Memformat Ulang Ekonomi Digital
Kamis, 08 Oktober 2020 - 05:28 WIB
Membajak Krisis
Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa negara kita harus “membajak” momentum krisis untuk melakukan transformasi dan melaksanakan strategi besar memecahkan masalah fundamental bangsa. Setali tiga uang, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyebut ekonomi digital sebagai “the big winner of this crisis”. Ekonomi digital harus dimanfaatkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berwawasan lingkungan (greener), cerdas (smarter), dan inklusif (fairer).
Masa depan ekonomi digital Indonesia memang terbilang sangat menjanjikan. Google, Temasek, dan Bain memperkirakan nilai ekonomi digital Asia Tenggara sebesar USD100 miliar pada 2019. Indonesia menyumbang sekitar 40% dari angka tersebut, meningkat empat kali lipat dibandingkan 2015. Pada 2025, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi mampu menembus USD130 miliar.
Meskipun perhitungan di atas kertas terlihat bagus, masih terdapat sejumlah catatan yang patut menjadi perhatian. Pertama, minimnya pelaku UMKM go digital. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan baru 13% atau 8 juta pelaku UMKM yang memanfaatkan ekosistem digital. Sebaliknya, 87% sisanya masih sangat bergantung pada interaksi fisik dalam proses bisnisnya. Faktor literasi digital dan kualitas infrastruktur pendukung yang masih harus ditingkatkan menjadi akar masalah klasik.
Kedua, dominasi barang impor yang diperjualbelikan di situs e-commerce. Sejumlah pihak mengungkap mayoritas barang yang diperdagangkan secara daring adalah barang impor dengan porsi mencapai 93%. Artinya, sebagian besar kue dari ekonomi digital tidak dinikmati oleh pemain lokal. Laju pesat ekonomi digital belum memberikan efek pengganda (multiplier) secara optimal terhadap sektor riil domestik.
Seleksi Alam
Ketiga, peta persaingan industri e-commerce yang cenderung kurang sehat. Secara mengejutkan Telkom resmi menutup platform belanja daring miliknya, Blanja.com per 1 September 2020. Dalam beberapa tahun terakhir sejumlah pelaku e-commerce tercatat telah mengibarkan bendera putih lebih dulu. Misalnya, Qlapa (2019), Matahari Mall (2018), dan Cipika (2017).
Berkaca dari pengalaman negara lain, seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, proses seleksi alam semacam ini tidaklah mengejutkan. Harus diakui struktur pasar di ranah ekonomi digital mengarah ke bentuk oligopoli. Imbasnya, pemain kecil akan cenderung tereliminasi. Tak heran jika jargon “the winner takes all” sangat relevan di industri ini.
Dari perspektif makro, idealnya semakin banyak pemain e-commerce akan semakin bagus. Pasalnya, peluang pasar domestik memiliki banyak potensi yang belum tergarap optimal. Apabila diibaratkan siklus hidup produk (product life cycle), industri ekonomi digital masih dalam tahap pertumbuhan. Mengacu pada hasil riset Google, argumen ini valid setidaknya hingga 2025.
Di samping itu, percepatan realisasi visi digitalisasi UMKM menjadi alasan fundamental berikutnya. Logikanya, jumlah pemain e-commerce berkorelasi positif dengan jumlah pelaku UMKM yang terjaring dalam ekosistem digital. Dengan demikian, tanggung jawab untuk mengedukasi dan meningkatkan literasi digital menjadi kepentingan banyak pihak, bukan bertumpu pada segelintir kelompok saja.
Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa negara kita harus “membajak” momentum krisis untuk melakukan transformasi dan melaksanakan strategi besar memecahkan masalah fundamental bangsa. Setali tiga uang, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyebut ekonomi digital sebagai “the big winner of this crisis”. Ekonomi digital harus dimanfaatkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berwawasan lingkungan (greener), cerdas (smarter), dan inklusif (fairer).
Masa depan ekonomi digital Indonesia memang terbilang sangat menjanjikan. Google, Temasek, dan Bain memperkirakan nilai ekonomi digital Asia Tenggara sebesar USD100 miliar pada 2019. Indonesia menyumbang sekitar 40% dari angka tersebut, meningkat empat kali lipat dibandingkan 2015. Pada 2025, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi mampu menembus USD130 miliar.
Meskipun perhitungan di atas kertas terlihat bagus, masih terdapat sejumlah catatan yang patut menjadi perhatian. Pertama, minimnya pelaku UMKM go digital. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan baru 13% atau 8 juta pelaku UMKM yang memanfaatkan ekosistem digital. Sebaliknya, 87% sisanya masih sangat bergantung pada interaksi fisik dalam proses bisnisnya. Faktor literasi digital dan kualitas infrastruktur pendukung yang masih harus ditingkatkan menjadi akar masalah klasik.
Kedua, dominasi barang impor yang diperjualbelikan di situs e-commerce. Sejumlah pihak mengungkap mayoritas barang yang diperdagangkan secara daring adalah barang impor dengan porsi mencapai 93%. Artinya, sebagian besar kue dari ekonomi digital tidak dinikmati oleh pemain lokal. Laju pesat ekonomi digital belum memberikan efek pengganda (multiplier) secara optimal terhadap sektor riil domestik.
Seleksi Alam
Ketiga, peta persaingan industri e-commerce yang cenderung kurang sehat. Secara mengejutkan Telkom resmi menutup platform belanja daring miliknya, Blanja.com per 1 September 2020. Dalam beberapa tahun terakhir sejumlah pelaku e-commerce tercatat telah mengibarkan bendera putih lebih dulu. Misalnya, Qlapa (2019), Matahari Mall (2018), dan Cipika (2017).
Berkaca dari pengalaman negara lain, seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, proses seleksi alam semacam ini tidaklah mengejutkan. Harus diakui struktur pasar di ranah ekonomi digital mengarah ke bentuk oligopoli. Imbasnya, pemain kecil akan cenderung tereliminasi. Tak heran jika jargon “the winner takes all” sangat relevan di industri ini.
Dari perspektif makro, idealnya semakin banyak pemain e-commerce akan semakin bagus. Pasalnya, peluang pasar domestik memiliki banyak potensi yang belum tergarap optimal. Apabila diibaratkan siklus hidup produk (product life cycle), industri ekonomi digital masih dalam tahap pertumbuhan. Mengacu pada hasil riset Google, argumen ini valid setidaknya hingga 2025.
Di samping itu, percepatan realisasi visi digitalisasi UMKM menjadi alasan fundamental berikutnya. Logikanya, jumlah pemain e-commerce berkorelasi positif dengan jumlah pelaku UMKM yang terjaring dalam ekosistem digital. Dengan demikian, tanggung jawab untuk mengedukasi dan meningkatkan literasi digital menjadi kepentingan banyak pihak, bukan bertumpu pada segelintir kelompok saja.
Lihat Juga :
tulis komentar anda