Merawat Sense of Pandemic
Jum'at, 23 Oktober 2020 - 05:24 WIB
Pada tingkat dunia, terdapat ratusan pemilihan berbagai tingkatan (election) yang seharusnya berlangsung pada masa pandemi ini. Dari jumlah ini, hingga pertengahan Oktober 2020, telah terdapat 73 negara atau wilayah yang menunda pemilihan atas alasan pandemi, termasuk pemilihan presiden dan perdana menteri. Sementara puluhan negara tetap melanjutkan pemilihan seperti Burundi, Prancis dan Korea Selatan. Dari negara yang melanjutkan pemilihan, tren epidemiologi Covid-19 bervariasi; sebagian meningkat dan sebagian tidak meningkat. Namun, analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pada semua negara yang melakukan pemilihan saat kurva epiodemiologinya masih menanjak, jumlah kasus Covid-19 meningkat signifikan. Di Serbia, jumlah kasus meningkat hampir lima hingga enam kali lipat pasca-pemilihan; di Singapura dan Polandia meningkat dua kali lipat. Padahal saat pemilihan, negara-negara ini mengimplementasikan standard precautions yang ketat. Belajar dari pengalaman tersebut, pilkada di Indonesia seharusnya ditunda hingga kurva epidemiologi mengalami penurunan. Tidak perlu kurva melandai total tapi paling tidak terdapat penurunan 10%. Itu pun harus disertai standard precautions yang ketat.
Tampak bahwa memang pemerintah tidak merawat sense of pandemic secara serius. Di tengah kurva pandemi yang masih terus meningkat dan belum diketahui puncaknya, mereka menyetujui dua event besar yang sangat berpotensi meningkatkan kasus Covid-19. Ini sangat tidak time-relevance. Pemerintah mungkin lupa bahwa pandemi adalah krisis kesehatan dan krisis global. Jangankan Omnibus Law atau pilkada, pemilihan pemimpin negara pun dapat ditunda atas alasan pandemi. Bila banyak negara berani menunda berbagai event khususnya, lantas apa alasan sebenarnya yang mendorong pemerintah ngotot mengesahkan Omnibus Law dan melanjutkan pilkada di tengah pandemi yang masih bergejolak? Hanya pemerintah yang tahu jawabannya!
Tampak bahwa memang pemerintah tidak merawat sense of pandemic secara serius. Di tengah kurva pandemi yang masih terus meningkat dan belum diketahui puncaknya, mereka menyetujui dua event besar yang sangat berpotensi meningkatkan kasus Covid-19. Ini sangat tidak time-relevance. Pemerintah mungkin lupa bahwa pandemi adalah krisis kesehatan dan krisis global. Jangankan Omnibus Law atau pilkada, pemilihan pemimpin negara pun dapat ditunda atas alasan pandemi. Bila banyak negara berani menunda berbagai event khususnya, lantas apa alasan sebenarnya yang mendorong pemerintah ngotot mengesahkan Omnibus Law dan melanjutkan pilkada di tengah pandemi yang masih bergejolak? Hanya pemerintah yang tahu jawabannya!
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda