transfer dari SDM pemerintah pusat kepada SDM di pemda.
Kemudian dalam proses pemenuhan peta dasar untuk RTRW/RDTR, Pasal 17 (poin 9) UU Ciptaker: Pasal 14 A Ayat 4 UU 26/2007, untuk percepatan pemenuhan peta dasar dalam penyusunan RDTR, dapat mempergunakan peta dasar lainnya dengan ketelitian detail informasi sesuai dengan skala perencanaan RTR, jika peta rupa bumi Indonesia (RBI) tidak tersedia.
Terakhir dalam proses penetapan RTR, pada Pasal 17 UU Ciptaker: Pasal 18 Ayat 3, Pasal 23 Ayat 7, 8, 9, Pasal 26 Ayat 8, 9, 10 UU 26/2007. Terdapat dua terobosan, yaitu pertama, terobosan penetapan RDTR kabupaten/kota dari peraturan daerah (perda) ke peraturan kepala daerah/bupati/wali kota. Kedua, untuk mempercepat penetapan RTR, diatur mengenai kewenangan penetapan RTR oleh pemerintah pusat, hal ini dapat dilakukan jika pemda tidak melegalisasi RTR tepat waktu pasca persetujuan substansi. Dengan UU Ciptaker ini, penetapan RTR dapat dipastikan akan terwujud paling lambat maksimal empat bulan setelah persetujuan substansi.
Ada hak prerogatif pemerintah pusat di sini yang secara otomatis dapat menetapkan RTR jika Pemerintah Daerah, dalam hal ini Kepala Daerah tidak melegalisasi RTR secara tepat waktu. Sehingga secara durasi waktu, penetapan RTR lebih memiliki kepastian.
tulis komentar anda