Langkah GMNI Merespons Pengesahan UU Cipta Kerja
Sabtu, 10 Oktober 2020 - 11:48 WIB
JAKARTA - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI), Arjuna Putra Aldino menyoroti sejumlah pasal-pasal kontroversial yang telah disahkan dalam UU Cipta Kerja (Ciptaker) oleh DPR Senin lalu.
(Baca juga: DPR Luruskan 12 Fakta tentang Omnibus Law Cipta Kerja)
Menurutnya, pada awalnya tujuan Omnibus Law adalah mengurangi hiperregulasi agar lebih efisien. Namun dalam perjalanannya banyak penumpang gelap yang memanfaatkan Omnibus Law untuk kepentingan bisnisnya.
(Baca juga: KSP Sesalkan Aksi Demo Tolak UU Ciptaker Rusak Fasilitas Umum)
Di antaranya soal Bank Tanah yang termuat dalam BAB VIII tentang Pengadaan Tanah. Dimana paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari tanah negara yang diperuntukkan untuk bank tanah dan pasal 129 nomor 1 menyebutkan tanah yang dikelola Bank Tanah diberikan hak pengelolaan dalam bentuk hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.
Dilanjutkan dalam pasal 138, pemegang hak pengelolaan dapat memperpanjang memperbaharui hak guna bangunan. Tak ada penjelasan berapa lama hak guna dapat diperpanjang.
"Jika tidak hati-hati, skema bank tanah ini bisa menjadi ladang praktek perburuan rente. Dimana segelintir elite predator dapat memperoleh hak istimewa berupa konsesi lahan milik negara layaknya Program Benteng. Dan ini berpotensi meningkatkan ketimpangan kepemilikan lahan," ujar Arjuna, Sabtu (10/10/2020).
Kedua menurut Arjuna, yang patut disoroti yaitu hilangnya pasal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan Pasal Pertanggungjawaban Mutlak. UU Ciptaker telah menghapus upaya negara dan masyarakat untuk menjerat sektor privat/korporasi yang merusak lingkungan dan pembakar hutan.
"Hilangnya redaksi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan dalam UU Ciptaker punya konsekuensi praktis yang tak kecil. Artinya, pertanggungjawaban korporasi terhadap kelestarian lingkungan berpotensi diminimalkan dan terindikasi akan hilang dengan sendirinya," kata Arjuna.
(Baca juga: DPR Luruskan 12 Fakta tentang Omnibus Law Cipta Kerja)
Menurutnya, pada awalnya tujuan Omnibus Law adalah mengurangi hiperregulasi agar lebih efisien. Namun dalam perjalanannya banyak penumpang gelap yang memanfaatkan Omnibus Law untuk kepentingan bisnisnya.
(Baca juga: KSP Sesalkan Aksi Demo Tolak UU Ciptaker Rusak Fasilitas Umum)
Di antaranya soal Bank Tanah yang termuat dalam BAB VIII tentang Pengadaan Tanah. Dimana paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari tanah negara yang diperuntukkan untuk bank tanah dan pasal 129 nomor 1 menyebutkan tanah yang dikelola Bank Tanah diberikan hak pengelolaan dalam bentuk hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.
Dilanjutkan dalam pasal 138, pemegang hak pengelolaan dapat memperpanjang memperbaharui hak guna bangunan. Tak ada penjelasan berapa lama hak guna dapat diperpanjang.
"Jika tidak hati-hati, skema bank tanah ini bisa menjadi ladang praktek perburuan rente. Dimana segelintir elite predator dapat memperoleh hak istimewa berupa konsesi lahan milik negara layaknya Program Benteng. Dan ini berpotensi meningkatkan ketimpangan kepemilikan lahan," ujar Arjuna, Sabtu (10/10/2020).
Kedua menurut Arjuna, yang patut disoroti yaitu hilangnya pasal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan Pasal Pertanggungjawaban Mutlak. UU Ciptaker telah menghapus upaya negara dan masyarakat untuk menjerat sektor privat/korporasi yang merusak lingkungan dan pembakar hutan.
"Hilangnya redaksi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan dalam UU Ciptaker punya konsekuensi praktis yang tak kecil. Artinya, pertanggungjawaban korporasi terhadap kelestarian lingkungan berpotensi diminimalkan dan terindikasi akan hilang dengan sendirinya," kata Arjuna.
tulis komentar anda