Sektor Pertanian: Harapan Pemulihan?
Senin, 12 Oktober 2020 - 06:35 WIB
Hanya sekitar 4% pemuda di Indonesia dengan usia 15–35 tahun yang berminat menjadi petani. Sisanya, sebagian besar cenderung untuk memilih bekerja di sektor industri. Artinya, jumlah petani yang berganti ke okupasi ke luar sektor pertanian lebih besar dibanding anak muda yang bersedia menekuni usaha pertanian. (Baca juga: Pilkada di Masa Pandemi, Perlu Ada Jaminan dari Penyelenggara Pemilu)
Penurunan minat generasi muda di sektor pertanian menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera mencari solusi atas masalah tersebut. Berkurangnya jumlah petani akan berimplikasi pada penurunan ketersediaan produk dalam negeri serta tergerusnya lapangan pekerjaan. Pasalnya, pertanian merupakan sektor yang berkontribusi menyediakan 40% lapangan pekerjaan. Selain itu, target pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045 akan sulit terealisasi jika permasalahan regenerasi petani terus dibiarkan.
Dari segi luas lahan, tercatat ada 87,63% atau 22,9 juta rumah tangga petani yang memiliki kepemilikan lahan kurang dari 2 hektare. Sekitar 5 juta petani dilaporkan memiliki luasan lahan di bawah 0,5 hektare. Berdasarkan kondisi tersebut, petani tidak dapat memaksimalkan produksi di lahannya dan kemudian menjadi salah satu pemicu yang memengaruhi tingkat kesejahteraan petani.
Data BPS (2018) menunjukkan analisisnya bahwa alih fungsi lahan sawah capai 200.000 ha per tahun. Selain itu, data juga menunjukkan bahwa luas lahan pertanian pada 2018 hanya tersisa 7,1 juta hektare, di mana angka tersebut mengalami penurunan dibanding tahun 2017 yang masih 7,75 juta hektare.
Persoalan pertanian ini akan mampu lebih cepat diselesaikan jika petani di Indonesia mulai bersedia bersahabat dengan penggunaan teknologi modern. Selama ini, penggunaan teknologi dalam pertanian di Indonesia masih terbelakang dibandingkan dengan negara lain. Salah satu penyebab tertinggalnya pertanian di Indonesia tak lain ialah karena usia petani di Indonesia yang sudah tak muda lagi.
Di sisi lain, kecepatan pertumbuhan penduduk Indonesia dan dunia, meningkat pesat tanpa penyeimbangan luasan lahan produksi pertanian . Oleh sebab itu, solusi nyata dan masuk akal adalah penguatan teknologi pertanian diikuti dengan implementasi diversifikasi pangan. (Baca juga: Dua Sekolah di Solo gelar Simulai Belajar Tatap Muka)
Signifikansi Investasi dalam Sektor Pertanian
Baru-baru ini pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang memiliki banyak pro dan kontra yang juga menyentuh sektor pertanian. UU Cipta Kerja untuk sektor pertanian secara lugas membuka peluang untuk investasi pertanian. Hal itu dapat dilihat dari beberapa perubahan dalam payung hukum baru tersebut, seperti dihapuskannya batasan penanaman modal asing (PMA) di komoditas hortikultura (UU 13 Tahun 2010) yang sebelumnya dibatasi di 30% dan juga pada komoditas perkebunan (UU 39 Tahun 2014).
Salah satu tujuan perubahan batasan PMA dalam UU Cipta Kerja ini diharapkan mampu memberi dampak positif pada kesejahteraan petani di Tanah Air dan peningkatan produksi pertanian domestik. Hadirnya investor di sektor pertanian diharapkan dapat membantu memperbaiki ketersediaan lapangan kerja dan perkembangan teknologi di sektor pertanian, mengingat hingga saat ini efisiensi sektor pertanian di Tanah Air masih jauh dari harapan.
Meski demikian, sejatinya mengubah batasan PMA bukan serta-merta menyelesaikan berbagai permasalahan kompleks yang ada di sektor pertanian. Jika pemerintah tidak segera mengurai dan mencari solusi dari satu per satu masalah yang ada di sektor pertanian, perubahan batasan PMA untuk sektor pertanian dalam UU Cipta Kerja justru bisa menjadi bumerang bagi kesejahteraan petani Indonesia. (Baca juga: Waspadai Tana-tanda Awal Kanker Prostat Berikut Ini)
Penurunan minat generasi muda di sektor pertanian menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera mencari solusi atas masalah tersebut. Berkurangnya jumlah petani akan berimplikasi pada penurunan ketersediaan produk dalam negeri serta tergerusnya lapangan pekerjaan. Pasalnya, pertanian merupakan sektor yang berkontribusi menyediakan 40% lapangan pekerjaan. Selain itu, target pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045 akan sulit terealisasi jika permasalahan regenerasi petani terus dibiarkan.
Dari segi luas lahan, tercatat ada 87,63% atau 22,9 juta rumah tangga petani yang memiliki kepemilikan lahan kurang dari 2 hektare. Sekitar 5 juta petani dilaporkan memiliki luasan lahan di bawah 0,5 hektare. Berdasarkan kondisi tersebut, petani tidak dapat memaksimalkan produksi di lahannya dan kemudian menjadi salah satu pemicu yang memengaruhi tingkat kesejahteraan petani.
Data BPS (2018) menunjukkan analisisnya bahwa alih fungsi lahan sawah capai 200.000 ha per tahun. Selain itu, data juga menunjukkan bahwa luas lahan pertanian pada 2018 hanya tersisa 7,1 juta hektare, di mana angka tersebut mengalami penurunan dibanding tahun 2017 yang masih 7,75 juta hektare.
Persoalan pertanian ini akan mampu lebih cepat diselesaikan jika petani di Indonesia mulai bersedia bersahabat dengan penggunaan teknologi modern. Selama ini, penggunaan teknologi dalam pertanian di Indonesia masih terbelakang dibandingkan dengan negara lain. Salah satu penyebab tertinggalnya pertanian di Indonesia tak lain ialah karena usia petani di Indonesia yang sudah tak muda lagi.
Di sisi lain, kecepatan pertumbuhan penduduk Indonesia dan dunia, meningkat pesat tanpa penyeimbangan luasan lahan produksi pertanian . Oleh sebab itu, solusi nyata dan masuk akal adalah penguatan teknologi pertanian diikuti dengan implementasi diversifikasi pangan. (Baca juga: Dua Sekolah di Solo gelar Simulai Belajar Tatap Muka)
Signifikansi Investasi dalam Sektor Pertanian
Baru-baru ini pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang memiliki banyak pro dan kontra yang juga menyentuh sektor pertanian. UU Cipta Kerja untuk sektor pertanian secara lugas membuka peluang untuk investasi pertanian. Hal itu dapat dilihat dari beberapa perubahan dalam payung hukum baru tersebut, seperti dihapuskannya batasan penanaman modal asing (PMA) di komoditas hortikultura (UU 13 Tahun 2010) yang sebelumnya dibatasi di 30% dan juga pada komoditas perkebunan (UU 39 Tahun 2014).
Salah satu tujuan perubahan batasan PMA dalam UU Cipta Kerja ini diharapkan mampu memberi dampak positif pada kesejahteraan petani di Tanah Air dan peningkatan produksi pertanian domestik. Hadirnya investor di sektor pertanian diharapkan dapat membantu memperbaiki ketersediaan lapangan kerja dan perkembangan teknologi di sektor pertanian, mengingat hingga saat ini efisiensi sektor pertanian di Tanah Air masih jauh dari harapan.
Meski demikian, sejatinya mengubah batasan PMA bukan serta-merta menyelesaikan berbagai permasalahan kompleks yang ada di sektor pertanian. Jika pemerintah tidak segera mengurai dan mencari solusi dari satu per satu masalah yang ada di sektor pertanian, perubahan batasan PMA untuk sektor pertanian dalam UU Cipta Kerja justru bisa menjadi bumerang bagi kesejahteraan petani Indonesia. (Baca juga: Waspadai Tana-tanda Awal Kanker Prostat Berikut Ini)
tulis komentar anda