Kontribusi Pesantren untuk Bangsa
Selasa, 13 Oktober 2020 - 06:04 WIB
Kondisi madrasah ini berbanding terbalik dengan status sekolah yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud) di mana hanya sekitar 6% yang berstatus sebagai lembaga pendidikan swasta (TOR Panja PTAI dan Madrasah Komisi VIII DPR RI).
Kontribusi Pesantren
Sesuai pendapat Wardiman Djojonegoro (1994), pesantren telah membuktikan peranannya sebagai salah satu komponen bangsa dalam usaha menyediakan manusia Indonesia yang dibutuhkan pada era prakemerdekaan. Sejarah pun menunjukkan banyak tokoh bangsa yang lahir dari “perut“ pesantren. (lihat dalam buku Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Perkembangan Pesantren).
Hal itu membuktikan, pesantren mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, unggul, berpengetahuan luas, berpikiran maju, berwawasan kebangsaan, yang dibingkai dengan keimanan dan ketakwaan, sebagai motivasi utamanya.
Selain menerapkan wajib belajar pendidikan dasar 12 tahun, mulai madrasah ibtidaiah setara SD, madrasah sanawiah setara SMP, dan madrasah aliah setara SMA, banyak pesantren yang juga menyelenggarakan sekolah tinggi, seperti: ISID Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur; Ma’had Aly Pesantren Al-Munawwir Bantul, Yogyakarta; STAIDA Pesantren Darunnajah, Jakarta; dan masih banyak lagi yang lainnya (buku Direktori Pesantren, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia, 2007).
Dalam rencana strategis Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam Kementerian Agama ditegaskan, fungsi pesantren adalah sebagai lembaga tafaqquh fiddin, lembaga pengembangan sosial kemasyarakatan, dan lembaga pengembangan pendidikan Islam. Karena itu, pesantren diharapkan menjadi lembaga pencetak kader yang faqih fi ulumuddin, juga faqih fi mashalihil ummah.
Seiring dengan berdirinya sekolah tinggi di lingkungan pesantren, memberikan harapan besar dalam mewujudkan rencana strategis Ditjen Pendidikan Islam, termasuk dalam menyiapkan kader-kader ulama yang berwawasan global, profesional, kredibel, dan kapabel di masa mendatang, sebab disinyalir saat ini sedang terjadi krisis ulama di negeri ini. Kini, bangsa ini sedang menanti lahirnya kader-kader ulama yang tidak hanya faqih fi ulumuddin, faqih fi mashalihil ummah, tetapi sekaligus juga faqih fi ulumilkauni.
Selain itu, juga untuk mengembalikan tradisi keilmuan pesantren (jawwul ilmi). Tradisi itu harus dibangkitkan dan digairahkan kembali. Langkah awal yang dilakukan adalah menginisiasi kegiatan tahqiq kitab kuning (tahqiq al-kutub). Kegiatan tahqiq ini paling tidak mempunyai beberapa kepentingan. Pertama, kepentingan keilmuan. Kedua, dalam rangka penyelamatan khazanah (berupa manuskrip atau makhthuthat) karya ulama Nusantara. Pasalnya, banyak kitab kuning atau manuskrip klasik yang tercecer tidak keruan dan hancur dimakan zaman. Ini yang memicu keprihatinan sehingga perlu upaya untuk menyelamatkan "harta karun" bernilai tinggi tersebut. Padahal di Timur Tengah, manuskrip klasik telah menjadi objek garapan tradisi tahqiq yang tak ada habisnya di perguruan tinggi, bahkan sudah menjadi komoditas.
Dan, ketiga, memublikasikan karya ulama Nusantara dengan cara men-tahqiq, mencetak (ulang) atau menerbitkan kembali (naskah yang sudah di-tahqiq) agar tidak kehilangan jejak keilmuan (missing link). (Tahqiq Kitab Kuning: Menghidupkan Kembali Tradisi Keilmuan Pesantren oleh DR Mastuki HS, MA, dalam Jurnal Pondok Pesantren MIHRAB, Volume II Nomor 2, Juni 2008).
Oleh karena itu, kini saatnya bangsa ini memberikan perhatian yang lebih kepada pondok pesantren di Tanah Air, termasuk dalam hal pencegahan wabah Covid-19 agar pesantren tetap bisa menjalankan fungsinya melahirkan SDM yang unggul, beriman, dan bertakwa serta siap berkontribusi untuk pembangunan bangsa. Semoga!
Kontribusi Pesantren
Sesuai pendapat Wardiman Djojonegoro (1994), pesantren telah membuktikan peranannya sebagai salah satu komponen bangsa dalam usaha menyediakan manusia Indonesia yang dibutuhkan pada era prakemerdekaan. Sejarah pun menunjukkan banyak tokoh bangsa yang lahir dari “perut“ pesantren. (lihat dalam buku Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Perkembangan Pesantren).
Hal itu membuktikan, pesantren mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, unggul, berpengetahuan luas, berpikiran maju, berwawasan kebangsaan, yang dibingkai dengan keimanan dan ketakwaan, sebagai motivasi utamanya.
Selain menerapkan wajib belajar pendidikan dasar 12 tahun, mulai madrasah ibtidaiah setara SD, madrasah sanawiah setara SMP, dan madrasah aliah setara SMA, banyak pesantren yang juga menyelenggarakan sekolah tinggi, seperti: ISID Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur; Ma’had Aly Pesantren Al-Munawwir Bantul, Yogyakarta; STAIDA Pesantren Darunnajah, Jakarta; dan masih banyak lagi yang lainnya (buku Direktori Pesantren, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia, 2007).
Dalam rencana strategis Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam Kementerian Agama ditegaskan, fungsi pesantren adalah sebagai lembaga tafaqquh fiddin, lembaga pengembangan sosial kemasyarakatan, dan lembaga pengembangan pendidikan Islam. Karena itu, pesantren diharapkan menjadi lembaga pencetak kader yang faqih fi ulumuddin, juga faqih fi mashalihil ummah.
Seiring dengan berdirinya sekolah tinggi di lingkungan pesantren, memberikan harapan besar dalam mewujudkan rencana strategis Ditjen Pendidikan Islam, termasuk dalam menyiapkan kader-kader ulama yang berwawasan global, profesional, kredibel, dan kapabel di masa mendatang, sebab disinyalir saat ini sedang terjadi krisis ulama di negeri ini. Kini, bangsa ini sedang menanti lahirnya kader-kader ulama yang tidak hanya faqih fi ulumuddin, faqih fi mashalihil ummah, tetapi sekaligus juga faqih fi ulumilkauni.
Selain itu, juga untuk mengembalikan tradisi keilmuan pesantren (jawwul ilmi). Tradisi itu harus dibangkitkan dan digairahkan kembali. Langkah awal yang dilakukan adalah menginisiasi kegiatan tahqiq kitab kuning (tahqiq al-kutub). Kegiatan tahqiq ini paling tidak mempunyai beberapa kepentingan. Pertama, kepentingan keilmuan. Kedua, dalam rangka penyelamatan khazanah (berupa manuskrip atau makhthuthat) karya ulama Nusantara. Pasalnya, banyak kitab kuning atau manuskrip klasik yang tercecer tidak keruan dan hancur dimakan zaman. Ini yang memicu keprihatinan sehingga perlu upaya untuk menyelamatkan "harta karun" bernilai tinggi tersebut. Padahal di Timur Tengah, manuskrip klasik telah menjadi objek garapan tradisi tahqiq yang tak ada habisnya di perguruan tinggi, bahkan sudah menjadi komoditas.
Dan, ketiga, memublikasikan karya ulama Nusantara dengan cara men-tahqiq, mencetak (ulang) atau menerbitkan kembali (naskah yang sudah di-tahqiq) agar tidak kehilangan jejak keilmuan (missing link). (Tahqiq Kitab Kuning: Menghidupkan Kembali Tradisi Keilmuan Pesantren oleh DR Mastuki HS, MA, dalam Jurnal Pondok Pesantren MIHRAB, Volume II Nomor 2, Juni 2008).
Oleh karena itu, kini saatnya bangsa ini memberikan perhatian yang lebih kepada pondok pesantren di Tanah Air, termasuk dalam hal pencegahan wabah Covid-19 agar pesantren tetap bisa menjalankan fungsinya melahirkan SDM yang unggul, beriman, dan bertakwa serta siap berkontribusi untuk pembangunan bangsa. Semoga!
Lihat Juga :
tulis komentar anda